TINJAUAN YURIDIS PRINSIP PEMBAGIAN RISIKO ANTARA NASABAH DENGAN BANK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
TINJAUAN YURIDIS PRINSIP PEMBAGIAN RISIKO ANTARA NASABAH DENGAN BANK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh :
AHMAD RIZAL KHADAPI
NIM : 16913068
Dosen Pengampu
Prof. Dr.
Alwan Khoiri, MA
MAKALAH
Diajukan kepada
Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi
Tugas dalam Mata Kuliah
Pendekatan Dalam
Study Islam
YOGYAKARTA
2016
TINJAUAN YURIDIS PRINSIP PEMBAGIAN RISIKO ANTARA NASABAH DENGAN BANK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
AHMAD RIZAL KHADAPI
16913068
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis prinsip pembagian resiko antara
nasabah dengan bank dalam perspektif Hukum Islam. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif. Konsep pembagian resiko antara nasabah dan bank menurut Hukum Islam telah termuat pada fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Simpulannya
adalah belum ada Peraturan Bank Indonesia terkait perlindungan nasabah. Saran kepada Bank Indonesia untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
mengenai perlindungan nasabah.
Kata Kunci : Bank, Nasabah, Pembagian Resiko, Perlindungan Nasabah, Hukum Islam
YUDICIAL REVIEW OF RISK SHARING PRINCIPLE
BETWEEN BANK AND CUSTOMER IN ISLAMIC LAW
PERSPECTIVE
AHMAD RIZAL KHADAPI
16913068
ABSTRACT
In aiming at analyzing the principle risk sharing between bank and customer
with bank in Islamic Law perspective.
Methode of the research uses normative
research. The concept of risk sharing between bank and customer in
Islamic Law has been included in The
Islamic Ruling of Indonesian Muslimin Scientic Council Group.
The conclusion has not been
Indonesia Bank Rule about customer protection. It is suggested that Indonesian
Bank should make Indonesia Bank Rule
dealing with customer protection.
Key words: Bank, Customer, Risk Sharing, Customer Protection,
Islamic Law.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan
dan sangat dibutuhkan keberadaannya didalam dunia bisnis adalah kegiatan usaha
dalam bidang perbankan. Bank
yang memberikan fasilitas pinjaman kepada nasabah dalam aturannya sudah
memiliki ketentuan tersendiri terkait dengan hal-hal yang menjadi penentu
apakah nasabah tersebut berhak menerima fasilitas pembiayaan atau tidak.
Ketentuan didalam undang-undang perbankan menyebutkan ada lima hal yang harus
diperhatikan oleh bank sebelum memberikan fasilitas kredit terhadap calon
nasabah, yaitu :character (karakter), capacity (kemampuan), choleteral
(jaminan), condition of economy
(kondisi ekonomi), capital
(modal).
Demikianpun halnya dalam undang-undang perbankan
syariah telah ditegaskan mengenai lima
hal tersebut sebelum memberikan fasilitas kepada calon nasabah, hal ini dapat
dilihat pada pasal 3 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah (UUPS) yang berbunyi sebagai berikut: pertama, bank syariah (BS)
dan/atau unit usaha syariah (UUS) harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban
pada waktunya, sebelum bank syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada
nasabah penerima fasilitas. Kedua, untuk memperoleh keyakinan
sebagaimana dimaksud (1) UUPS, Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan (jaminan), dan
prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.
Dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (UUP) maupun undang-undang perbankan syariah tidak
mengatur secara langsung mengenai risiko bagi kedua belah pihak. Undang-undang perbankan
syariah mengatur mengenai penerapan (implementasi)
prinsip kehati-hatian ini dalam pasal 23 yaitu mengenai kelayakan penyaluran
dana. Inti aturannya “bahwa bank syariah
dan/atau unit usaha syariah (UUS) harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban
pada waktunya, sebelum bank syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada
nasabah penerima fasilitas”. Untuk memperoleh
keyakinan sebagaimana dimaksud, maka bank syariah dan/atau UUS wajib melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.[1] Dalam UUPS memang memberikan ruang mengenai kepatuhan
syariah (syariah compliance) yang
kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan
melalui dewan pengawas syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing
bank syariah.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, beberapa
permasalahan pokok yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu, pertama bagaimana konsep pembagian risiko menurut hukum Islam? Kedua bagaimana konsep pembagian risiko pada penghimpunan dana dan
penyaluran dana pada kegiatan usaha Perbankan Syariah dalam rangka perlindungan
hukum terhadap nasabah?
B.
Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,
maka tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk mengetahui bentuk pembagian resiko berdasarkan Hukum Islam, kedua
untuk mengetahui konsep pembagian resiko
pada saat penghimpunan dana dan penyaluran dana pada kegiatan usaha perbankan syariah
dalam rangka perlindungan hukum terhadap nasabah.
C.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini adalah, pertama secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan bahan
kajian lebih lanjut dan bermanfaat sebagai salah satu pemikiran dibidang perbankan
syariah. Kedua, secara yuridis
penelitian ini dapat dijadikan sumber masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang perbankan untuk membuat suatu aturan terkait
dengan prinsip-prinsip pembagian risiko. Ketiga,
secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dan masukan untuk pemahaman, khususnya bagi para akademisi, dan masyarakat pada
umumnya.
D.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian normatif dengan
pendekatan yang digunakan yaitu statute
approach, conseptual approach,
dan sociological approach. Sumber dan
jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, yang dalam data
sekunder atau data kepustakaan mencakup tiga jenis bahan hukum yaitu bahan
hukum primer, bahan hokum sekunder, dan bahan hukum tersier. Sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen.
BAB
II
ISI
A.
Landasan Teori Risiko di Perbankan Syariah
Menurut Hukum Islam
1.
Beberapa Larangan Pokok Untuk
Nasabah dan Bank Syariah dalam Menjalankan Kegiatan Usaha
a. Larangan Riba
Adanya pelarangan riba dalam aktivitas
ekonomi, karena terdapat unsur dhulm (zalim) diantara para pihak
yang melakukan kegiatan tersebut, salah satunya adalah pihak yang dizalimi.
Hal ini dapat merusak tatanan perekonomian yang didasarkan pada syariat Islam.
b. Larangan Zalim
Tidak hanya nasabah yang di zalimi, tapi juga pada bank
akan ada kemungkinan di zalimi oleh nasabah, hal ini terjadi jika nasabah tidak membayar hutang atau
tidak tepat waktu dalam membayar hutang. Rosulullah
SAW telah memberi nasehat yang baik tentang hal ini, beliau bersabda: orang yang terbaik diantara kamu adalah orang paling baik dalam pembayaran hutangnya (H. R Bukhari).
c. Larangan Curang
Perbuatan curang sangat identik dengan
perbuatan penipuan karena adanya kerugian yang akan ditimbulkan kepada pihak
yang dicurangi dan adanya keuntungan yang ditimbulkan kepada pihak yang
melakukan perbuatan curang atau penipuan. Penipuan (tadlis) adalah
penipuan yang dilakukan baik oleh penjual maupun pembeli dengan cara
menyembunyikan kecacatan obyek jual beli ketika terjadi transaksi.[2]
Rosulullah SAW bersabda bahwa: tidak boleh membahayakan diri sendiri dan
tidak boleh mbahayakan orang lain (H. R Ibnu Majjah ). Pada yang demikian maka penipuan termasuk dalam membahayakan diri
sendiri dan orang lain. Karena sanksi yang akan didapat adalah dunia dan
akhirat.
d. Larangan Berbuat Judi
Pada prinsip-prinsip usaha yang harus dijalankan oleh bank
syariah adalah memberikan syarat kepada calon nasabah
penerima fasilitas pembiayaan untuk tidak menggunakan jasa pembiayaan itu
sebagai modal melakukan kegiatan usaha yang bersifat/bernilai judi. Pada kenyataannya, judi adalah usaha untuk memperoleh uang
atau barang melalui pertaruhan. Dengan adanya
unsur ini judi dilarang.
e. Larangan
Spekulasi
Mengenai larangan berbuat spekulatif ini,
empat imam mazhab yakni Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, menyatakan sepakat atas keharamannya. Sebagaimana telah dinyatakannya, bahwa ihtikar (menimbun barang
atau makanan untuk di jual pada masa sulit dengan harga yang tinggi) hukumnya
haram. [3]
2.
Risiko Umum Dalam Usaha Perbankan
Risiko dalam usaha
perbankan ada beberpa bentuk yang umum diketahui, antara lain: risiko likuiditas, risiko kredit, risiko fluktuasi tingkat bunga.
3.
Resiko Yang Wajib Dikelola Oleh Bank
Berdasarkan peraturan bank Indonesia (PBI) Nomor.13/23/PBI/2011
tentang
penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS)
pada pasal 5 ayat (1) menyebutkan, risiko dikelasifikasikan menjadi: risiko
kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategi, risiko kepatuhan, risiko imbal
hasil
( rate of return risk), risiko investasi
(equity invesment risk ).
Prihal risiko imbal hasil dan risiko investasi, pada PBI No.13/23/PBI/2011 Pasal 5 ayat (4) menyatakan bahwa
penilaian risikonya belum diperhitungkan dalam penilaian resiko bank. Lebih
lanjut dalam aturan peralihan dinyatakan bahwa tindak lanjut dari PBI ini akan
diatur melalui surat edaran bank Indonesia
(SEBI). Sedangkan disisi lain
tindak lanjut dari pasal 38 ayat (1) Undang- Undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengenai
perlindungan nasabah dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia sampai dengan saat
ini belum ada. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh ANTARA:[4]
“Jakarta (ANTARA) - Bank
Indonesia (BI) akan mengeluarkan peraturan BI tentang perlindungan konsumen di
bidang sistem pembayaran, kata Deputi Direktur Divisi Pengawasan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia Puji Atmoko. Dalam waktu dekat BI akan mengeluarkan peraturan
Bank Indonesia yang terkait dengan perlindungan konsumen, khususnya di bidang
sistem pembayaran," kata Puji Atmoko kepada wartawan di Jakarta,
Rabu.Menurut dia, langkah tersebut sebagai upaya bank sentral melindungi
hak-hak nasabah perbankan dari tindak penyelewengan dan penipuan (fraud), yang
banyak terjadi di sistem pembayaran. Kami menaruh perhatian khusus terhadap
pengaduan nasabah yang terkait dengan sistem pembayaran, baik yang disampaikan
langsung oleh nasabah kepada bank maupun yang disampaikan oleh lembaga
survei," ujarnya.
B.
Analisa
Pembagian Risiko Bank Syariah Pada Saat Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana dalam Rangka Perlindungan
Hukum Terhadap Nasabah
1.
Usaha-Usaha
Perbankan Syariah dalam Bidang Penghimpunan Dana.
a)
Giro.
Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarakan fatwa DSN
01/DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa giro;
Ketentuan umum giro
berdasarkan mudharabah;
1)
Dalam
transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul
maal (pemilik dana/modal), dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2)
Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank
dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya, termasuk didalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3)
Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4)
Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5)
Bank
sebagai mudharib menutup biaya
operasional giro dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)
Bank
tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan
Kedua, ketentuan
giro dengan konsep wadi’ah;
1)
Bersifat
titipan.
2)
Titipan bisa di
ambil kapan saja (on call).
3)
Tidak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
b)
Tabungan
Berkaitan
dengan tabungan dalam penggunannya pada perbankan syariah
Majlis Ulama Indonesia (MUI) melalui dewan syariah nasional telah mengeluarkan fatwa
DSN 02/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan
bahwa tabungan ;
Berdasarkan konsep mudharabah
1)
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
2)
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3)
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
4)
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
5)
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Berdasarkan
konsep wadi’ah;
1)
Bersifat
simpanan.
2)
Simpanan bisa
diambil kapan saja (on call) atau
berdasarkan kesepakatan.
3)
Tidak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
c)
Deposito
Ketentuan mengenai deposito
dalam fatwa Dewan Syariah Nasional pada fatwa DSN Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000,
yang berisi sebagai berikut :
Deposito berdasarkan mudharabah ;
1)
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
2)
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3)
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
4)
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
5)
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)
Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
2.
Usaha- Usaha Perbankan Syariah dalam
Bidang Penyaluran Dana
a.
Pembiayaan
Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000:
tentang pembiayaan mudharabah;
1)
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga
keuangan syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2)
Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai
100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau
pengelola usaha.
3)
Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana,
dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
(LKS dengan pengusaha).
4)
Mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan
syariah, dan LKS tidak
ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai
hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5)
Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan
jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6)
LKS sebagai penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah
kecuali jika mudharib (nasabah)
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7)
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8)
Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9)
Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10)
Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan
kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
ketentuan mengenai kegiatan usaha oleh mudharib;
a)
Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b)
Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c)
Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah (Islam) dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,
dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
b.
Musyarakah
Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang musyarakah;
1)
Pernyataan ijab
dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2)
Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum
3)
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan
kerugian)
a)
Modal
(1)Modal
yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri
dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika
modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati
oleh para mitra.
(2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada
pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
(3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b)
Kerja
(1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah, akan tetapi
kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
(2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c)
Keuntungan
(1) Keuntungan harus di-kuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
(2) Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.
(3) Seorang mitra
boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan
atau persentase itu
diberikan kepadanya.
(4) Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d)
Kerugian
Kerugian harus
dibagi diantara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing
dalam modal.
3.
Mekanisme Bagi Hasil di Bank Syariah
Perbankan
syariah
dengan konsep bagi hasil dan resiko mempunyai dua
mekanisme yang diterapkan. antara lain:[5]
a.
Profit sharing yaitu sistem
bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima atas
kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya
selama proses usaha tersebut.
b.
Revenue sharing adalah sistem bagi
hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum
dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan.
Dewan
Syariah Nasional melalui Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha. Dalam
ketentuan umumnya disebutkan antara lain :
1)
Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Revenue
Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil
usaha dengan mitra (nasabah)nya.
2)
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah),
pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Revenue
Sharing).
3)
Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih
harus disepakati dalam akad.
Oleh karena itu penggunaan mekanisme revenue sharing dalam dunia perbankan syariah harus lebih
utama untuk diprioritaskan dalam akad-akad kesepakatan yang dibuat antara Bank
Syariah dengan nasabah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Simpulan dari uraian di atas antara lain; Pertama, konsep pembagian risiko antara nasabah dengan bank menurut Hukum Islam telah termuat dalam fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), lebih khusus dalam bentuk revenue
sharing. Kedua, konsep pembagian risiko antara nasabah dengan bank syariah dalam proses penghimpunan dana dituangkan dalam bentuk pembagian keuntungan yang harus dinyatakan dalam bentuk
nisbah (pembagian keuntungan) yang wajib dibuat dalam akad. Pada penyaluran dana pembagian keuntungan ditentukan dalam bentuk nisbah untuk
akad mudharabah dan musyarakah saja. Mengenai perlindungan hukum bagi nasabah, dan manajemen risiko bank syariah,
sampai saat ini belum ada PBI dan surat edaran bank Indonesia (SEBI) dari Bank Indonesia.
B.
Saran
Saran; Pertama, kepada bank syariah
dan/atau UUS untuk menjelaskan kepada nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan, dan menjelaskan prinsip profit and loss sharing (bagi hasil) sebagai cara untuk melakukan pembagian risiko yang
sesuai dengan konsep Islam. Kedua
diharapkan kepada masyarakat yang berhubungan dengan bank syariah dalam membuat
akad pembiayaan atau menyimpan dana untuk meminta penjelasan hak-haknya berupa
pembagian keuntungan yang harus dituangkan dalam akad. kepada Bank Indonesia (BI) untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang perlindungan nasabah dan surat edaran bank Indonesia (SEBI) mengenai risiko investasi dan resiko imbal hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku,
Makalah, dan Artikel ;
Ad-Dimasyqi,
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman. Fiqih
Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi Press, 2010
Ansori, Abdul Ghofur. Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 tahun
2008, Bandung: PT. Refika Aditama,
2009
Asikin, Zainal dan Amirudin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2004
Ismanto, Kuat. Asuransi Syariah: Tinjaun Asas-Asas Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2009
Peraturan-peraturan
Indonesia, Undang-Undang
Tentang Perbankan, No. 10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790
________, Undang-Undang
Tentang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94
________, Peraturan Bank Indonesia Tentang Manajemen Resiko
Pada Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah, No.13/23/PBI/2008
MUI, Fatwa DSN.
Tentang
Giro, No. 01/DSN-MUI/IV/2000
____, Tentang Tabungan,
No. 02/DSN-MUI/IV/2000
____, Tentang
Deposito, No. 03/DSN-MUI/IV/2000
____, Tentang Pembiayaan,
No. 07/DSN-MUI/IV/2000
____, Tentang
Musyarakah, No. 08/DSN-MUI/IV/2000
____, Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha, No. 015/DSN-MUI/IV/2000
[1] Abdul Ghofur Ansori, Hukum
Perbankan Syariah, ( Bandung, Refika Aditama 2009 ), hal. 59
[3] Syaikh Al-Allamah Muhammad Bin
Abdurrahman Ad-Dimasyki, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi Press, 2010), hal. 241
[4]sumber:http://id.berita.yahoo.com/bi-akan-keluarkan-peraturan-perlindungan
konsumen-092813064--finance.html,
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih