AGAMA DAN REALITAS MASYARAKAT



Ada satu hal yang saya sesali dalam diri saya, yaitu ketidak mampuan membaca situasi, dan mengontrol diri. Kehidupan yang saya jalani memang mengharuskan saya untuk peka terhadap kondisi dan lingkungan masyarakat. Responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan tentu saja menjadi problem solver di tengah-tengah masyarakat. Hampir setahun saya berada di kampung Rukem, sebagai bagian dari relawan PPPA Daarul Qur’an.

Selama itu pula saya selalu tidak bisa menyesuaikan diri dengan kompleksitas masyarakat yang telah berakal lama. Budaya gotong royong yang masih tinggi dan kental membuat saya kewalahan hidup di tengah tengah mereka. tradisi yang berbeda menjadikan saya lebih sebagai pengamat kependudukan. Komunikasi tidak bisa dilakukan seperti semudah berbicara dengan teman-teman kampus.

Disini, saya berada pada kondisi belajar yang paling tinggi. Lebih sering sebenarnya saya merasa bosan dari pada merasa senang. Sebab selalu ada kata “ini bukan dunia saya“, dalam hati yang kadang spintas menandakan mulai bosannya saya. Tapi tak kala melihat anak-anak yang datang mengaji, semua rasa bosa itu hilang.

Adakalanya saya menghilangkan rasa bosan dengan berspeda ke kota, atau jalan-jalan ke puncak bukit. Selebihnya aktifitas saya tidak terlalu banyak. Sebab butuh penyesuaian untuk dapat benar-benar menjadi bagian yang tepat dari keadaan masyarakat. Masyarakat yang rata-rata buta baca tulis Qur’an. Tidak terlalu peduli dengan kondisi pendidikan Qur’an anak-anak mereka adalah tantangan terbesar bagi saya.

Juga umumnya masyarakat disini suka sekali dengan hiburan, seperti dangdatun atau kegiatan wayangan. Naluriah memang dalam diri setiap manusia. Namun yang tidak pernah bisa saya terima adalah ketiadaan visi hidup mereka. hidup seperti angin berlalu saja, tak ada keinginan untuk menjadi seorang Muslim yang taat. 

Saya tidak bermaksud menyudutkan, tapi setidaknya ketika ada diantara mereka yang memiliki harta berlebih, seharusnya bisa di gunakan untuk mendaftar ibadah haji. Kebutuhan tentang agama memang tidak begitu signifikan dalam diri mereka. agama masih menjadi formalitas kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti pernikahan, muludan (maulid Nabi SAW) dan juga slametan. Bahkan dalam budaya kenduri, doa yang bernafaskan islam, loghat nya berubah menjadi loghat Jawa.

Tapi saya salut dengan nilai gotong royong warga disini. Secara islami mungkin ibadah mereka tidak memiliki spirit. Jumatan hanya segilintir orang dari mereka yang pergi. Sholat wajib apalagi..., tidak terlalu ada yang peduli. Baca Qur’an barangkali tidak lebih dari separoh warga yang betul-betul faham dan lancar membacanya.

Satu-satunya harapan ada pada anak-anak mereka. anak anak mereka kini ikut di TPA, tapi setelah masuk tahun ajaran baru sekolah, banyak diantara mereka yang telah tidak mengaji lagi. orang tuanya juga tidak terlalu peduli, anaknya mau ngaji atau tidak..? mereka tidak terlalu memikirkan. Sekolah dianggap sudah cukup.

Seringkali saya bertanya jam berapa mereka bangun pagi. Dan jawabannya sungguh mengejutkan. Rata-rata sudah menjelang usai sholat subuh. Prihatin.., tentu saja ada dalam hati saya. Di tengah itu semua saya juga berfikir bagaimana agar mereka semua yang notabene beragama Islam, juga menjalankan syariat Islam secara kaffah. Terutama rukun-rukun dasar Islam. 

Sosial sudah bagus, tapi ibadah yang masih bermasalah. Butuh waktu memang, barangkali tidak sebentar, namun harus tetap bersabar. Kenyataan ini membuat saya bersyukur bahwa saya tinggal di Lombok bersama keluarga yang memegang prinsip-prinsip Islam secara penuh. Kakek saya di kampung adalah seorang Imam besar Masjid, biasanya setiap hari ahad saya selalu diajaknya ke Gunung Sari di Pondok Pesantren Al-Ajiziyah Kafek bersama Alm. TGH. Mustafa Umar Abdul Aziz.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia