Vox Populi Vox Dei
![]() |
doc. Individu |
Kita hidup dalam alam demokrasi. Alam dimana semua dapat bicara tanpa takut harus di penjara. Ketika demokrasi telah memperkanal kita pada satu istilah latin “vox populi vox dei” yang bermakna suara rakyat suara Tuhan. Maka idealnya seperti kata Arif Supriyono dalam tulisannya di Republika edisi 28 April 2014 “dalam perkembangannya istilah suara rakyat suara Tuhan lebih menempel ke panggung politik. Kehendak rakyat mayoritas akan sangat menentukan dalam satu proses politik dan pemilihan umum. Begitu kuatnya kehendak rakyat itu sehingga tak ada satupun kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya”.
Saya pikir saat ini kita juga benar-benar telah terdogma dengan adigium “vox populi vox dei” tersebut. Sehingga kita di Indonesia secara mentah-mentah menterjemahkannya menjadi suara rakyat suara Tuhan. Tapi saya sungguh tak pernah percaya dengan itu. Kenyataannya dalam suatu kasus tertentu, suara elit lah yang menjadi suara Tuhan. Kita harus sadar bahwa adigium suara rakyat suara Tuhan adalah satu kebohongan, yang hanya berlaku pada saat pemilihan umum saja, itupun kalau pemilunya jujur. Setelah itu suara rakyat tak akan berguna.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa suara rakyat itu juga bukan satu hal yang gratis, ia dibeli dengan imbalan ini dan itu oleh para calon yang mengkampanyekan diri sebagai pemimpin perubahan masa depan. Banyak calon pada saat pemilu mengatasnamakan rakyat sebagai obyek yang diperjuangkan, membagikan ini dan itu berupa sembako, kartu, bahkan uang (money politic) agar dipilih. Dan akan sangat berbanding terbalik dengan kenyataan setelah pemilu.
Satu kasus yang kini kita cermati bersama adalah, hilangnya suara 125.000 suara warga NTB yang memilih Fahri Hamzah sebagai anggota DPR RI priode 2014-2019. Loh kok bisa hilang..? ya.. sebab sebuah keputusan dari sekelompok elit pemimpin partai yang menaunginya membuat suara itu meluap bagaikan asap yang terbang ke angkasa hilang entah kemana.
Maka suara rakyat tak lagi representasi suara Tuhan. Tapi suara elitlah yang menjadi suara Tuhan. Oleh karena itu, kita tak boleh percaya dengan adigium suara rakyat suara Tuhan. Karena itu adalah satu kesyirikan. Suara rakyat tetaplah suara rakyat, suara elit tetaplah suara elit. ia tak akan bisa mempengaruhi satu kebijakan. Baik mengangkat atau melengserkan seseorang dari jabatannya.
Contoh lain lagi, dari kenyataan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan adalah kasus Panama Papers. Tak disangka .. yang membuat perdana mentri Islandia Sigmundur David Gunnlaugson mundur dari jabatannya sebab bocoran dokumen yang diterbitkan oleh Panama Papers. Maka semakin jelaslah bahwa sebagala sesuatu itu bukan berangkat dari suara rakyat. Walaupun pembela demokrasi tetap menginginkan suara rakyat lebih utama.
Kini sayapun sudah mulai tak percaya dengan suara rakyat. Sebab suara rakyat yang bodoh akan melahirkan pemimpin yang bodoh juga. Dan karena suara rakyat yang dibeli ataupun di manipulasi itu, telah melahirkan para kepala daerah yang korup. Saya tidak menutup mata bahwa suara rakyat versi demokrasi telah melahirkan sejumlah pemimpin daerah yang berprestasi di Indonesia, seperti wali kota Bandung, wali kota Surabaya, dll. Tapi itu sangat kecil persentasinya.
So.. suara atau Takdir Tuhan tetaplah Takdir Tuhan. Ia tak bisa disamakan dengan suara rakyat apalagi suara elit segelintir orang. Wallohua’lam.
Ahmad Rizal Khadapi
IRP NTB
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih