TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

Pengantar

Assalamualaikum wr wb..
Alhamdulillah puji syukur sama-sama kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk tetap bisa menuntut ilmu. Sholawat beriring salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan alam nabiyullah Muhammad saw, yang membawa kita dari peradaban tertinggal ke peradaban yang gemilang.

Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan, bahwa makalah tentang teori ijtihad imam syafii yang saya share di blog pribadi ini adalah tugas dari mata kuliah ushul fiqh yang di ampu Dr. Yusdani, M.Ag pada program pasca sarjana FIAI UII. Namun demikian segala kekeliruan dalam makalah ini adalah tanggung jawab saya sebagai penulis. 

Oleh karena itu, sumbang saran sangat di butuhkan untuk memperbaiki kualitas tulisan, dan juga kualitas makalah yang dibuat. Dalam makalah ini juga telah dikutib sumber-sumber yang menjadi rujukan pembuatan makalah. Namun penulis menyadari kekeliruan yang masih banyak, maka dari itu sebelum menjadikan makalah ini referensi dalam tulisan saudara-saudari, alangkah bijak kiranya saudara-saudari melakukan kroscek kembali untuk mengetahui kesesuaian kutipan dan sumber kutipan.

Terimakasih atas sumbang saran yang membangun. Semoga kita bisa semakin mencintai khazanah ilmu-ilmu keislaman. 
Yogyakarta, Desember 2016

ttd

Ahmad Rizal Khadapi
                                                                  




 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Berkembangnya agama Islam ke seluruh dunia, yang bermula dari jazirah Arab menimbulkan berbagai  permasalahan dalam penerapan hukum Islam mengingat adat istiadat yang berbeda di  masing-masing wilayah. Karena permasalahan hukum yang timbul berbeda-beda, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa  hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama islam merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum amaliyah.[1]
Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya persoalan-persoalan baru yang tidak pernah dihadapi masyarakat muslim sebelumnya, dalam arti persoalan tersebut tidak pernah muncul pada masa Rosulullah saw. Maka para mujtahid dari kalangan sahabat saat itu berijtihad dengan memberi putusan hukum, fatwa, dan menentapkan hukum syariat, dari sejumlah hukum yang mereka istimbathkan, dengan berpedoman pada kompilasi hukum yang pertama.[2]
Pada masa tabiin dan tabiit tabiin serta para imam mujtahid, yaitu sekitar abad hijriyah yang kedua dan ketiga, negara islam meluas dan banyak orang non Arab yang memeluk agama Islam. Kaum muslimin dihadapkan pada berbagai kejadian dan kesulitan baru, bermacam-macam pergkajian, aneka ragam teori, dan gerakan pembangunan fisik dan intlektualitas yang membawa para mujtahid memperluas ijtihad dan membentuk hukum islam pada banyak kasus serta terbukanya pintu penelitian dan analisis bagi mereka.[3]
Pada masa ini dimulailah kodifikasi hukum yang pertama.[4] Di antara hasil kodifikasi yang pertama kali sampai kepada kita adalah kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas.[5]
Ilmu ushul fiqh sendiri mulai tumbuh pada awal abad kedua hijriyah. [6] Dalam perkembangannya, lahirnya ilmu Ushul fiqh ini dilatar belakangi  semakin  sulitnya pembentukan hukum Islam, dan perdebatan antara ahli hadist dan ahli ra’yi semakin seru. Hal tersebut yang mendorong di susunnya berbagai ketentuan dan kajian terhadap dalil-dalil syar’i, syarat-syarat beristidlal, dan cara menggunakan dalilnya. Dari kompilasi pengkajian penggunaan dalil dan ketentuan-ketentuan bahasan tersebut , maka terbentuklah ilmu ushul fiqih.[7]
Oleh karenanya para imam mazhab kemudian melakukan berbagai ijtihad untuk mengambil dan atau membuat keputusan hukum atas masalah yang timbul.  Hukum islam menurut Amir Syarifudin adalah fiqh Fiqh dalam literatur islam yang berbahasa Arab. Untuk memebuat keputusan hukum baru dalam hukum islam, lahirlah ilmu ushul fiqh.
Ulama yang terkenal pertama kali merumuskan dan menyusun ilmu ushul fiqh beserta kaidah-kiadahnya ialah Imam Syafi’i. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Idris Syafi’i yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “ar-Risalah”. kitab ini adalah kitab ushul fiqh yang pertama beliau susun.[8] Kitab ushul fiqih ini merupakan kodifikasi  kaidah-kaidah dan kajian-kajian ilmu fiqih menjadi satu kumpulan yang berdiri sendiri, sistematis, dan masing-masing kaidah diperkuat dengan dalil serta segi analisisnya. Tersebab kodifikasi yang dilakukan oleh beliau, beliau kini dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih di kalangan para ulama.
Menurut beberapa pendapat,  ada juga sebagian ulama yang menjelaskan, bahwa sebelum Imam Syafi’i menyusun kitab ar-Risalah, sebenarnya telah ada ulama yang menyusun ushul fiqih, yakni imam Abu Yusuf. Tetapi karena tulisan beliau tidak dijaga dan tidak dikembangkan oleh murid-murid beliau, maka kita tersebut hilang begitu saja.[9] 
B. Persoalan Pokok
Untuk memfokuskan arah tulisan dalam makalah ini. Maka topik yang akan dibahas mengenai teori ijtihad Imam Syafi’i Rahimakumullah.

BAB II

KAJIAN TENTANG TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

A.      Pengertian  Teori
Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai teori ushul al-fiqh, ada baiknya kita perlu melihat kembali makna dan hakikat dari teori, dan jtihad. Karena dua kata yang digabaungkan tersebut menjadi pokok kajian makalah ini.
Sebagaimana di ungkapkan oleh Charles Sanders Piersce (1839-1914 M) dalam artikelnya yang berjudul  how to make our ideas clear, ia menegaskan  bahwa teori yag baik harus mengarahkan penemuan fakta-fakta baru dan konsekuensi-konsekuensi pada pemikiran teoritis dalam kenyataan praktis.[10]  Oleh karena itu teori dikembangkan untuk menemukan fakta terbaru dari sebuah teori.
B.   Kajian Seputar Ijtihad
a.      Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata kerja “ijtihada” artinya bersungguh-sungguh, kata ini hanya terpakai untuk hal-hal yang berat. Sedangkan menurut ilmu ushul fiqi, ijtihada adalah seorang ahli fiqh yang mencurahkan kesanggupannya dan berusaha keras untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syariat.[11]
Sebagaimana di kutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978;480), Al-Amidi memberikan pengertian terkait ijtihad. Ijtihad menurut beliau yaitu mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni (ظنّ - يظنّ - ظنا yang berarti ragu, dugaan atau sangkaan) dari hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melibih usaha itu [12]. Sedangkan menurut imam Al-Syaukani ijithad adalah mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath (suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi).[13] Dalam pengertian yang lain Al-Gazhali menjelaskan bahwa ijtihad adalah pengerahan segalam kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum syar’i.[14]
Sementara itu Iqbal mengatakan ijtihad adalah the principle of movement- daya gerak kemajuan umat islam. Dengan kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran islam, termasuk bidang hukumnya.[15]
b.      Macam-Macam Ijtihad
Dalam berbagai literatur dan buku yang menjelaskan tentang jtihad. Secara umum dapat diketahui beberapa macam ijtihad, antara lain:
1.      Ijtihad Bayani sebagaimana ditulis oleh Amir Syarifudin.[16]
Ijtihad Bayani adalah ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukkannya.
2.    Ijtihad Qiyasi yaitu  ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum yang mana terdapat suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidak tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada.
3.   Ijtihadi Isthislahi, menurut Muhammad Salam Madkur sebagaimana dikutip oleh Ade Dedi Rohayana.[17] Ijtihad Isthislahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus untuk dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu tidak mungkin juga diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini pada dasarnya merujuk pada kaidah jalb al-maslahan wa daf al mafsadah ( menarik kemalahatan dan menolak kemafsadahan) sesuai dengan aturan yang teralah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.

c.       Cara-Cara Berijtihad
Secara umum  ada tiga bentuk cara berijtihad,  yaitu dikenal dengan ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i dan Ijtihad muqorin (komparatif). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.      Ijtihad Intiqa’i, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi.[18]
Ijtihad Intiqa’i adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqh terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqh, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih releban dengan kondisi kita sekarang.

2.   Ijtihad Insya’i yaitu usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu.[19]
3.    Ijtihad Muqorin adalah menggabungkan keduan bentuk ijtihad diatas (intiqa’i dan insya’i) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.[20]
d.      Produk Ijtihad
Produk ijtihad dibedakan menjadi empat, yaitu :[21]
1.      Fiqh
2.      Qanun (Undang-Undang)
3.      Qadha’i (Putusan Pengadilan)
4.      Fatwa (Pendapat Hukum)
C.      Teori Ijtihad Imam Syafii
a.      Terbentuknya Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ; ushul dan fiqh. Kata ushul merupakan kata jamak dari kata ashl (dalam bahasa Arab yang bermakna pokok). Kata ushul secara etimologis mempunyai arti: berakar, berasal, pangkal, asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas, dasar, semula, asli, kaedah, dan silsilah.[22]
Menurut Abdullah A’la Al Maududi dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Islam, memberikan pengertian  fiqh adalah undang-undang yang di gali dari hukum-hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.[23] Latar belakang penggalian ini disebabkan satu jamaah yang teridiri dari imam-imam kaum muslimin yang besar, telah memeriksa hukum-hukum Al-Qur’an  dan As-Sunnah, berdasar itu meraka menyusun undang-undang islam yang terperinci yang tersebar di dalam kitab-kitab. Dengan maksud meyediakan hukum-hukum bagi kaum muslimin yang awam dengan cara yang mudah.
Sedangkan definisi ushul fiqh menurut istilah syara’(hukum Islam) adalah pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan, yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiqh adalah himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi saran utnuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.[24]
b.        Teori Ijtihad Imam Syafi’i
Ijtihad Imam Syafi’i terkait dengan ilmu usul fiqh terkandung dalam kitab ar-risalah. Dalam kitab ini, beliau menjelaskan sumber-sumber  pembentukan mazhabnya, bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat, antara lain:[25]
1)   Ilmu yang diambil dari Al-Qur’an dan sunnah Rosul saw, apabila telah tetap kesahihannya
2)   Ilmu yang diadapat dari ijma’, dalam hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rosul saw
3)   Fatawa sebagian sahabat ang tidak diketahui ada sahabat yang menyalahinya
4)   Pendapat yang dipersilahkan dikalangan sahabat
5)   Qiya, apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.

1.    Dasar Madzhab Syafi’i

Dalam kitab ar-risalah beliau menerangkan dasar-dasar tasyri’(pembuatan/pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa) yang di pegangnya adalah :
a.       Al -Qur’an menurut dzahirnya

Mashdar-mashdar istidlal banyak namun kesemuanya kembali pada dua dasar pokok yaitu: al Qur’an dan as Sunnah,akan tetepi dalam sebagian kitabnya beliau mengatakan bahwa as Sunnah tidak semartabat dengan al qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as Sunnah ditempat al qur’an, karena as-Sunnah merupakan penjelas bagi al-Qur’an , walaupun hadist ahad tidak senilai dengan al Qur’an.[26]
As Syafi’i menetapkan bahwa as Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun demikian, bukan berarti hadist yang diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin beliau menyamakam as Sunnah dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum, juga tidak memberi pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan aqidah.Orang yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.[27]

b.    Sunnah walaupun Ahad

Dalam ar risalah Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah hujjah untuk membuktikan bahwa as Sunnah merupakan salah satu hujjah dari hujjah-hujjah agama. Berikut saya kutipkan perkataan imam Syafi’i “ khabar ahad adalah khabar (yang diriwayatkan oleh) satu orang yang lain hingga berakhir kepada nabi Muhammad, atau berakhir kepada periwayat selain nabi Muhammad”.[28]
Beliau juga mengatakan bahwa khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) sebelum ia mencakup beberapa perkara ; [29]
1.      Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya agamanya
2.      Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam berbicara
3.    Orang yang meriwayatkannya paham terhadap hadist yang diriwayatkannya, mengetahui lafazh yang bisa mengubah makna-makna hadist, atau dia adalah periwayat yang bisa menyampaikan hadist sesuai huruf-hurufnya sebagaimana yang di dengarnya. Tidak menurut makna, karena apabila ia meriwayatkan hadist dalam bentuk makna, sedangkan ia tidak mengetahui aspek-aspek yang bisa mengubah maknanya, maka ia tidak tahu barangkali ia mengalihkan halal kepada haram. Apabila ia menyampaikan hadist sesuai huruf-hurufnya, maka tidak ada lagi alasan kekhawatiran mengubah hadist.
4.   Orang yang meriwayatkannya harus hapal (jika ia meriwayatkan hapalan), atau mencatat secara akurat (jika ia meriwayatkan hadist dari kitab catatannya. Apabila ia menghafal hadist bersama-sama penghapal hadist lain, maka ia harus sejalan dengan mereka.
5.    Terbebas dari tuduhan  sebagai periwayat mudallas (penyembunyian aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dhahirnya) yaitu periwayat yang menuturkan atau meriwayatkan dari orang yang di jumpainya tentang hal yang tidak pernah di dengarnya dari orang itu, di samping itu, ia juga terbebas dari meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad sedangkan para periwayat terpercaya meriwayatkan hal sebaliknya dari Nabi saw.
c.    Ijma
Imam Syafi’i mengatakan ijma’ itu adalah hujjah (Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan) dan metapkannya setelah al  Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas lebih lemah daripada ijma’, karena sama nilainya dengan tayammum.
 Ijma’ menurut Imam Syafi’i ialah kesepakatan seluruh ulama semassa tarhadap suatu hukum. Imam Syafi’i mengatakan “barang siapa berpegang teguh pada pendapat jamaah umat islam, maka telah komitmen terhdap jamaah. Barangsiapa bertentangan dengan pendapat jamaah umat islam, berarti telah bersebenrangan dengan jamaah yang seharusnya ia pegang”.[30]
d.   Qiyas
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu. Menurut beliau setiap persoalan yang dihadapi seorang muslim pasti ada hukumnya. Atau petunjuk mengenai peneyelesaian yang benar. Jika ada hukum definitive (baku) di dalamnya, maka ia wajib mengikutinya. Apabila tidak ada, maka dicarilah dalil yang menunjukkan kebenaran di dalamnya dengan cara ijtihad. Ijtihad itulah di sebut qiyas.[31]
Imam Syafi’i menegaskan qiyas ada dua macam : pertama mengqiyaskan sesuatu dengan perkara pokok karena mereka memiliki  alasan yang sama, sehingga qiyas di dalamnya tidak boleh berbeda. Kedua, mengqiyaskan sesuatu dengan perkara pokok karena keduanya memiliki keserupaan, sehingga ia diletkatkan pada yang paling tepat atau yang paling banyak keserupaannya.[32]
c.    Analisis dan Contoh Penerapan
Kemunculan ilmu ushul fiqih yang terjadi merupakan wujud dari usaha mengatasi problema hukum masyarakat.Tapi berkaitan dengan belum adanya kaidah dalam penetapan hukum yang sitstematis dan lengakap maka Imam Syafi’i memandang bahwa perlu untuk membuat satu norma hukum berkaitan kaidah-kaidah dalam penetapan fikih dalam menyelesaikan kasus di masyarakat. Diantara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhi olehnya: Ahmad ibn Hambal, al-Karabisi, al-Za’rafani, dan Abu Saur. Pendapat Imam Syafii pada waktu di Irak disebut qaul al-qadim. Setelah tinggal di Irak, Imam Syafi’i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian tinggal di Mesir.
 Di Mesir, Imam Syafi’i bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umunya adalah rekan imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqhh ulama Madinah atau ahl al-haadist. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul al-jadid. Dengan demikian, qaul al-qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan qaul al-jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadis/klasik.

BAB III

PENUTUP

A.  Simpulan
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori ijtihad yang dikembangkan imam Syafi’i bersifat deduktif. Yakni dengan melihat dalil umum ke dalil khusus mengurutkannya mulai dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw, ijtihad para sahabat, dan terkahir barulah di ambil istinbath hukum.
B.       Kritik dan Saran
Dengan terobosan yang dilakukan imam Syafi’i terhadap proses pembuatan hukum baru dalam menghadapi satu permasalahan. Telah memberi khazanah baru perkembangan hukum Islam. Tapi sekaligus ini menjadi pengikat, sebab dengan demikian, ketika metodelogi ijtihad semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang baku, maka terjadilah stagnansi dalam perkembangan ilmu hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Arfan, Muammar M.,2013, Study Islam Persepektif Insider/Outside , Jogjakarta :
Diva Press
A’la, Al-Maududi Abul.,1988,  Principle Of Islam, Jakarta : Al-Ma’arif
Abdul Wahab Khallaf, 2014, Ilmu Ushul Fiqih,  alih bahasa H. Moh. Zuhri

Al-Amidi., 1981, Al-ahkam fi usul al-ahkam, Beirut; Dar. Al-fikri

Ade Dedi Rohayana., 2005 Ilmu Usul Fiqh, Pekalongan : STAIN Press

Al-Syaukani, Al-ursyad al-fuhul, dar al-kutub al ilmiyyah Beirut 1994

Al-Gazali, Al-Mustasfa mim omi Al-Usul, Kairo, Sayyid Al Husain.

Ahmad Warson Munawwir., 1983, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Ponpes al-     Munawwir Krafyak,

H.A. Basiq Djalil Ilmu., 2014, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, cet. 2, Jakarta:          Kharisma         Putra Utama

Imam Syafi’i., 2015,  Ar-Risalah, Terjemahan, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.

Karib, Ahmad., Judul  Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, Semarang ; PT Karya Toha             Putra,

M. Arfan Muamma., 2013, Study islam persepektif insider/outsider , (Jogjakarta:     Diva    Press,. hlm . 29.

Mardani, 2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo,

Tim penulis UII., 2012, Pribumisasi hukum Islam “pembacaan kontemporer          hukum             Islam di Indonesia”,  Yogyakarta : Penerbit Kaukaba

Yusuf Qardhawi, 1985, Al-Ijtihad Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah Ma’a Nazharatin                Tahlilliyat Fi    Al-Ijtihad Al-Mu’atsir, Kuwait: Dar al-Qalam,

Majalah, Hidayah Nomor 25 tahun 2003 



[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,  alih bahasa H. Moh. Zuhri dan Ahmad Karib, Judul  Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, (Semarang, PT Karya Toha Putra, 2014), hlm. 8
[2] Ibid.
[3] Ibid.,  hlm.9
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm.10.
[7] Ibid., hlm.11.
[8] H.A. Basiq Djalil Ilmu, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, cet. 2, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014) hlm. 21
[9] Opcit., Hlm.21
[10] M. Arfan Muammar, Study islam persepektif insider/outsider , (Jogjakarta:  Diva Press, 2013). hlm . 29.
[11] Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqih,  (Jakarta: PT Kaharisma  Putra, 2014),  hlm.181-182
[12]Al-amidi, al ahkam fi usul al-ahkam, dar. Al-fikri, 1981 juz iii, hlm 204                
[13] Al-Syaukani, Al-ursyad al-fuhul, dar al-kutub al ilmiyyah, Beirut 1994
[14] Al-Gazali, Al-Mustasfa mim omi Al-Usul, Kairo, Sayyid Al Husain, hlm 478
[15] Tim penulis UII, Pribumisasi hukum Islam “pembacaan kontemporer hukum Islam di Indonesia”,  Yogyakarta, Penerbit kaukaba, cet.II. 2012, hlm242
[16]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2 hlm.267
[17] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm, 201
[18] Yusuf Qardhawi, al-ijtihad fi al-syariat al-islamiyyah ma’a nazharatin tahlilliyat fi al-ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, Dar al-Qalam, 1985, hlm 115
[19]Ibid, hlm 126
[20] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an. hlm. 387
[21]Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2013, hlm368
[22] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir (Yogyakarta:ponpes al-Munawwir Krafyak, 1983), hlm. 29-30
[23] Abul A’la Al-Maududi, Principles of Islam, terjemahan oleh Abdullah Suhaili,  Prinsip-Prinsip Islam,  Cet. 10,  (Bandung : PT Al-Maarif, 1988) hlm. 124.
[24] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh...., hlm. 2-3
[25] Majalah, Hidayah Nomor 25 tahun 2003

[28] Imam Syafi’i , Ar-Risalah, terjemahan ; 2015, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hlm. 316
[29] Ibid, hlm. 317
[30] Ibid. Hlm, 380
[31] Ibid. Hlm. 381
[32]Ibid.hlm. 382

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia