Guru, Sesungguhnya Profesi yang Sangat Sulit
![Guru, Sesungguhnya Profesi yang Sangat Sulit](https://akcdn.detik.net.id/visual/2015/04/10/02cf41a7-1de7-4fbe-8942-1fed0c7fdb27_169.jpg?w=650)
Standar. Normal. Hanya formalitas yang tercurah dalam tulisan berintonasi yang tujuannya untuk menggarap tepuk tangan dari penonton. Atau untuk melihat nilai “A” besar di kertas puisi saya. Ya mau bagaimana lagi, pola pikir bocah kan masih begitu.
Pandangan itu segera berubah pada saat saya menetapkan suatu petualangan, dimulai dari secarik kertas bernama ijazah. Hari itu, saya dengan mengunjungi SMA dengan status alumnus. Saya mencari guru BK karena aku ingin mencari informasi lowongan kerja.
“Heh, ngapain piko malah kerja. Kamu kan pintar, nih coba daftar Sampoerna Foundation. Siapa tahu dapat beasiswanya,” kata sang guru BK. Saya memandangi formulir pendaftaran yang diberikan sambil tersenyum kecil. Saya bergumam di dalam hati: “Ternyata pencitraanku berhasil. Diri ini bangga.”
Setelah saya meneliti lembaran itu, ternyata ada satu informasi penting. Adanya beasiswa yang dinamakan “Beasiswa Calon Guru Kebanggaan Bangsa.” Pada saat itu, hal yang muncul dalam benak saya adalah: “Oh, ini nanti jadi guru yang berarti. Yang ngajarin bocah-bocah itu. Yang peduli pendidikan itu. Oh gitu. Oke.”
Singkat, padat, jelas. Karena sepertinya tidak ada salahnya untuk mencoba, saya pun langsung mengikuti prosedur untuk menjadi “Guru kebanggaan bangsa”.
Setelah menjalani berbagai prosedur yang diterapkan, saya berhasil lolos tahap seleksi dan resmi menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan di Sampoerna University (selanjutnya disingkat FoE SU). Namanya juga mahasiswa baru, pasti gembira untuk menyongsong petualangan baru. Memang dasar mahasiswa baru yang masih naif dan lugu akan horor yang sebentar lagi menemani dia untuk empat tahun ke depan.
Hari demi hari saya lewati di kampus ini. Hari berubah menjadi minggu. Minggu berganti menjadi bulan. Semakin lama saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa FoE SU, semakin saya menyadari bahwa menjadi mahasiswa di fakultas keguruan tidak semenyeramkan yang dikira.
Tapi justru jauh lebih mengerikan. Jauh dari prediksi awal saya.
Fakultas ini memiliki program yang sudah menjadi tradisi tiap semester, suatu program yang dinamakan School Experience Program. Dalam program ini, mahasiswa akan dikirimkan ke sekolah-sekolah yang sudah memiliki ikatan kerjasama dengan FoE SU.
Para mahasiswa akan mengobservasi kegiatan belajar mengajar dengan perspektif yang berbeda. Perspektif sebagai calon guru.
Dosen-dosen pun memberikan pesan, bahwa kita harus bertingkah layaknya guru di sekolah sana. Jadi kalau ada anak murid yang mau cerita, minta diajar, minta digendong, minta dipeluk, kita harus profesional.
Wah, teman-teman seangkatanku bahagianya bukan main. Di lain sisi, aku berkeringat dingin membayangkan hal itu. Sebagai manusia yang tidak pernah bisa akrab dengan anak-anak ingusan itu, aku seketika merencanakan pindah fakultas.
Selama program ini, saya mengobservasi berbagai macam kegiatan di kelas. Secara langsung, saya berada di dalam ruang kelas dengan anak-anak SD yang sangat antusias. Bukan antusias menerima pelajaran, melainkan antusias menunggu reaksi temannya yang menjadi korban keisengan mereka.
Melihat mereka, sekilas saya terkenang pada masa saat saya masih sekecil mereka. Masa-masa di saat aku duduk di bangku kecil dan selalu melihat sesosok orang yang gagah dan sabar. Sosok yang biasa disebut sebagai guru kelas. Namun kali ini, saya melihat sosok tersebut dengan perspektif lain. Perspektif sebagai calon guru.
Melalui kacamata ini, saya tidak melihat sosok yang segagah pandanganku dulu. Saya tidak melihat sosok yang sesabar pandanganku dulu.
Saya melihat sesosok manusia biasa yang terlihat panik dan kebingungan untuk mengatur anak-anak yang tersenyum polos di depan dia. Saya melihat manusia biasa yang senyumnya terlihat tidak lepas, namun cukup untuk membuat anak-anak di depannya merasa aman dan nyaman.
Saya melihat manusia biasa yang sangat berbeda, tidak seideal yang ada pada pandangan saya beberapa tahun yang lalu. “Jadi seperti ini ya rasanya jadi pendidik,” saya bergumam.
Program ini membongkar pola pandang saya selama ini mengenai guru. Mereka bukan manusia yang turun dari langit dan diciptakan untuk mendidik kita dengan sempurna. Itu adalah mitos yang selama ini saya percaya.
Nyatanya, guru adalah manusia biasa yang dengan segala cara mengatasi ketakutan dan kegelisahan pribadinya dan berusaha terlihat sempurna di hadapan murid-muridnya. Banyak orang yang mengira bahwa guru adalah pekerjaan remeh yang tidak menunjukkan suatu profesi.
Sekarang, saya dapat meluruskan kepercayaan itu. Kalau hanya berbicara di depan, memberi tugas, mengomeli anak-anak saja, semua orang juga bisa.
Justru, guru adalah profesi yang sangat sulit. Mereka dituntut oleh masyarakat untuk menjadi sempurna demi masa depan anak-anak yang sempurna, dan itu lebih dari sekadar masuk kelas, memberi tugas, dan keluar kelas.
Walaupun program ini (School Experience Program) ‘mengerikan’, namun program inilah yang telah membuka pola pikir saya jauh lebih luas dari sebelumnya.
Di hari guru tahun ini, hal yang ingin saya raih bukan lagi huruf “A” di selembar kertas puisi. Bukan lagi pengakuan dari guru-guru bahwa saya bisa menulis sajak yang menyentuh.
Tapi pengakuan dari banyak orang bahwa profesi guru itu keren, menantang, dan krusial, pake banget. Bagi yang belum paham bagaimana alasannya, saya undang kalian semua untuk menggantikan posisi saya di School Experience Program semester depan. Saya akan sangat amat bahagia apabila ada yang berminat.
Guru… Betapa mulianya engkau.
Selalu memerhatikan kita, murid-muridmu yang selalu merepotkanmu.
Selalu memedulikan kita, murid-muridmu yang selalu menyusahkanmu.
Engkau adalah sesosok yang spesial bagiku.
Engkau adalah insan yang menyinari hidupku yang gelap.
Oh, guru… Entah apa jadinya hidupku tanpa keberadaan engkau…
Puisi ini menggambarkan bahwa kebanyakan guru berhasil memberikan citra baik, namun berbeda di balik layar. Namun siapa yang tahu, bahwa pencitraan itu adalah hal yang membuat kita semua aman, nyaman, senang, dan pintar di saat kita masih lugu. Siapa yang sangka pula, bahwa citra tersebut yang juga menjamin masa depan kita sekarang. (ded/ded)
Pandangan itu segera berubah pada saat saya menetapkan suatu petualangan, dimulai dari secarik kertas bernama ijazah. Hari itu, saya dengan mengunjungi SMA dengan status alumnus. Saya mencari guru BK karena aku ingin mencari informasi lowongan kerja.
“Heh, ngapain piko malah kerja. Kamu kan pintar, nih coba daftar Sampoerna Foundation. Siapa tahu dapat beasiswanya,” kata sang guru BK. Saya memandangi formulir pendaftaran yang diberikan sambil tersenyum kecil. Saya bergumam di dalam hati: “Ternyata pencitraanku berhasil. Diri ini bangga.”
Setelah saya meneliti lembaran itu, ternyata ada satu informasi penting. Adanya beasiswa yang dinamakan “Beasiswa Calon Guru Kebanggaan Bangsa.” Pada saat itu, hal yang muncul dalam benak saya adalah: “Oh, ini nanti jadi guru yang berarti. Yang ngajarin bocah-bocah itu. Yang peduli pendidikan itu. Oh gitu. Oke.”
Singkat, padat, jelas. Karena sepertinya tidak ada salahnya untuk mencoba, saya pun langsung mengikuti prosedur untuk menjadi “Guru kebanggaan bangsa”.
Setelah menjalani berbagai prosedur yang diterapkan, saya berhasil lolos tahap seleksi dan resmi menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan di Sampoerna University (selanjutnya disingkat FoE SU). Namanya juga mahasiswa baru, pasti gembira untuk menyongsong petualangan baru. Memang dasar mahasiswa baru yang masih naif dan lugu akan horor yang sebentar lagi menemani dia untuk empat tahun ke depan.
Hari demi hari saya lewati di kampus ini. Hari berubah menjadi minggu. Minggu berganti menjadi bulan. Semakin lama saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa FoE SU, semakin saya menyadari bahwa menjadi mahasiswa di fakultas keguruan tidak semenyeramkan yang dikira.
Tapi justru jauh lebih mengerikan. Jauh dari prediksi awal saya.
Fakultas ini memiliki program yang sudah menjadi tradisi tiap semester, suatu program yang dinamakan School Experience Program. Dalam program ini, mahasiswa akan dikirimkan ke sekolah-sekolah yang sudah memiliki ikatan kerjasama dengan FoE SU.
Para mahasiswa akan mengobservasi kegiatan belajar mengajar dengan perspektif yang berbeda. Perspektif sebagai calon guru.
Dosen-dosen pun memberikan pesan, bahwa kita harus bertingkah layaknya guru di sekolah sana. Jadi kalau ada anak murid yang mau cerita, minta diajar, minta digendong, minta dipeluk, kita harus profesional.
Wah, teman-teman seangkatanku bahagianya bukan main. Di lain sisi, aku berkeringat dingin membayangkan hal itu. Sebagai manusia yang tidak pernah bisa akrab dengan anak-anak ingusan itu, aku seketika merencanakan pindah fakultas.
Selama program ini, saya mengobservasi berbagai macam kegiatan di kelas. Secara langsung, saya berada di dalam ruang kelas dengan anak-anak SD yang sangat antusias. Bukan antusias menerima pelajaran, melainkan antusias menunggu reaksi temannya yang menjadi korban keisengan mereka.
Melihat mereka, sekilas saya terkenang pada masa saat saya masih sekecil mereka. Masa-masa di saat aku duduk di bangku kecil dan selalu melihat sesosok orang yang gagah dan sabar. Sosok yang biasa disebut sebagai guru kelas. Namun kali ini, saya melihat sosok tersebut dengan perspektif lain. Perspektif sebagai calon guru.
Melalui kacamata ini, saya tidak melihat sosok yang segagah pandanganku dulu. Saya tidak melihat sosok yang sesabar pandanganku dulu.
Saya melihat sesosok manusia biasa yang terlihat panik dan kebingungan untuk mengatur anak-anak yang tersenyum polos di depan dia. Saya melihat manusia biasa yang senyumnya terlihat tidak lepas, namun cukup untuk membuat anak-anak di depannya merasa aman dan nyaman.
Saya melihat manusia biasa yang sangat berbeda, tidak seideal yang ada pada pandangan saya beberapa tahun yang lalu. “Jadi seperti ini ya rasanya jadi pendidik,” saya bergumam.
Program ini membongkar pola pandang saya selama ini mengenai guru. Mereka bukan manusia yang turun dari langit dan diciptakan untuk mendidik kita dengan sempurna. Itu adalah mitos yang selama ini saya percaya.
Nyatanya, guru adalah manusia biasa yang dengan segala cara mengatasi ketakutan dan kegelisahan pribadinya dan berusaha terlihat sempurna di hadapan murid-muridnya. Banyak orang yang mengira bahwa guru adalah pekerjaan remeh yang tidak menunjukkan suatu profesi.
Sekarang, saya dapat meluruskan kepercayaan itu. Kalau hanya berbicara di depan, memberi tugas, mengomeli anak-anak saja, semua orang juga bisa.
Justru, guru adalah profesi yang sangat sulit. Mereka dituntut oleh masyarakat untuk menjadi sempurna demi masa depan anak-anak yang sempurna, dan itu lebih dari sekadar masuk kelas, memberi tugas, dan keluar kelas.
Walaupun program ini (School Experience Program) ‘mengerikan’, namun program inilah yang telah membuka pola pikir saya jauh lebih luas dari sebelumnya.
Di hari guru tahun ini, hal yang ingin saya raih bukan lagi huruf “A” di selembar kertas puisi. Bukan lagi pengakuan dari guru-guru bahwa saya bisa menulis sajak yang menyentuh.
Tapi pengakuan dari banyak orang bahwa profesi guru itu keren, menantang, dan krusial, pake banget. Bagi yang belum paham bagaimana alasannya, saya undang kalian semua untuk menggantikan posisi saya di School Experience Program semester depan. Saya akan sangat amat bahagia apabila ada yang berminat.
Guru… Betapa mulianya engkau.
Selalu memerhatikan kita, murid-muridmu yang selalu merepotkanmu.
Selalu memedulikan kita, murid-muridmu yang selalu menyusahkanmu.
Engkau adalah sesosok yang spesial bagiku.
Engkau adalah insan yang menyinari hidupku yang gelap.
Oh, guru… Entah apa jadinya hidupku tanpa keberadaan engkau…
Puisi ini menggambarkan bahwa kebanyakan guru berhasil memberikan citra baik, namun berbeda di balik layar. Namun siapa yang tahu, bahwa pencitraan itu adalah hal yang membuat kita semua aman, nyaman, senang, dan pintar di saat kita masih lugu. Siapa yang sangka pula, bahwa citra tersebut yang juga menjamin masa depan kita sekarang. (ded/ded)
Sumber:https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20171124233339-445-257952/guru-sesungguhnya-profesi-yang-sangat-sulit/
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih