TINJAUAN ATAS KITAB AL-SIRAT AL-MUSTAQIM KARANGAN SYAIKH NUR AL-DIN AL-RANIRI
TINJAUAN ATAS KITAB AL-SIRAT
AL-MUSTAQIM KARANGAN SYAIKH NUR AL-DIN AL-RANIRI
Oleh :
AHMAD RIZAL KHADAPI
NIM : 16913068
Dosen Pengampu
Dr. Muhammad Roy
Purwanto, M.A
Makalah
Diajukan kepada
Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu
Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi
Tugas dalam Mata Kuliah
Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berkembangnya
hukum Islam[1] di
Indonesia tidak lepas dari peran para ulama abad pertengahan yang dengan gigih
memperjuangkan penyebaran Islam sebagai agama bagi masyarakat Nusantara.
Menurut beberapa teori, Islam datang ke Nusantara melalui Aceh yang di bawa
oleh ulama/pedagang dari Hadramaut dan Gujarat.
Pada Abad
pertengahan, tepatnya abad ke-15-19 kita mengenal nama Nurudin Al-Raniri
sebagai seorang ulama asal Ranir yang lama menetap di Aceh. Beliau dengan
responsive mengarang kitab Sirathal Mustaqim. Suatu kitab yang menurut sejumlah
ahli menjadi kitab berbahasa Melayu pertama di Nusantara.[2]
Kala itu
Ar-Raniri di angkat sebagai mufti pada kesultanan Aceh. Oleh Sultan Iskandar
Tsani. Ar-Raniri datang ke Aceh, tepatnya pada 6 Muharram 104/31 Mei 1637.[3]
Selain mengarang kitab Sirathal Mustaqim, ia juga mengarang sejumlah kitab, di
perkirakan lebih dari empat puluhan judul kitab telah ia karang, baik ketika ia
masih berada di Aceh, ataupun setelah ia kembali ke kampung halamannya.
Kitab
Sirathal Mustaqim adalah kitab utama yang menjadi rujukan para penuntut ilmu
kala itu. Juga kitab yang menjadi pegangan bagi masyarakat Aceh dan Nusantara
yang mudah di fahami, karena menggunakan bahasa Aceh Melayu. Dalam
perkembangannya ternyata kitab ini, telah banyak di telaah oleh para ulama, para
ahli, baik ahli dari Barat maupun dari Timur. sejumlah penelitian tentang kitab
ini menunjukkan bahwa kitab Siratal Mustaqim terdapat di sejumlah museum di
dalam dan luar negeri. Kitab Siratal Mustaqim adalah satu kitab khusus yang
membahas persoalan ibadah saja. Sedangkan persoalan Maumalah tidak menjadi
bagian dalam kitab ini.
B.
Persoalan Pokok
Berkaitan
dengan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa persoalan pokok yang akan
di bahas dalam kajian ini, antara lain;
1.
Bagaimanakah latar belakang kehidupan Nur Al-Din
Ar-Raniri?
2.
Bagaimanakah karakateristik kitab As-Siratal Mustaqim?
BAB II
ISI
A.
Latar Belakang Kehidupan
Ar-Raniri
1.
Kelahiran dan Keluarga
Nama lengkap beliau adalah Nur Al-Din Muhammad bin Ali
bin Jasanji Al-Hamid (atau Al-Humayd) Al-Syafii Al-Asy’ari al-Alaydrusi Al-
Raniri dilahirkan di Ranir (modern; Randir), sebuah kota pelabuhan tua di
pantai Gujarat (India).[4]
Tahun kelahirannya tidak diketahui, ibunya tidak di ketahui[5],
tetapi ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhrami yang mempunyai tradisi
panjang beripindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Nenek moyangnya kemungkinan termasuk dalam keluarga
Al-Hamid dan Zuhra, salah satu dari sepuluh keluarga Quraysy.[6]
Tetapi mungkin saja nenek moyang Al-Raniri adalah keluarga Humayd, yang sering
dihubungkan dengan Abu Bakr Abdullah bin Zubayr Al-Asadi Al-Humayd (w.219/834),
yang dikenal sebagai seorang ulama asli Makkah yang terkemuka. Al-Humayd adalah
seorang murid A-Syafii paling terkenal. Dia adalah juga Mufti Makkah dan
seorang muhaddits terkemuka.[7]
2.
Pendidikan
Al-Raniri mengikuti jejak langkah pamannya dan banyak
ulama Hadhrami lainya. Dia mendapatkan pendidikan awalnya di Ranir, dan
kemudian melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadhramawut.[8]
Guru Al-Raniri paling terkenal adalah Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syayban
Al-Tarimi Al-Hadrami (w.1066/1656). Yang juga di kenal di wilayah Gujarat
sebagai sebagai Sayyid Umar Al-Alaydrus. [9]
3.
Karir dan Jabatan di Aceh
Sesudah menyelesaikan memepelajari ilmu-ilmu Islam dan
ditunjuk sebagai khalifah tarekat Alaydrusiyyah serta Rifa’iyyah , tibalah
waktunya bagi Al-Raniri memulai karinya. Beberapa karyanya menunjukkan bahwa dia
sangat mengenal dunia Melayu, bahkan sebelum kedatangannya ke kepulauan
Nusantara. Tampaknya dia mendapatkan inforamasi mengenainya dari ibunya yang
diduga berasal dari Melayu, dan dari keterlibatannya dengan komunitas Jawi[10] di Makkah.[11]
Setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh[12],
Ar-Raniri kemudian melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang
paham Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri[13]
dan Syamsudin Al-Sumatrani[14].
Ar-Raniri menuduh mereka berdua telah sesat keyakinannya yang sesat akan
dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar. Menurut Azyumardi Azra,
kenaikannya secara mendadak sebagai Syaikh Al-Islam di wilayah kesultanan Aceh[15] menunjukkan bahwa Al-Raniri sudah memiliki pengaruh politik,
kenalan atau jaringan di lingkungan elit politik Melayu.[16]
Dalam
pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan
yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi,
namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fiqh.
Menurut Al-Raniri Islam di wilayah ini
(Aceh) telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi[17]. Al-Raniri
hidup selama tujuh tahun di Aceh sebagai seorang alim, mufti dan penulis
produktif, yang mencurahkan banyak tenaga untuk menentang doktrin wujudiyah[18]
Paham wujudiyah
yang dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf[19]
saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar
keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta
sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab
yang membahas berbagai macam pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat
Islam-pada saat itu. Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab.
Peranan
Ar-Raniri cukup besar dalam pembentukan tardisi keilmuan yang bercorak
ortodoksi di Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak lama karena
reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin. Setelah
Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh dan kembali
nke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah Perguruan Tinggi Islam yaitu
“Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri”.
4.
Karya-Karya Ar-Raniri
Al-Raniri termasuk ulama yang produktif menulis dan
terpelajar. Menurut berbagai sumber, dia menulis tidak kurang dari 29 karya.
Tetapi tidak semuanya ditulis pada masa kariernya tujuh tahun di Aceh.[20] Karena dia banyak menulis mengenai kalam dan
tasawuf, jelas al-Raniri menganggap salah satu masalah dasar di kalamang kaum
Muslim Melayu-Indonesia adalah aqa’id (landasan keimanan).[21]
Karena itu dia berusaha menjelaskan, antara lain hubungan antara hakikat Tuhan
dan alam raya, asal-usul dunia dalam masa (ihdats), dan transendensi
mutlak Tuhan vis a vis manusia.[22]
Karya-karyanya
tercurah dalam berbagai bahasa, baik bahasa Arab ataupun Melayu dengan nilai
sastra tinggi. Bahkan karyanya yang berjudul bustanussalatina (Taman Para Raja) dan Tajussalatina
(Mahkota Raja-Raja). adalah sumber utama untuk mengungkapkan kehidupan
agama dalam Kesultanan Aceh.[23]
Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini
adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas
permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah.
Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota
Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari.
Kitab
Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja
tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan
dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini
tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam
buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber
penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman
Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda. Kitab ini ditulis pada tahun
1637 M yang terdiri dari 7 buku. Buku pertama berisi tentang cerita tentang
penciptaan Surga dan dunia yang ada dalam tujuh lapisan, tentang Nur Muhammad,
Lauhul Mahfudz, Kalam dan Singgasana dan seterusnya.[24]
Buku kedua berisi tentang cerita nabi-nabi dan
Raja-raja. Buku ketiga menceritakan tentang raja-raja yang adil dan
menteri-menteri yang cerdik cendekia, buku
yang keempat bercerita tentang raja-raja yang bijaksana dan wali-wali
Allah. Buku kelima berisi tentang raja-raja yang lalim dan menteri-menteri yang tak cakap,
yang keenam tentang orang-orang yang penuh kelas kasi, pengampun, dan penuh
sayang dan pahlawan-pahlawan. Buku ketujuh ialah mengenai kepintaran dan ilmu
pengetahuan.[25]
Di samping buhtanussalatsina, Nurudin Al-Raniri
juga menulis dua buku lagi yang memiliki niali sejarah, ialah Nubdha fi
da’waz-zill taa’a sahabihi, yang tertulis dalam bahasa Arab dan Tibyan
fi ma’rifat al-Adyan yang berisi sejarah agama-agama dunia. Isi terpenting
dari buku ini adalah polemic terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsyudin
As-Samatrani yang dipandangnya sebagai ajaran yang sangat panteisitis.[26]
Beberapa kitab yang menjadi karangan beliau adalah sebagai berikut; Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang
pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu. Daral al- Faraid membahas tentang tauhid dan
falsafah keimanan.Lata’ih al-Asrar, Hall al-Dzill ma’a Sahabihi, Umdat al- I’tiqad, Hujaj al-Sidiq, Jauhar
al-‘Ulum, Ma’al Hayat, dan lain-lain.
B.
Tinjauan Seputar Makna Fiqh
Sengaja saya berikan bagian khus tentang tinjaun tentang
fiqh. Ini untuk memudahkan kita memahami kitab Siratal Mustaqim, yang merupakan
kitab fiqh. Sebab di dalam kitab tersebut termuat hanya masalah ibadah saja. Kajian
seputar makna fiqh, bermaksud untuk menyatukan persepsi kita. Bahwa kitab
Siratal Mustaqim adalah bagian dari karya besar ulama Nusantara yang telah di
akui kebesarannya. Bahkan oleh sebagian ahli di sebut sebagai kitab pertama
yang menggunakan bahasa Melayu dalam penulisannya
1.
Makna Fiqh dan Ilmu Fiqh
Secara etimologis Fiqh berarti ; mengerti dan memahami. [27]
Dr.Maradani menambahkan Fiqh berarti Pemahaman yang mendalam tentang tujuan
suatu ucapan dan perbuatan.[28]
Pengertian senada juga disampaikan oleh
Amir Syarifuddin. Menurut beliau, kata fiqh secara etomologis bearti
“faham yang mendalam”. Bila “faham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat
lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu
batin.[29]
Sedangkan secara definitive fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”.[30]
Makna ilmu Fiqh menurut syara’ adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum syara mengenai suatu perbuatan manusia yang diambil dari
dalil-dalilnya seara terperinci, atau dengan kata lain, ilmu fiqh adalah
kompilasi hukum-hukum syara mengenai perbuatan manusia yang diambil dari
dalil-dalilnya secara terperinci.[31]
2.
Catatan Mengenai Perkembangan
Ilmu Fiqh
Pembahasan mengenai perkembangan ilmu fiqh, secara
singkat dan ringkas telah di ungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf. Belia
menjelaskan; [32]
Hukum-hukum fiqh tumbuh
bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam
merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum amaliyah. Hukum amaliyan ini
pada masa Rosulullah saw terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan berbagai hukum yang dibuat oleh Rosulullah SAW.
Lebih lanjut dalam perkembangannya pada masa sahabat
beliau megatakan;[33]
Pada masa sahabat, mereka
dihadapkan pada berbagai kejadian dan kemunculan hal-hal baru yang tidak pernah
dihadapi kaum musliminin, sebelumnya, dan tidak pernah muncul pada masa
Rosulullah saw. Maka para mujtahid, berijtihad dengan memberi putusan hukum,
fatwa, dan menetapkan hukum syariat, dari sejumlah hukum yang mereka
istimbathkan melalui ijtihad mereka. sumber hukum pertama yang mereka gunakan
adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan penjelasan lebih lanjut dalam masa tabiit dan
tabiit tabiin beliau ungkapkan sebagai berikut;[34]
Pada masa tabiin dan tabiit
tabiin serta para imam mujtahid, yaitu sekitar dua abad Hijriyah yang keduan
dan ketiga, negara Islam meluas dan banyak orang non Arab yang memeluk agama
Islam. Kaum muslimin di hadapkan pada persoalan dan kejadian baru, mereka
melakukan ijtihad, dan membentuk hukum islam pada banak kasus. Maka pada priode
ini hukum fiqh terbentu dari sumber hukum Allah dan Rosullnya, fawat para
sahabat, dan putusan hukum mereka, serta fatwa para mujtahid dan istibat
mereka. sedangkan sumber hukumnya yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, para
sahabat serta para imam mujtahid. Kemudian untuk mempermudah akses menemukan
dalil hukum, dilakukanlah kodifikasi atas fatwa-fatwa dan hasil istmbath hukum
tersebut. diantara karya pertama hasil
kodifikasi hukum yang sampai pada kita adalah kitab Al-Muwattha’ karya Imam
Malik. Sedangkan kitab Al-Umm karaya
imam Syafii yang di buat di Mesir menjadi landasan fiqh Mazhab Syafii.
Sebagai tambahan pengetahuan,
kita mengetahu bahwa secara umum di Indonesia menganut mazhab Syafii. Dan
syaikh Nurudin Al-Raniri sendiri adalah ulama Nusantara yang menjadi pengikut
atau bermazhab Syafii.
C.
Kitab Siratal Mustaqim
1.
Sebagai Kitab Fiqh
Al-Sirat al-Mustaqim[35]
merupakan kitab fiqh berbahasa Melayu yang pertama dikarang di Nusantara. Dalam
karya ini beliau menjelaskan tugas utama
dan mendasar setiap orang Muslim dalam hidupnya.[36]
Dengan menggunakan garis besar yang
telah dikenal dalam sembarang buku fiqh, beliau secara rincin menjelaskan
berbagai hal menyangkut, thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa (shaum),
haji (hajj), kurban, dan semacamnya.[37]
Memang terlihat sederhana dalam pembahasannya, menurut Azyumardi Azra sebaiknya
kita tidak mengesampingkan makna pentingnya bagi kaum Muslim Melayu Indonesia
pada masa ketika tasawuf eksesif dan spkekulatif sedang merajalela.[38]
Walaupun kitab ini hanya membicarakan tentang fiqh ibadah saja,
namun ia merupakan perintis atas penulisan kitab-kitab fiqh berbahasa Melayu. Setelah
itu, muncullah dari waktu-kewaktu pelbagai karya fiqh yang dihasilkan oleh para
ulama di Nusantara.[39]
Kitab ini memiliki pengaruh yang sangat besar dan sangat luas terutama di Aceh
hingga abad ke-19. Kitab ini juga mendapatkan sambutan yang luar biasa di
hampir seluruh gugusan kepualauan Melayu.[40]
Namun Kemunculan al-Sirat al-Mustaqim mempunyai sedikit
kekukarangan sebagai di fahami oleh pernyataan Syaikh Muhammad Asyad al-Banjari, beliau menyatakan bahwa
faktor yang mendorong beliau untuk mengarang kitab Sabil al-Muhatadin Li
al-Tafaqquh Fi Amr al-Din adalah karena al-Siratal Mustaqim
karangan syaikh Nur Al-Din al-Raniri adalah karena kitab ini memiliki
sususnan-susunan ayat yang berbahasa Aceh.[41]
Selain itu beliau juga mengatakan bahwa naskah-naskah kitab tersebut mempunyai perbedaan yang ketara antara satu sama lain. Seperti
misalnya, setengah ayatnya telah berubah dari naskah aslinya dan di ganti
dengan kalimat lain. Juga ada beberapa ayat yang hilang atau berkurang.[42]
Sambutan yang diterima terhadap kitab ini oleh mereka sangat besar sekali
sehingga dianggap sebagai kitab yang paling berpengaruh dan memiliki otoritas
yang tingggi. Secara umum kitab ini di gunakan scara utama di Aceh sehingga abad ke-19. Bukan saja di
Aceh, bahkan kitab ini juga digunapakai secara luas di seluruh Melayu.
2.
Tinjauan Sejarah
Struktur penulisan kitab ini yang hanya membahas tentang fiqh
ibadah saja telah diikuti oleh beberapa buah karangan yang lain pula seperti
Sabil al-Muhtadin karya agung Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari, Bughyah
al-Tullab oleh Shaykh Dawud b. ‘Abd Allah al-Fatani, Fath al-Mubin karya Shaykh
Muhammad Salih b. Murid al-Rawi dan al-Bahr al-Wafi Wa al-Nahr al-Safi karya
Shaykh Muhammad b. Isma'il Dawud al-Fatani. Karangan-karangan tersebut merupakan karya
lanjutan dari karya Shaykh Nur al-Din al-Raniri ini. Ia diolah dalam bentuk uraian yang lebih luas dan
mendalam dari yang dibuat oleh Shaykh Nur al-Din al-Raniri dalam kitabnya.
Maka jelas di sini, bahawa al-Sirat al-Mustaqim sangat besar sekali sumbangannya dalam penulisan ilmu fiqh
kerana ia selalu dijadikan pedoman oleh ulama-ulama Mazhab Shafi‘i di Nusantara dalam usaha
penulisan fiqh berbahasa Melayu.
3.
Bahasan Isi Kitab
Pembahasan mengenai isi kitab dalam kitab as-Siratal
Mustaqim memiliki tujuh bagian. Secara umum meliputi pembahasan tentang Taharah
(bersuci), Sholat, Zakat, Syaum (puasa), Haji, Berburu dan Menyembelih, dan
pembahasan mengenai al-Syad wa al-Dhabaih (berburu dan menyembelih). Secara singkat isi kitab ini telah tertuang
dalam penelitian yang di lakukan oleh Abdul Karim dan Jamaludin Hasyim yang di
publikasikan dalam jurnal Fiqh No.5 tahun 2008 lalu. Kitab Siratal Mustaqim
mengandung 7 kutab (bagian), 21 bab, dan 90 fasal. Tujuh kitab tersebut antara
lain sebagai berikut;[43]
1.
Kitab al-Taharah mengandung 4 bab dan 19 fasal
2.
Ktab al-Solat mengandung 10 bab dan 38 fasal
3.
Kitab al-Zakat mengandung 3 bab dan 10 fasal
4.
Kutab al-Shaum mengandung 1 bab dan 7 fasal
5.
Kitab al-Hajj mengandung 2 bab dan 14 fasal
6.
Kitab al Syad wa al-Dhabaih (berburu dan menyemblih)
mengandung 1 fasal
7.
Kitab al-At’imah (makanan-makanan yang halal dan haram)
Memang kandungan kitab ini hanya tertumpu pada bagian
atau pembahasan tentang ibadah semata. Dan tidak terdapat pembahasan tentang
munakahat, muamalat, jenayah, dan sebagainya. Ini yang kemudian hari juga
mendorong Syeikh Abd. Al-Rauf al-Singkili mengarang kitabnya yang berjudul Mir’at al-Tullab
berkaitan dengan muamalah.[44]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan mengenai Ar-Raniri dengan kitab karangannya
yang masyhur yakni kitab siratal mustaqim ternyata telah banyak dilakukan dan
dikaji baik oleh kalangan intlektual Nusantara ataupun dari Barat. Berkiatan
dengan pembahasan kita tentang Ar-Raniri. Maka beberapa kesimpulan yang dapat
penulis sampaikan adalah sebagai berikut;
1.
Latar belakang kehidupan Ar-Raniri adalah seorang ulama
keturunan Arab dengan suku bani Qurays yang merupakan salah satu suku dari kalangan
Nabi saw. Kehidupan Ar-Raniri sendiri di
aceh tercatat hanya tujuh tahun lamanya, menjadi Syikh al-Islam di Aceh, dengan
segala pembaharuan yang beliau lakukan, terutama penentangannya terhadap faham
wujudiah hamazah Fansuri.
2.
Kitab Siratal Mustaqim memiliki kekurangan yang telah di
ungkapkan oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, sebab menggunakan bahasa
Melayu Aceh.
B. Saran
Saran yang penulis dapat sampaikan adalah;
1. Kajian lebih lanjut dan mendalam tentang
Nurudin Ar-Raniri harus dilakukan secara komprehensif, untuk mengetahui
karya-karya intlektual beliau lainnya.
2. Kitab Siratal Mustaqim perlu menjadi
perhatian lebih untuk diteliti, agar kita bisa memahami lebih dalam kitab
tersebut, terutama karena kitab ini kitab fiqh pertama yang di karang
Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi., 1998, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualaun
Nusantara Abad XVII dan XVIII “Melacak Akar-akar Pemikiran Islam di Indonesia ”,
Bandung: Penerbit Mizan.
Daliman, A., 2012, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Karim
b.Ali dan
Jamaludin b.Hasyim, Abdul., 2008, Kitab Siratal
Mustaqim oleh Nurudin Al-Raniri, Suatu Sorotan,
Kuala Lumpur: Jurnal Fiqh No. 5.
Mardani., Ushul Fiqh, 2013, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Reid, Anthony., 2007, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai
Timur Sumatra Hingga Akhir Kerjaan Aceh Abad Ke-19,terj., Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Sedyawati, Edi., 2014, kebudayaan di Nusantara dari Kris, Tor-tor,
sampai Industri Budaya,Cet.I, Depok: Komunitas Bambu.
Syarifuddin, Amir., 2014, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Kencana
Prenamedia Group.
Syukur ,H.M.Amin., 2012, Tasawuf Sosial, Cet.II, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wahab Khallaf, Abdul., 2014, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang:
Dina Utama.
Zuhaili, Wahbah., 1986, Ushul Al-Fiqh al
–Islami, Kairo: Dar al-Fikr.
[1]Hukum Islam merupakan rangkaian kata dari kata “hukum” dan kata “Islam”.
Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa
Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “Hukum
Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadai bahasa Indonesia yang hidup
dan terpai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur berbahasa
Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif. Lihat Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I., (Jakarta: Prenamedia Group),
hlm.5
[2] Kata “Nusantara” terdapat dalam kitab Paraton yang di tulis
sekitar dua abad setelah masa kejayaan kerajaan Majapahit. “Nusantara”
berarti “keseluruhan nusa” yaitu tempat-tempat yang harus dicapai melalui laut
yang berada di dalam cakupan pengaruh atau kekuasaan Majapahit tersebut. adapun
dalam konteks Republik Indonesia, “Nusantara” adalah seluruh pulau (dengan
aneka kebudayaannya) yang termasuk dalam kedaulatan R.I. termasuk dalam
pengertian itu adalah adanya beraneka ragam suku bangsa dengan kebudayaannya
masing-masing. Pada zaman Singasari-Majapahit “Nusa” berarti tempat yang harus
dicapai melalui laut, yang dibedakan dari tempat-tempat tepian sungai maupun
tempat-tempat di pedalaman daratan. Kata maajemuk “nusantara” mengandung konotasi
“persatuan”. Lihat Edi Sedyawati, kebudayaan di Nusantara dari Kris,
Tor-tor, sampai Industri Budaya,Cet.I, (Depok: Komunitas Bambu, 2014),
hlm.57
[3]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualaun Nusantara
Abad XVII dan XVIII “Melacak Akar-akar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1998, Cet.IV), hlm.177.
[11]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..,hlm.176
[12] Kekuasaan kesultanan Aceh di dalam negeri
dan di luar negeri mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) yang cemerlag tetapi keras. Kendali kerajaan terlaksanan
dengan lancancar di smua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di
pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukan dilakukannnya
jauh sampai ke Pahang, di panta timur semenanjung Malaya. Menurut tradisi Aceh
Sultan Iskandar Muda membagi wilayah administrasi Aceh dalam wilayah yang
dinamakan uleebelang dan mukim. Lihat Anthony Reid, Asal Mula Konflik
Aceh (terj.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm.3.
[13] Hamzah Fansuri
adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis
produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat
dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf
pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi,
disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah
Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar
telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang
monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat
ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu
disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut.
Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah
Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Lihat http.www.kemendikbud.go.id.
[14]Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani di kategorikan termasuk dalam
aliran pemikiran keagamaan yang sama. Keduanya merupakan pendukung terkemuka
enafisran mistiko-filosifis wahdat al wudud dari tasawuf. Keduanya
sangat dipengaruhi oleh Ibn Arabi dan Al-jilli, dan dengan sangat keta mengikui
sistem Wujudiyaah mereka yang rumit. Mereka, misalnya, menjelaskan alam raya
dalam pengertian serangkaian emanasi –emanasi neo Platonis dan menggap setiap
emanasi sebagai aspek Tuhan tiu sendiri. Ini semua konsepsi-konsepsi inti yang mendorong
para penentang mereka, al-Raniri paling menonjol di antara mereka, untuk
menuduh mereka sebagai panteis dan, karenanya, sesat. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama..,hlm.168.
[15]Pembahasan lengkap mengenai akhir kerajaan/kesultanan Aceh dapat dilihat
di karangan Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai
Timur Sumatra Hingga Akhir Kerjaan Aceh Abad Ke-19,terj., (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2017).
[17] Menurut Prof. Amin Syukur, dasar-dasar prilaku Sufistik antara lain: Mujahadah
yaitu bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu sesuai dengan perintah
Allah dalam surat Al-Ankabut/26:69 dan Yusuf/12:53, Taubah
(al-Tahrim/66:8), Tawakkal (al-Thalaq/65:3), Zuhud (al-Hasyr/59:9),
shabar (al-Kahfi/18:28), Haya (malu) (al-ALlaq/96:14), Ridla (al-Taubah/9:100),
Faqr (merasa butuh pada Allah) (al-Nisa/4:6), khauf (takut) dan
Raja’ (harap) (as-Sajadah/32:16), Dzikir (al-Ahzab/33:41), Hub
(cinta) (al-Imran/3:31), wali (Kekasih Allah) (Yunus/12:62) dan masih
banyak lainnya. Lihat Amin Syukur, Tasawuf sosial, Cet.II, Yogyakart:
Pustaka Pelajar, 2012, hlm.6-7
[18]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur.., hlm.`177
[19]Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara
keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah
Rasulullah wafat. Ketika beliau masih hidup belum ada istilah ini, yang ada
hanya sebutan sahabat, bagi orang Islam yang hidup pada masa Nabi dan
sesudah generasi Islam tabiin, menurut Hakim Hassan dalam Al-Tashawwuf
fi Syi’ri al-A’rab istilah Tasawwuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua
hijriyah dan menurut Nicholon dalam bukunya al-Tashawwuf al-Islami wa Tarikhini, pertengahan abad III
Hijriyah. Lihat H.M.Amin Syukur,Tasawuf Sosial, Cet.II, ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2012), hlm.3.
[23] A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm.234.
[35]Kitab ini
dipersiapkan sekurang-kurangnya sebagian sebelum dia datang ke Aceh, kitab ini
adalah salah satu karya beliau yang paling banyak di telaah. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama...,Ibid.,hlm.180.
[38]Ibid.
[39] Lihat
Jamaludin b.Hasyim dan Abdul Karim b. Ali dalam Kitab Siratal Mustaqim oleh
Syikah Nur al-Din al-Raniri: satu sorotan, (Kuala Lumpur: Jurnal Ilmu Fiqh No.5, 2008), hlm.205
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih