Nazwa Aulia



Lirih senandung angin seolah bernyayi dan menggoyangkan tangkai juga para daun yang terlihat begitu rindang nan meneduhkan. Atap –atap rumah menyelinap diantara hamparan hijau pepohonan disebuah kampung perbukitan. Derasnya hujan yang baru saja datang, membuat jalanan yang menanjak dan berliku menjadi becek dan sulit untuk dilewati. Namun inilah harta kami, tempat segala harapan dan mimpi digantungkan, hingga datanglah sebuah bencana yang kini kami menyebutnya sebagai sebuah pelajaran.
Teman-teman pernah dengar bencana longsor Purworejo yang beberapa waktu lalu rame diberitakan media...? Yah... disanalah desaku  berada. Desa Sidomulyo, Ngrukem, Purworejo sebuah kampung rawan bencana yang swaktu-waktu bisa terkena longsor ketika hujan deras datang bertandang.
Disini, aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan seorang kakak laki-lakiku. Sebuah keluarga sederhana yang selalu menyelimutiku dengan kebahagiaan dan kehangatan. Terlahir di bulan februari tanggal 23 sembilan tahun lalu  . Di kampung yang jauh dari keramain kota, hidup di dunia ini telah mulai kujalani. Mata indahku telah membuat ibu dan ayahku tersenyum bahagia, tangis haru menyelimuti mata mereka saat aku mulai menatap terangnya dunia. Begitulah aku dilahirkan, sambutan hangat keluargaku ibu, ayah, dan kakakku, telah menjadi pelita dalam hidupku.
Kini usia ku beranjak sembilan tahun. Usia kanak-kanak yang sangat menyenangkan bagiku. Diusia inilah aku bebas belajar dan bermain. Biasanya aku paling suka bermain di hutan, dan sungai, juga bermain dirumah bersama boneka cantik yang dibelikan ayahku sebagai hadiah ulang tahunku. Tapi..., aku jauh lebih senang membantu ibuku bekerja di rumah. 
Ayahku memang sangat menyayangiku, disela-sela pekerjaannya sebagai buruh lepas di kota. Ayah selalu membawakan hadiah untukku ketika ia pulang bekerja. Baik itu baju, buku, ataupun boneka. Kadang ia juga membawakan aku komik kesukaanku.
Aku tak pernah tahu berapa jumlah penghasilan ayahku sebagai buruh serabutan. Teman-teman yang hidup di kota sudah pasti lebih tahu penghasilan sebagai seorang buruh. Aku hanya tahu ia pergi pagi-pagi sekali. Dan ketika pagi hari menyapa, saat aku sudah terbangun dari tidur malamku. wajahnya sudah tak nampak lagi  di rumah sederhana kami. Sesekali aku ingin diantar sekolah olehnya, tapi aku faham..ayahku bekerja demi kami sekeluarga. Sering kali aku rindu untuk mencium tangannya ketika aku mau berangkat sekolah. Tapi ya..begitulah...., takdir mengharuskan kami bertemu hanya di malam hari.
 Ayahku selalu pulang kerja jam setengah enam petang,  saat magrib sedang menyapa, matahari juga sudah mau terlelap dari aktivitasnya. Juga saat aku, kakak, dan ibuku telah lelah menyiapkan makan malam kami bersama. Inilah kehangatan keluargaku.
Ingin sekali aku membahagiakan mereka, ketika aku sudah dewasa nanti. Aku tak ingin lagi melihat ayahku bekerja membanting tulang  dari pagi hingga malam. Juga tak ingin melihat ibuku memanggul kayu dari hutan demi mengepulkan dapur rumah kami. Aku ingin suatu saat nanti mengajak mereka terbang bersama, berjalan-jalan mengunjungi kota-kota indah di dunia. Aku sadar  tugas ku kini harus belajar dengan rajin agar terus bisa berprestasi, menjadi anak suskses dan membahagiakan mereka.
Kini akau duduk di bangku kelas 5 SDN 3 Sidomulyo. SDN ini memiliki 68 siswa. Memang tidak banyak teman-teman kampungku yang sekolah disini. Mereka lebih memilih sekolah di SD yang ada di bawah sana. Alasannya sederhana.., yaitu soal favorit dan tidak favorit, bagi sebagian warga kampung sekolahku ini kurang favorit karena tidak memiliki banyak prestasi. Tapi.., aku sangat bangga sekolah disini. Walaupun sekolah ini terletak di ujung bukit, aku tetap merasa senang menjadi bagian sekolah ini.
lagian.., siapa bilang sekolah ini tak berprestasi. Justru sekolah ini sangat berprestasi. Bagiku sekolah yang berprestasi bukan dilihat dari banyaknya pajangan piala di lemari ruang kepala sekolah. Tapi sekolah yang berprestasi adalah sekolah yang mampu mencetak dan menumbuhkan karakter siswanya, termasuk dalam diriku.  Di sekolah ini, aku selalu mendapat rangking 1.
Kelas ku berisi belasan siswa. Barangkali ini adalah jumlah yang ideal bagi seorang guru dalam mengajar.  Juga tentunya jumlah yang ideal bagi kami sebagai siswa untuk belajar dengan nyaman. Aku tidak bisa membayangkan, betapa ributnya satu ruang kelas, kalau jumlah siswanya sampai empat puluhan orang.
Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar satu setengah kilometer, dan  butuh waktu sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki naik turun bukit untuk sampai disana. Jarak yang tidak terlalu jauh untuk aku arungi. Hanya, aku kadang khawatir, kalau  hujang turun.., aku tak bisa berjalan ke sekolah. Aku memang belum bisa menghilangkan longsor yang terjadi beberapa waktu lalu dalam ingatanku. Kalau tidak salah, ini namanya trauma. Tapi aku tetap semangat pergi sekolah, karena aku suka belajar disana.
Mata pelajaran yang paling aku sukai adalah Matematika. tidak tahu kenapa..? tapi rasanya sekolah tanpa mata pelajaran matematika adalah kehampaan,  rasanya bukan seperti sekolah. Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian adalah materi belajar yang menumbuhkan rasa penasaran dalam ruang berfikirku.
Sebagai perkenalanku sama teman-teman. Aku ingin memberitahu bahwa aku terlahir dari pasangan Ibu Jaeti dan bapak Bejo Pranoto. Aku anak kedua dari dua bersaudara.  Walaupun ayahku adalah seorang buruh serabutan di kota. Iya memberikan nama yang sangat cantik bagiku. Ya.... namaku adalah  Nazwa Aulia Febrianti.  Nama yang indah ketika mendengarnya ditelinga dan indah juga untuk di ucapkan. 
Nazwa Aulia (Santri TPA Kampung Quran Purworejo)

Teman-teman di sekolah dan di TPA biasa memanggilku dengan nama Aul. Bagiku inilah nama terindah di dunia, dan tidak ada yang menandingi nama pemberian ayahku ini.Dalam hati kecilku, tersimpan satu cita-cita yang sudah aku tulis sejak kelas satu SD. Cita-cita sederhana yang menjadi impianku. Bagiku cita-cita inilah yang membuat aku ingin selalu berprestasi di sekolah. Teman-teman tahu cita-citaku apa..???  Betul.., cita-citaku adalah menjadi guru. Aku terinspirasi dari dari Bu Dewi, guru waktu aku menginjak bangku kelas satu. Iya adalah guru teramat baik bagiku. Iya mampu membuatku bisa membaca dan menulis, bisa berhhitung dan berbahasa Indonesia. Oleh karena itulah aku juga ingin menjadi guru.
Baru-baru ini aku kembali aktif lagi mengaji. Di kampungku baru saja diresmikan sebagai Kampung Qur’an Purworejo dari yayasan Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an (PPPA) Daarul Qur’an. Seperti ceritaku diatas, kampungku bernama kampung Rukem. Terletak di wilayah perbukitan yang rawan longsor. Dan ketika longsor beberapa waktu lalu, sebanyak 28 rumah tetanggaku hancur disapu longsor yang berada di beberapa titik. Aku keluargaku dan Rumahku sendiri..Alhamdulillah selamat.
PPPA Daarul Qur’an, telah membangunkan saluran pipanisasi bagi kampung kami. Dari PPPA Juga dikirimkan satu ustadz untuk mengajar kami mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Teman-teman pasti sudah tahu siapa nama ustadznya. Sebab beliau selalu udate status di fb tentang kampung ini. Aku kini lebih semangat lagi pergi mengaji, tidak hanya untuk belajar baca Al-Qur’an tapi juga untuk menghafalkannya.
Jarak dari rumahku ke TPA tidak terlalu jauh, sekitar lima ratur meter menuruni bukit di perkampungan kami. kadang-kadang waktu yang diperlukan tidak sampai lima belas menit. Kegiatan mengaji dilaksanakan setiap sore hari. Kira-kira dimulai sekitar jam tiga sore. Bersama 28 santri lainnya, kami mengawali kegiatan mengaji dengan melakukan sholat berjamaah ashar terlebih dahulu.  Setelah itu kami diajarkan membaca huruju hijaiyah dan belajar Al-Qur'an secara talaqqi di bimbing oleh  usadz, pak kaum, dan mbok Tinah. Alhamdulillah aku sudah menghafal beberapa surat-surat pendek. Bagiku ini sangat menyenangkan.   Selain itu aku dan teman-teman di TPA diajarkan bacaan-bacaan sholat,  doa sehari-hari, dan berbagai kegaitan seru lainnya. 
###


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN