MAKALAH STUDY QUR'AN HADIST
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Merupakan wahyu dari Allah swt
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Sekaligus menjadi kitab
penyempurna dari kitab-kitab agama samawi yang diturunkan Allah swt. Menurut Abdul Wahhab Khalaf : Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan-Nya melalui perantara malaikat jibril ke dalam hati
Rosullullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal berbahasa Arab dan
makna-maknanya yang benar, sebagai hujjah atas kerasullannya, menjadi undang-undang
bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi sara pendekatan diri dan
bernialai ibadah dengan membacanya.[1]
Dalam struktur pengambilan hukum dalam Islam. Al-Qur’an merupakan sumber
(dalil) pertama yang harus menjadi rujukan dalam proses istinbaht hukum. Sifat
hukum dari Al-Qur’an ada yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Beberapa ayat yang menunjukkan Al-Qur’an
sebagai sumber dalil adalah sebagai berikut :
(QS. Al-Baqarah : 2) “kitab
Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa”
(QS. Al-Isra: 9) “sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar
gembira pada orang-orang yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar”
(QS. An-Nisa: 59) “taatlah
kamu kepada Allah dan taatlah pada Rasul_Nya”.
Selain menunjukkan diri sebagai sumber hukum, Al-Qur’an juga menunjukkan
sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan ini
adalah sebagai berikut :
(QS. Al-Hasyr : 7) “apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka ambillah (kerjakanlah) dan
apa yang dicegahnya atasmu maka jauhilah...”
(QS. An-Nisa: 80) “barangsiapa tunduk kepada Rosul,
maka ia sungguh telah tunduk kepada Allah”
Dari ayat-ayat di atas dapat di ambil satu pendapat bahwa kedudukan
Al-Qur’an merupakan sebagai ground norm
(norma dasar) dalam pijakan mengambil satu istinbath hukum. Al-Qur’an menjadi
petunjuk jalan bagi kita semua, sebagaimana diungkapkan dalam surat Al-Baqarah
ayat 2.
Berkaitan dengan hal tersebut salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang
menjadi pertanyaan besar kita semua adalah surat Al-An’am ayat 57. Dalam Qur’an
surat Al-An’am Allah berfirman : katakanlah
(Muhammad), Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku
sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang
kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik”.[2]
B.
Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah, yang terkait dengan latar belakang
diatas adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana sifat
kedudukan hukum surat Al-An’am (6) ayat
57 sebagai hukum Tuhan ?
b.
Bagaimana bentuk hukum dalam
Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 57 sebagai hukum Tuhan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan yang kami
ingin capai adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui sifat kedudukan hukum surat Al-An’am (6) ayat 57
sebagai hukum Tuhan.
b. Untuk mengetahui bentuk hukum Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 57 sebagai
hukum Tuhan?
D.
Manfaat
Adapun manfaat yang ingin di apatkan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
a.
Secara teoritis sebagai
bahan kajian lebih lanjut dalam bidang kajian Islam.
b. Secara praktis diharapkan menjadi pengetahuan umum dan bahan refleksi
untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt.
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian normative dengan pendekatan yang digunakan yaitu statute approach, conceptual approach. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah
data primer dan data skunder. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan
dengan studi dokumen.
BAB II
ISI
A. Kajian Seputar Al-Qur’an
a.
Definisi Al-Qur’an
Secara etimologis kata Al-Qur’an merupakan isim mashdar dari fi’il madly
“qoro’a” yang artinya membaca, menelaah, mempelejarai, menyampaikan,
mengumpulkan, melahirkan, bunting.[3] Sedangkan
secara terminologis dapat dilihat dari pandangan para ahli kalam dan menurut
istilah ahli ushul fiqh.
1.
Menurut istilah ahli
kalam
Muhamad Abd’ Adhim al-Zarqani
dalam kitab manahil al –irfan fi ulum al-Qur’an memberikan
definisi Al-Qur’an adalah sifat yang qadim yang berhubungan dengan
kalimat-kalimat yang hikamiyah (penuh hikmah) yang tersusun dari awal surat
al-Fatihah sampai an-Nas.[4]
Al-Qur’an itu adalah kamilat-kalimat yang penuh hikmah yang azali, yang
tersusun rapi tanpa berurutan yang bebas dari huruf sebangsa lafaz, pemikiran
dan kejiwaan.[5]
Al-Qur’an itu adalah lafaz yang diturunkan kepada nabi Saw, dari surat al-Fatihah
sampai surat an-Nas.[6]
2.
Menurut para ahli ushul
fiqh
Diantara para ahli yang memberikan pengertian terhadap al-Qur’an adalah
Abdul Wahhab Khallaf dan Abu Zahrah.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf ;[7]
“Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat jibril ke dalam hati
Rosulullah saw Muhammad bin Abdullah dalam bahasa Arab berikut maknanya yang
benar, untuk menjadi hujjah (dalil) bagi Rosullullah, bahwa beliau utusan-Nya,
sebagai undang-undang bagi manusia, sebagai petunjuk, sebagai pendekatan diri
kepada Allah dengan membacanya, dan dikodifikasi dalam satu mushaf, dimulai
dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas, diriwayatkan secara
mutawatir secara tulisan, maupun lisan, terjaga dari perubahan dan penggantian,
dan sebagai pembenar..”.
Sedangkan menurut Abu Zahrah Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muahammad
saw. Ayat yang pertama kali turun adalah al-Alaq (96):1-5, dan yang terakhir
turun adalah surat al-Maidah (5) ayat 5.[8]
b.
Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Pengertian dalil dalam bahasa Arab adalah yag menunjukkan kepada
sesuatu, baik bersifat indrawi ataupun maknawi, baik ataupun buruk. Adapun
pengertian dalil menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah sesuatu yang
dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan terhadap perbuatan
manusia dengan didasarkan pada pandangan yang benar.[9]
Selanjutnya, sumber adalah tempat mengambil atau asal pengambilan.[10]
Dalam ilmu ushul fiqh, Al-Qur’an merupakan sumber dalil utama. Jadi kekuatan
hukum Al-Qur’an yang tertinggi. Menjadi benteng norma dalam pengambilan satu
hukum. Termasuk ketika Al-Qur’an akan dijadikan sebagai satu rujukan filosofis dalam
membuat peraturan hukum positif (legal
drafting). Sumber hukum perspektif teori ada lima.[11]
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah (Al-Hadist)
3. Fiqh (pemahaman para ulama-ulama)
4. Fiqh yang di formalkan/peraturan perundang-undangan Islam
5. Yurisprodesnsi (putusan pengadilan agama masa lalu)
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, dan 6.236 ayat.[12]
Dalam Al-Qur’an terdapat satu hal yang disebut isi kandungan Al-Qur,an. Menurut
para ulama, isi kandungan Al-Qur’an di bagi dalam lima bagian yaitu : pertama mengendung hal-hal yang berhubungan dengan
ketauhidan. Kedua, hal-hal yang berhubungan dengan ibadah. Ketiga, hal-hal yang berhubungan dengan
janji akan mendapatkan ganjaran, dan ancaman akan mendapatkan siksa. Keempat, mengenai penjelasan tentang
jalan mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kelima, mengenai sejarah
atau kisah-kisah umat zaman dahulu.[13]
Menurut Prof. Dr. Satria Efendi sumber hukum dalam Islam terbagi dalam
dua bentuk, yaitu sumber hukum Islam yang disepakati ulama dan sumber hukum
Islam yang di perdebatkan (diperselisihkan).[14] Lebih lanjut menurut beliau, sumber hukum
yang disepakati itu antara lain : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Sedangkan
sumber hukum yang tidak disepakati yaitu istihsan,
maslahah mursalah, urf (adat istiadat) istishab, mazahab sahabi, syar’u man
qablana, dan sad az-zari’ah.[15]
Selain memiliki isi kandungan. Al-Qur’an adalah kitab yang sangat
berbeda dengan kitab-kitab agama samawi yang lain. Sebagai penyempurna atas kitab-kitab
sebelumnya. Seperti yang diungkapkan
Abul A’la al-Maududi, beberapa perbedaan Al-Qur’an dengan kitab-kitab yang lain
ditilik dari berbagai jurusan atau pandangan antara lain :[16]
1. Kitab-kitab yang digunakan sebelum Al-Qur’an telah hilang naskah-naskah
aslinya. Yang tinggal di tangan orang-orang banyak hanyalah terjemahannya.
Sedangkan Al-Qur’an masih terpelihara dengan kata-kata dan huruf-huruf yang
serupa sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Rosullullah saw dulu.
2. Manusia telah mencampur perkataan mereka dengan kalam Ilahi dalam
kitab-kitab mereka. Sedangkan dalam Al-Qur’an
kita mendapatkan kalam Ilahi (firman Allah) dalam keadaan yang murni,
tanpa campur tangan manusia.
Sebagaimana kita ketahui
bersama, bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah melalui perantara malaikat zibril dalam
bentuk kata-kata. Jadi tentu saja teks yang tersebut dalam Al-Qur’an adalah
teks dari Tuhan. Dan pencatat pertama
yang selalu mendampingi Nabi saw ketika Al-Qur’an diturunkan adalah Zaid Bin
Tsabit. [17]
c.
Ketentuan Hukum dalam Al-Qur’an
1. Hukum Tuhan
Dalam bukunya Prof. Amir Syarifuddin dijelaskan pengertian seputar
hukum. Hukum adalah seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun
orang-orang yang di beri wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat
oleh seluruh anggotanya.[18]
Menurut beliau pengertian di atas masih mengandung kelemahan, sehingga
beliau mengetengahkan satu pengertian baru tentang hukum yaitu seperengkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam[19]
Dalam kaidah studi hukum, kata hukum Tuhan didefinisikan sebagai hukum
yang berasal dari Tuhan. Dalam Islam istilah hukum Tuhan sebenarnya tidak
ditemukan. Dan dalam berbagai study literatur ke_Islaman menunjukkan umumnya
memberikan makna hukum Tuhan dengan istilah hukum Syara’ atau ada juga yang
menyebutnya sebagai hukum Islam.
Sebagaimana yang diutarakan Abdul Wahhab Khallaf, hukum syara’ menurut
para ahli ushul fiqh adalah kitab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk ketentuan (perintah), pilihan, atau
ketetapan.[20]
Pengertian yang hampir sama juga
terdapat dalam bukunya Amir Syariffudin. Hukum syara’ menurut definisi ahli
ushul ialah kitab Allah yang menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk
tuntunan, pilihan, perbuatan, atau tidak; atau “dalam bentuk
ketentuan-ketentuan.” [21]
2. Uslub Al-Qur’an
Maka, karena hukum Tuhan itu dalam Islam dimaknakan sebagai hukum syara’
yang tercermin pada kitab Allah. Dalam hal ini Al-Qur’an menjadi hukum bagi
penganutnya. Dalam Al-Qur’an kita ketahui bahwa gaya bahasa yang digunakan
beraneka macam dalam menjelaskan suatu hukum. Diantaranya dapat dikemukakan
sebagai berikut.[22]
a. Hukum perintah. Al-Qur’an menggunakan beberapa kata yang berbeda dalam
menggunakan kata perintah wajib, diantaranya;
-
QS.Taha( 20) ayat 14, yang berbunyi:
“sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang Hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku”
Pada kedua ayat dibawah
ini Allah menggunakan kata al-Fard atau al-Kitabah
-
QS.At-Tahrim (66);ayat 2.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian
membebaskan diri dari sumapuhmudan Allah adalah pelindungmu dan Dia maha
mengetahui lagi maha bijaksana”
-
QS. Al-Baqarah (2) 183, yang berbunyi :
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Dan selanjutnya pada
kedua ayat dibawah ini Allah menggunakan kata khair atauhusnun.
QS Al-A’raf (7) ayat 26
“hai anak Adam,
sesungguhna kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakain indah untuk perhiasan. Dan paian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” .
QS AS-Syura’ (42) ayat
23, yang berbunyi
“itulah (karunia) yang
(dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hambaNya yang beriman dan mengerjakan
amal saleh. Katakanlah, Aku tidak meminta kepadamu sesua upahpun atas seruanku
kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. Dan siapa saja yang mengerjakan
kebaikan akan kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi maha mensyukuri”.
b. Hukum Larangan, Al-Qur’an ketika melarang, menggunakan beberapa gaya
bahasa, diantaranya:
Kata larangan dalam
surat Al-Baqarah (2): 195, yang artinya :
“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Kemudian ada juga di
dalam Al-Qur’an untuk mengungkapkan suatu perbuatan itu buruk atau tidak baik,
sebagaimana terdapat dalam surat Ali-Imran (3) ayat 180 :
“ sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan tu adalah buruk bagi mereka, harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat, dan kepunyaan
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Abdul Wahhab
Khallaf, hukum yang terkandung # dalam Al-Qur’an ada tiga macam, yaitu :[23]
1. Hukum i’tiqadiyah (yaitu berkaitan dengan hal-hal yang harus di percaya
oleh setiap mukallaf), yaitu mempercayai Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya,
para RosulNya, dan hari akhir.
2. Hukum moralitas, yaitu berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan
perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri
dari hal yang hina.
3. Hukum amaliyah, yaitu berhubungan dengan sesuatu yang timbul dari
mukallaf, baik berupa perkataan, perbuatan, perjanjian hukum dan pembelanjaan.
Selain itu beliau juga membagi hukum amaliyah di dalam Al-Qur’an menjadi
dua yaitu :[24]
1. Hukum-hukum ibadah, berkiatan dengan sholat, puasa, zakat, haji, nadzar,
sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya.
2. Hukum-hukum muamalat, seperti : akad, pembelanjaan, hukuman, pidana, dan
lainnya yang bukan Ibadah dan yang dimaksudkan untuk mengaturhubungan antara
semsama mukallaf, baik secara individu, bangsa, atau kelompok.
Setelah beliau membagi hukum amaliyah menjadi dua yaitu yang berkenaan
dengan ibadah dan muamalat. Beliau mengkategorikan hukum muamalat di dalam
Al-Qur’an menjadi beberapa bagian diantaranya : [25]
1. Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan keluarga, mulai dari
terbentuknya, dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri dan
kerabat satu sama lain. Jumlah ayat yang menerangkannya dalam Al-Qur’an sekitar
70 ayat.
2. Hukum perdata, yaitu hukum yang berkaitan dengan pergaulan dan
pergantian individu-individu, baik berupa jual beli, gadai, jaminan,
persektuan, utang piutang dan memenuhi janji. Hukum tersebut dimaksudkan untuk
mengatur hubungan harta kekayaan perinidividu dan memelihara hak masing-masing.
Jumlah ayat yang menerangkannya di dalam Al-Qur’an berkisar 70 ayat.
3. Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan tindak kriminal yang
timbul dari dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan atas
pelakunya. Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara
kehidupan manusia, harta, kerhormatan, dan hak-hak mereka, serta membatasi hubungan
antara pelaku, korban tindak kriminal dan masyarakat. Jumlah aya-ayat yang
menerangkannya dalam Al-Qur’an kira-kira 30 ayat.
4. Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian,
dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur usaha-usaha untuk mewujudkan
keadilan di antara manusia. Ayat-ayat yang menerangkannya di dalam Al-Qur’an
berjumlah kira-kira 10 ayat.
5. Hukum Perundang-undangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan pengaturan
pemerintahan dan pokok-pokonya. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan
menetapkan hak-hak individu dan masyarakat. Ayat-ayat yang menerangkannya
berjumlah kira-kira 10 ayat.
6. Hukum tata negara, yaitu hukum yang mengatur antara negara Islam dengan
negara lainnya, hubungan dengan orang-orang non muslim yang berada di negara
Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan negara Islam dengan non
Islam, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana peperangan, serta
menentukan hubungan antara umat Islam dengan non Islam di berbagai negara
Islam. Ayat-ayat yang menerangkannya sekitar 25 ayat.
7. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan orang
miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak meminta-minta, berkenaan
dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan perbankan. Hukum
ini dimaksud untuk mengatur hubungan kekayaan antara orang-orang kaya dan
orang-orang fakir, dan antara negara dengan rakyat. Dan ayat-ayat yang
menerangkannya sekitar 10 ayat.
Berkaitan dengan jenis
hukum-hukum di atas, Al-Qur’an sendiri tidak menyinggung terhadap perincian
yang mendetail melainkan keucuali dalam kadar yang langka, karna hukum-hukum
tersebut dapat berkembang bersamaan dengan perkembangan lingkungan dan
kemaslahatan yang ada. [26]
Oleh karena itu menurut
Abdul Wahhab Khallaf, Al-Qur’an
membatasi pada kaedah – kaedah umum dan prinsip-prinsip dasar, agar pemerintah
pada setiap masa leluasa untuk memerinci undang-undang (hukum) mereka
sesuai dengan kemaslahatan rakyat.[27]
Adapun nash-nash
Al-Qur’an dari segi hukum yang dikandungnya, terbagi menjadi dua bagian, yaitu
:[28]
1. Nash yang qath’i dalalah adalah nash yang menunjukkan pada pemaknaan
yang jelas (nyata) dan tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk
memahami makna selain dari nash itu. Mislanya firman Allah swt.
“Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak...(QS.
An-Nisa (4) : 12)”
Ayat ini qath’i
dalalahnya, bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah seperdua, tidak
bisa lainnya.
2. Nash yang zhanni dalalah adalah
nash yang menunjukkan suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk di
takwil atau dipalingkan dari makna. Misalnya firman Allah swt.
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru... ( QS Al-Baqarah (2) 228).”
Lafal quru’i dalam
bahasa Arab merupakan lafal musytarak antara dua makan. Menurut bahasa
diartikan sebagai “suci” dan ada juga
yang mengartikan “haid”. Nash menunjukkan bahwa wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri selama tiga kali suci, dan ada pula kemungkinan yang
dikehendaki adalah tiga kali haid. Hadi, lafal di atas tidaklah menunjukkan
dalalah qath’i.
B.
Analisa Kedudukan Hukum Surat Al-An’am Ayat 57
Surat Al-An’am merupakan surat ke-6 dalam tata mushaf Al-Qur’an. Surat
ini terdiri dari 165 ayat, merupakan surat Makkiyah. Keutamaan surat ini sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katasir dalam Tafsirul Qur’an Azmi jilid VI:6 sebagaimana di riwayatkan oleh Jabir
r.a. berkata, “ tatkala turun surah
Al-An’am ini, Rasullullah saw bertasbih dan berkata, surah ini turun diiikuti
segenap malaikat yang memnuhi ufuk.” Hadist ini berstatus sahih atas syarat
imam Muslim.
Salah satu pokok bahasan kita adalah mengenai kedudukan hukum Tuhan dalam
surat Al-An’am ayat 57. Qur’an Surat Al-An’am
ayat 57 menjelaskan “ katakanlah
Muhammad, “aku berada di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku
sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku untuk menurunkan azab yang
kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia memberi keputusan yang terbaik.”.
Ayat ini sebenarnya tidak bisa lepas dari ayat sebelum dan sesudahnya,
yaitu ayat 56 dan 58 sebab masih terkait, satu sama lain. Ayat 56 berbunyi “ katakanlah Muhammad, aku dilarang menyembah
tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah, katakanlah (aku tidak akan mengikuti
keinginanmu) jika berbuat demikian sungguh tersesatlah aku dan aku tidak
termasuk orang yang mendapat petunjuk.”
Sedangkan ayat 58 berbunyi “ katakanlah
Muhammad, seandainya ada padaku Azab yang kamu minta agar disegerakan
kedatangannya, tentu selesailah segala perkara antara aku dan kamu (tentu Allah
menunrukan azab sampai kamu binasa). Dan Allah lebih mengetahui tentang
orang-orang yang zalim.”
Disini dapat kita lihat, bahwa ayat 57 merupakan hukum yang bersifat
perintah, sekaligus bersifat larangan. Hukum perintah terdapat dalam kata “katkanlah
Muhammad..!” sedangkan hukum
yang bersifat larangan ada dalam kata “bukanlah kewenanganku untuk menurunkan azab
yang kamu tuntuk untuk disegerakan”.
Selain itu Al-An’am ayat 57 menunjukkan kedudukan hukum yang i’tiqadiyah (yaitu berkaitan dengan hal-hal yang harus di percaya oleh
setiap mukallaf ). Hal ini dapat kita temukan pada kalimat
terakhir yang berbunyi, “…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik”. Dalam
system penafsiran yang dikembangkakan oleh Dr. Hamim Ilyas, hal ini dinamakan
dengan penafsiran secara rasional.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
a. Surat Al-An’am (6) ayat 57 adalah hukum Tuhan yang bersifat qath’i
b. Dalam surat Al-An’am (6) ayat 57 terkandung tiga bentuk hukum Tuhan
B.
Saran
Tak ada gading yang tak retak,
maka berkaitan dengan hal itu, beberapa saran yang dapat kami kemukakan
adalah pertama perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terkait kedudukan hukum suatu ayat, tidak hanya QS
Al-An’am ayat 57 namun juga ayat-ayat yang lain agar memberikan kita kefahaman
yang mendalam tentang teks Al-Qur’an.
Kedua sebagai insan muslim
alangkah lebih baik kalau kita semakin giat mengkaji bentuk-bentuk hukum Tuhan
yang terkandung dalam Al-Qur’an agar menjadikan kita menuju Muslim/Muslimah
yang muttaqin. Serta secara akademis,
kita semakin mengetahui nilai keilmiahan Al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
A Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqh, ( Jakarta: Karisma Putra Utama, 2014)
Al Maududi.
Abul A’la, Prinsip-Prinsip Islam, terjemahan, (
Bandung: PT Al-Maarif, 1975)
Mardani. Ushul
Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet.1,2013)
Syarifuddin. Amir, Ushul
Fiqh Jilid , ( Jakarta: Prenamdamedia Group, Cet.5, 2014)
Wahab. Khallaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang :
Bina Utama, 2014)
PPPA Daarul Qur’an,
Mushaf Al-Qur’an, (Bandung: Sygma Creatif Media Corp, 2007)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih