TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I
Pengantar
Assalamualaikum wr wb..
Alhamdulillah puji syukur sama-sama kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk tetap bisa menuntut ilmu. Sholawat beriring salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan alam nabiyullah Muhammad saw, yang membawa kita dari peradaban tertinggal ke peradaban yang gemilang.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan, bahwa makalah tentang teori ijtihad imam syafii yang saya share di blog pribadi ini adalah tugas dari mata kuliah ushul fiqh yang di ampu Dr. Yusdani, M.Ag pada program pasca sarjana FIAI UII. Namun demikian segala kekeliruan dalam makalah ini adalah tanggung jawab saya sebagai penulis.
Oleh karena itu, sumbang saran sangat di butuhkan untuk memperbaiki kualitas tulisan, dan juga kualitas makalah yang dibuat. Dalam makalah ini juga telah dikutib sumber-sumber yang menjadi rujukan pembuatan makalah. Namun penulis menyadari kekeliruan yang masih banyak, maka dari itu sebelum menjadikan makalah ini referensi dalam tulisan saudara-saudari, alangkah bijak kiranya saudara-saudari melakukan kroscek kembali untuk mengetahui kesesuaian kutipan dan sumber kutipan.
Terimakasih atas sumbang saran yang membangun. Semoga kita bisa semakin mencintai khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Yogyakarta, Desember 2016
ttd
Ahmad Rizal Khadapi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya
agama Islam ke seluruh dunia, yang bermula dari jazirah Arab menimbulkan
berbagai permasalahan dalam penerapan hukum Islam mengingat adat istiadat yang berbeda di masing-masing
wilayah. Karena permasalahan hukum yang timbul berbeda-beda, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan
pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama islam merupakan himpunan dari
akidah, akhlak, dan hukum amaliyah.[1]
Pada masa
sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah dihadapi masyarakat muslim sebelumnya, dalam arti persoalan tersebut tidak pernah muncul
pada masa Rosulullah saw. Maka para mujtahid dari kalangan sahabat saat itu berijtihad dengan memberi putusan
hukum, fatwa, dan menentapkan hukum syariat, dari sejumlah hukum yang mereka
istimbathkan, dengan berpedoman pada kompilasi hukum
yang pertama.[2]
Pada masa tabiin
dan tabiit tabiin serta para imam mujtahid, yaitu sekitar abad hijriyah
yang kedua dan ketiga, negara islam meluas dan banyak orang non Arab yang
memeluk agama Islam. Kaum muslimin dihadapkan pada berbagai kejadian dan
kesulitan baru, bermacam-macam pergkajian, aneka ragam teori, dan gerakan
pembangunan fisik dan intlektualitas yang membawa para mujtahid memperluas ijtihad
dan membentuk hukum islam pada banyak kasus serta terbukanya pintu penelitian
dan analisis bagi mereka.[3]
Pada masa ini
dimulailah kodifikasi hukum yang pertama.[4] Di
antara hasil kodifikasi yang pertama kali sampai kepada kita adalah kitab
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas.[5]
Ilmu ushul fiqh
sendiri mulai tumbuh pada awal abad kedua hijriyah. [6] Dalam perkembangannya, lahirnya ilmu Ushul fiqh ini dilatar belakangi
semakin sulitnya pembentukan hukum
Islam, dan perdebatan antara ahli hadist dan ahli ra’yi semakin seru. Hal
tersebut yang mendorong di susunnya berbagai ketentuan dan kajian terhadap
dalil-dalil syar’i, syarat-syarat beristidlal, dan cara menggunakan dalilnya.
Dari kompilasi pengkajian penggunaan dalil dan ketentuan-ketentuan bahasan
tersebut , maka terbentuklah ilmu ushul
fiqih.[7]
Oleh karenanya
para imam mazhab kemudian melakukan berbagai ijtihad untuk mengambil dan atau
membuat keputusan hukum atas masalah yang timbul. Hukum islam menurut Amir Syarifudin adalah
fiqh. Fiqh dalam literatur islam yang berbahasa Arab. Untuk memebuat
keputusan hukum baru dalam hukum islam, lahirlah ilmu ushul fiqh.
Ulama yang terkenal pertama kali merumuskan dan menyusun ilmu ushul fiqh beserta kaidah-kiadahnya ialah Imam Syafi’i.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Idris Syafi’i yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “ar-Risalah”. kitab ini adalah kitab ushul fiqh
yang pertama beliau susun.[8]
Kitab ushul fiqih ini merupakan kodifikasi
kaidah-kaidah dan kajian-kajian ilmu fiqih menjadi satu kumpulan yang
berdiri sendiri, sistematis, dan masing-masing kaidah diperkuat dengan dalil serta segi analisisnya. Tersebab kodifikasi yang dilakukan oleh beliau, beliau kini dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih di kalangan para ulama.
Menurut beberapa pendapat, ada juga sebagian ulama yang menjelaskan, bahwa sebelum Imam Syafi’i menyusun
kitab ar-Risalah, sebenarnya telah ada ulama yang menyusun ushul fiqih, yakni imam
Abu Yusuf. Tetapi karena tulisan beliau tidak dijaga dan tidak dikembangkan
oleh murid-murid beliau, maka kita tersebut hilang begitu saja.[9]
B.
Persoalan Pokok
Untuk
memfokuskan arah tulisan dalam makalah ini. Maka topik yang akan dibahas mengenai teori ijtihad Imam Syafi’i
Rahimakumullah.
BAB
II
KAJIAN
TENTANG TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I
A.
Pengertian Teori
Sebelum kita
berbicara lebih jauh mengenai teori ushul al-fiqh, ada baiknya kita perlu
melihat kembali makna dan hakikat dari teori, dan jtihad. Karena dua kata yang
digabaungkan tersebut menjadi pokok kajian makalah ini.
Sebagaimana di
ungkapkan oleh Charles Sanders Piersce (1839-1914 M) dalam artikelnya yang
berjudul how to make our ideas clear, ia
menegaskan bahwa teori yag baik harus
mengarahkan penemuan fakta-fakta baru dan konsekuensi-konsekuensi pada
pemikiran teoritis dalam kenyataan praktis.[10] Oleh karena itu teori dikembangkan untuk menemukan fakta terbaru dari sebuah teori.
B. Kajian Seputar Ijtihad
a.
Pengertian
Ijtihad
Kata ijtihad
berasal dari kata kerja “ijtihada” artinya bersungguh-sungguh, kata ini hanya
terpakai untuk hal-hal yang berat. Sedangkan menurut ilmu ushul fiqi, ijtihada
adalah seorang ahli fiqh yang mencurahkan kesanggupannya dan berusaha keras
untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syariat.[11]
Sebagaimana di
kutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978;480), Al-Amidi memberikan pengertian terkait ijtihad. Ijtihad menurut beliau
yaitu mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhanni (ظنّ - يظنّ - ظنا yang berarti ragu, dugaan atau sangkaan) dari
hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melibih usaha
itu [12].
Sedangkan menurut imam Al-Syaukani ijithad adalah mengerahkan kemampuan dalam
memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath (suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih)
untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan
yang terjadi).[13]
Dalam pengertian yang lain Al-Gazhali menjelaskan bahwa ijtihad adalah
pengerahan segalam kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum syar’i.[14]
Sementara itu
Iqbal mengatakan ijtihad adalah the
principle of movement- daya gerak kemajuan umat islam. Dengan kata lain,
ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran islam, termasuk bidang hukumnya.[15]
b. Macam-Macam
Ijtihad
Dalam berbagai
literatur dan buku yang menjelaskan tentang jtihad. Secara umum dapat
diketahui beberapa macam ijtihad, antara lain:
1. Ijtihad Bayani sebagaimana ditulis oleh Amir Syarifudin.[16]
Ijtihad Bayani adalah
ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash namun
sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi
penunjukkannya.
2. Ijtihad Qiyasi yaitu ijtihad untuk menggali dan
menetapkan hukum yang mana terdapat suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidak
tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada.
3. Ijtihadi
Isthislahi, menurut Muhammad Salam Madkur sebagaimana dikutip oleh Ade Dedi
Rohayana.[17] Ijtihad Isthislahi adalah pengorbanan
kemampuan untuk sampai kepada hukum syara dengan menggunakan pendekatan
kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan
pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus untuk
dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu tidak mungkin juga diterapkan
metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini pada
dasarnya merujuk pada kaidah jalb al-maslahan wa daf al mafsadah ( menarik
kemalahatan dan menolak kemafsadahan) sesuai dengan aturan yang teralah
ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.
c. Cara-Cara Berijtihad
Secara umum ada tiga bentuk cara berijtihad,
yaitu dikenal dengan ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i dan Ijtihad
muqorin (komparatif). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Ijtihad
Intiqa’i, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi.[18]
Ijtihad Intiqa’i
adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
pendapat para ahli fiqh terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu,
sebagaimana tertulis dalam kitab fiqh, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat
dalilnya dan lebih releban dengan kondisi kita sekarang.
2. Ijtihad
Insya’i yaitu usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai
peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu.[19]
3. Ijtihad Muqorin adalah menggabungkan keduan bentuk ijtihad diatas (intiqa’i dan
insya’i) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan
beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar
yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.[20]
d. Produk
Ijtihad
Produk ijtihad
dibedakan menjadi empat, yaitu :[21]
1. Fiqh
2. Qanun
(Undang-Undang)
3. Qadha’i
(Putusan Pengadilan)
4. Fatwa
(Pendapat Hukum)
C.
Teori
Ijtihad Imam Syafii
a.
Terbentuknya
Ushul Fiqh
Kata
ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ; ushul dan fiqh. Kata ushul
merupakan kata jamak dari kata ashl (dalam bahasa Arab yang bermakna pokok). Kata ushul secara etimologis mempunyai
arti: berakar, berasal, pangkal, asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas,
dasar, semula, asli, kaedah, dan silsilah.[22]
Menurut
Abdullah A’la Al Maududi dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Islam, memberikan pengertian fiqh adalah undang-undang yang di gali dari
hukum-hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah.[23]
Latar belakang penggalian ini disebabkan satu jamaah yang teridiri dari
imam-imam kaum muslimin yang besar, telah memeriksa hukum-hukum
Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdasar itu
meraka menyusun undang-undang islam yang terperinci yang tersebar di dalam kitab-kitab. Dengan maksud meyediakan hukum-hukum bagi kaum muslimin yang awam
dengan cara yang mudah.
Sedangkan
definisi ushul fiqh menurut istilah syara’(hukum Islam) adalah pengetahuan tentang berbagai
kaidah dan bahasan, yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’
mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul
fiqh adalah himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi saran utnuk mengambil
dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang
terperinci.[24]
b.
Teori
Ijtihad Imam Syafi’i
Ijtihad Imam
Syafi’i terkait dengan ilmu usul fiqh terkandung dalam kitab ar-risalah. Dalam
kitab ini, beliau menjelaskan sumber-sumber
pembentukan mazhabnya, bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat, antara lain:[25]
1)
Ilmu yang diambil dari Al-Qur’an
dan sunnah Rosul saw, apabila telah tetap kesahihannya
2)
Ilmu yang diadapat dari ijma’,
dalam hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rosul saw
3)
Fatawa sebagian sahabat ang tidak
diketahui ada sahabat yang menyalahinya
4)
Pendapat yang dipersilahkan
dikalangan sahabat
5)
Qiya, apabila tidak dijumpai
hukumnya dalam keempat dalil di atas.
1. Dasar Madzhab Syafi’i
Dalam kitab ar-risalah beliau menerangkan dasar-dasar tasyri’(pembuatan/pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa) yang di pegangnya adalah :
a. Al -Qur’an menurut dzahirnya
Mashdar-mashdar
istidlal banyak namun kesemuanya kembali pada dua dasar pokok yaitu: al Qur’an
dan as Sunnah,akan tetepi dalam sebagian kitabnya beliau mengatakan bahwa as
Sunnah tidak semartabat dengan al qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as
Sunnah ditempat al qur’an, karena as-Sunnah merupakan penjelas bagi
al-Qur’an
, walaupun hadist ahad tidak senilai dengan al Qur’an.[26]
As Syafi’i menetapkan
bahwa as Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun demikian,
bukan berarti hadist yang diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin beliau
menyamakam as Sunnah dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum, juga tidak
memberi pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan aqidah.Orang
yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.[27]
b. Sunnah
walaupun Ahad
Dalam
ar risalah Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah hujjah untuk
membuktikan bahwa as Sunnah merupakan salah satu hujjah dari hujjah-hujjah
agama. Berikut saya
kutipkan perkataan imam Syafi’i “ khabar ahad adalah khabar (yang
diriwayatkan oleh) satu orang yang lain hingga berakhir kepada nabi Muhammad,
atau berakhir kepada periwayat selain nabi Muhammad”.[28]
Beliau juga
mengatakan bahwa khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) sebelum
ia mencakup beberapa perkara ; [29]
1.
Orang yang meriwayatkannya harus
terpercaya agamanya
2.
Orang yang meriwayatkannya
dikenal jujur dalam berbicara
3. Orang yang meriwayatkannya paham terhadap hadist yang diriwayatkannya,
mengetahui lafazh yang bisa mengubah makna-makna hadist, atau dia adalah
periwayat yang bisa menyampaikan hadist sesuai huruf-hurufnya sebagaimana yang
di dengarnya. Tidak menurut makna, karena apabila ia meriwayatkan hadist dalam
bentuk makna, sedangkan ia tidak mengetahui aspek-aspek yang bisa mengubah
maknanya, maka ia tidak tahu barangkali ia mengalihkan halal kepada haram. Apabila
ia menyampaikan hadist sesuai huruf-hurufnya, maka tidak ada lagi alasan kekhawatiran
mengubah hadist.
4. Orang yang meriwayatkannya harus
hapal (jika ia meriwayatkan hapalan), atau mencatat secara akurat (jika ia
meriwayatkan hadist dari kitab catatannya. Apabila ia menghafal hadist
bersama-sama penghapal hadist lain, maka ia harus sejalan dengan mereka.
5. Terbebas dari tuduhan sebagai
periwayat mudallas (penyembunyian aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dhahirnya) yaitu periwayat yang menuturkan atau meriwayatkan dari orang
yang di jumpainya tentang hal yang tidak pernah di dengarnya dari orang itu, di
samping itu, ia juga terbebas dari meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad
sedangkan para periwayat terpercaya meriwayatkan hal sebaliknya dari Nabi saw.
c.
Ijma
Imam
Syafi’i mengatakan ijma’ itu adalah hujjah (Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang
banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna
tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja
"berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan) dan metapkannya setelah al Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas
lebih lemah daripada ijma’, karena sama nilainya dengan tayammum.
Ijma’ menurut Imam Syafi’i ialah kesepakatan seluruh ulama semassa tarhadap suatu hukum. Imam Syafi’i mengatakan “barang siapa berpegang teguh pada pendapat jamaah umat islam, maka telah komitmen terhdap jamaah. Barangsiapa bertentangan dengan pendapat jamaah umat islam, berarti telah bersebenrangan dengan jamaah yang seharusnya ia pegang”.[30]
Ijma’ menurut Imam Syafi’i ialah kesepakatan seluruh ulama semassa tarhadap suatu hukum. Imam Syafi’i mengatakan “barang siapa berpegang teguh pada pendapat jamaah umat islam, maka telah komitmen terhdap jamaah. Barangsiapa bertentangan dengan pendapat jamaah umat islam, berarti telah bersebenrangan dengan jamaah yang seharusnya ia pegang”.[30]
d.
Qiyas
Imam Syafi’i
menjelaskan bahwa qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu. Menurut
beliau setiap persoalan yang dihadapi seorang muslim pasti ada hukumnya. Atau
petunjuk mengenai peneyelesaian yang benar. Jika ada hukum definitive (baku) di
dalamnya, maka ia wajib mengikutinya. Apabila tidak ada, maka dicarilah dalil
yang menunjukkan kebenaran di dalamnya dengan cara ijtihad. Ijtihad itulah di
sebut qiyas.[31]
Imam Syafi’i
menegaskan qiyas ada dua macam : pertama mengqiyaskan sesuatu dengan
perkara pokok karena mereka memiliki
alasan yang sama, sehingga qiyas di dalamnya tidak boleh berbeda. Kedua,
mengqiyaskan sesuatu dengan perkara pokok karena keduanya memiliki keserupaan,
sehingga ia diletkatkan pada yang paling tepat atau yang paling banyak
keserupaannya.[32]
c.
Analisis
dan Contoh Penerapan
Kemunculan
ilmu ushul fiqih yang terjadi merupakan wujud dari usaha mengatasi problema
hukum masyarakat.Tapi
berkaitan dengan belum adanya kaidah dalam penetapan hukum yang sitstematis dan
lengakap maka Imam Syafi’i memandang bahwa perlu untuk membuat satu norma hukum berkaitan kaidah-kaidah dalam penetapan fikih dalam menyelesaikan kasus di
masyarakat. Diantara
ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhi
olehnya: Ahmad ibn Hambal, al-Karabisi, al-Za’rafani, dan Abu Saur. Pendapat Imam Syafii pada waktu di Irak disebut qaul al-qadim. Setelah
tinggal di Irak, Imam Syafi’i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan
kemudian tinggal di Mesir.
Di Mesir, Imam Syafi’i bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umunya adalah rekan imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqhh ulama Madinah atau ahl al-haadist. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul al-jadid. Dengan demikian, qaul al-qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan qaul al-jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadis/klasik.
Di Mesir, Imam Syafi’i bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umunya adalah rekan imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqhh ulama Madinah atau ahl al-haadist. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul al-jadid. Dengan demikian, qaul al-qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan qaul al-jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadis/klasik.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori ijtihad yang dikembangkan imam Syafi’i
bersifat deduktif. Yakni dengan melihat dalil umum ke dalil khusus
mengurutkannya mulai dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw, ijtihad para sahabat, dan
terkahir barulah di ambil istinbath hukum.
B. Kritik dan Saran
Dengan terobosan yang dilakukan imam Syafi’i
terhadap proses pembuatan hukum baru dalam menghadapi satu permasalahan. Telah
memberi khazanah baru perkembangan hukum Islam. Tapi sekaligus ini menjadi
pengikat, sebab dengan demikian, ketika metodelogi ijtihad semacam ini dianggap
sebagai sesuatu yang baku, maka terjadilah stagnansi dalam perkembangan ilmu
hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arfan, Muammar M.,2013,
Study Islam Persepektif Insider/Outside
, Jogjakarta :
Diva
Press
A’la, Al-Maududi
Abul.,1988, Principle Of Islam, Jakarta : Al-Ma’arif
Abdul
Wahab Khallaf, 2014, Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa H. Moh. Zuhri
Al-Amidi.,
1981, Al-ahkam fi usul al-ahkam, Beirut; Dar. Al-fikri
Ade
Dedi Rohayana., 2005 Ilmu Usul Fiqh, Pekalongan : STAIN Press
Al-Syaukani,
Al-ursyad al-fuhul, dar al-kutub al ilmiyyah Beirut 1994
Al-Gazali,
Al-Mustasfa mim omi Al-Usul, Kairo, Sayyid Al Husain.
Ahmad
Warson Munawwir., 1983, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Ponpes al- Munawwir Krafyak,
H.A.
Basiq Djalil Ilmu., 2014, Ilmu Ushul Fiqh
satu dan dua, cet. 2, Jakarta: Kharisma Putra Utama
Imam
Syafi’i., 2015, Ar-Risalah,
Terjemahan, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.
Karib,
Ahmad., Judul Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, Semarang ; PT Karya Toha Putra,
M.
Arfan Muamma., 2013, Study islam
persepektif insider/outsider , (Jogjakarta:
Diva Press,. hlm . 29.
Mardani,
2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo,
Tim
penulis UII., 2012, Pribumisasi hukum Islam “pembacaan kontemporer hukum Islam
di Indonesia”, Yogyakarta : Penerbit
Kaukaba
Yusuf
Qardhawi, 1985, Al-Ijtihad Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah Ma’a Nazharatin Tahlilliyat
Fi Al-Ijtihad Al-Mu’atsir, Kuwait:
Dar al-Qalam,
Majalah,
Hidayah Nomor 25 tahun 2003
[1] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa H. Moh. Zuhri dan Ahmad Karib,
Judul Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, (Semarang, PT Karya Toha Putra, 2014), hlm.
8
[2] Ibid.
[3] Ibid.,
hlm.9
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm.10.
[7] Ibid., hlm.11.
[8] H.A. Basiq
Djalil Ilmu, Ilmu Ushul Fiqh satu dan dua, cet. 2, (Jakarta: Kharisma
Putra Utama, 2014) hlm. 21
[9] Opcit., Hlm.21
[10] M. Arfan
Muammar, Study islam persepektif insider/outsider
, (Jogjakarta: Diva Press, 2013). hlm .
29.
[11] Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Kaharisma Putra, 2014),
hlm.181-182
[12]Al-amidi, al
ahkam fi usul al-ahkam, dar. Al-fikri, 1981 juz iii, hlm 204
[13] Al-Syaukani,
Al-ursyad al-fuhul, dar al-kutub al ilmiyyah, Beirut 1994
[14] Al-Gazali,
Al-Mustasfa mim omi Al-Usul, Kairo, Sayyid Al Husain, hlm 478
[15] Tim penulis
UII, Pribumisasi hukum Islam “pembacaan kontemporer hukum Islam di
Indonesia”, Yogyakarta, Penerbit
kaukaba, cet.II. 2012, hlm242
[16]Amir syarifuddin,
Ushul Fiqh, jilid 2 hlm.267
[17] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Usul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm, 201
[18] Yusuf
Qardhawi, al-ijtihad fi al-syariat al-islamiyyah ma’a nazharatin tahlilliyat fi
al-ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, Dar al-Qalam, 1985, hlm 115
[19]Ibid, hlm 126
[20] Umar Shihab,
Kontekstualitas Al-Qur’an. hlm. 387
[21]Mardani, Ushul
Fiqh, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2013, hlm368
[22] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawir (Yogyakarta:ponpes al-Munawwir Krafyak, 1983), hlm.
29-30
[23] Abul A’la
Al-Maududi, Principles of Islam,
terjemahan oleh Abdullah Suhaili, Prinsip-Prinsip
Islam, Cet. 10, (Bandung : PT Al-Maarif, 1988) hlm. 124.
[24] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh...., hlm.
2-3
[25] Majalah,
Hidayah Nomor 25 tahun 2003
[28] Imam Syafi’i ,
Ar-Risalah, terjemahan ; 2015, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hlm. 316
[29] Ibid, hlm.
317
[30] Ibid. Hlm,
380
[31] Ibid. Hlm.
381
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih