THE ISLAMIC RELIGIOUS SPIRIT OF SOCIAL CHANGE




Beberapa waktu belakangan ini, kita semakin sering mendengar kasus lapor melapor alias saling laporkan ke petugas berwajib. Mulai dari kasus Ahok tahun lalu karena terbukti menistakan agama, hingga yang terbaru kasus pelaporan terhadap Rocky Gerung karena ucapannya di salah satu  forum diskusi yang disiarkan langsung oleh Stasiun TV nasional. Karena itu ada pertanyaan yang muncul di group wa Fakultas Hukum UII S2 group kelas saya, kenapa umat kita semakin gampang tersinggung, dan tak gampang memaafkan...? apa yang terjadi dengan umat ini..? apakah sudah tidak memiliki naluri keIslaman yang sesungguhnya sehingga nilai-nilai moral dilupakan, dan lebih mengutamakan nilai-nilai permusuhan..?

Terlepas dari itu semua, sejak lebih dari seratus tahun lalu, ketika khilafah terakhir umat Islam (Turki Ustmani) runtuh pada tahun 1924. Keruntuhan ini tercatat sebagai puncak kemunduran umat Islam. Sehingga tokoh-tokoh gerakan Islam kala itu kemudian menginisiasi ide “pembaharuan terhadap kondisi umat”, ada yang mengusulkan pembaharuan pada sistem pemerintahan, ada juga yang mengusulkan pembaharuan pada sisi pemikiran, hukum, sosial, budaya, dan pendidikan. All of items dari agama ini kalau bisa semuanya di perbaharui, sebab kita sudah tertinggal jauh dari Barat, bahkan Bung Karno sendiri pernah bilang kalau kita tertinggal 100 tahun dari Barat. Akhirnya Islam dan Baratpun dihadap-hadapkan, seolah bermusuhan.

Bahkan dalam kitab  Fi Afaqi At-ta’alim  Said Hawa menyatakan; “tanggung jawab terbesar kita adalah melakukan tajdid (pembaharuan) dan naql (alih generasi). Yakni pembaharuan ajaran Islam dan proses perubahan terhadap pribadi muslim dari satu kondisi kekondisi yang lain, dan perubahan umat Islam dari satu fase ke fase yang lain”.

Ilmuwan sekaligus Filsuf muslim asal Pakistan Sir, Muhammad Iqbal secara khusus menelurkan pikiran-pikiran pembaharuan Islam dalam buku yang berjudul “The Reconstructions Of Religious Thougt in Islam” dalam pengantar buku ini iya menyatakan ”sebenarnya urgensi penulisan rekonstruksi (judulbuku ini, red) muncul diantara beberapa sebab lain, sebagian besar karena suatu keadaan yang putus asa, di mana tradisi religo filsafat Muslim tampaknya telah jatuh selama berabad-abad disebabkan kelalaian belaka. Umat Muslim akhirnya tertinggal karena apa yang Allamah iqbal deskripsikan sebagai ‘metafisika usang’ dengan bentuk pemikirannya yang khas dan yang menghasilkan efek mematikan  bagi pikiran modern”.

Hal ini tentu menjadi catatan kita bersama, kenapa umat ini menjadi seoalah tak begitu bersahabat dengan kondisi zaman, atau mengalami degradasi secara keilmuwan juga tertinggal dalam berbagai bidang. Kita boleh saja mengatakan bahwa “kita sedang berjuang untuk agama”, namun berjuang pada sisi yang mana..? jangan-jangan kita berjuang untuk dirikita sendiri, dan semakin jauh tertinggal dengan umat-umat lainnya. Dua hari yang lalu saya bertemu dengan adik tingkat saya waktu di fakultas hukum Unram 2012 silam. Saya begitu kaget, karena tampilannya sudah agak berbeda, namun bukan itu sesungguhnya yang membuat saya agak nyinyir, ia sampaikan begini “cukuplah wanita itu tidak usah tinggi-tinggi pendidikannya, jadi istri saja di rumah mengurus anak, nanti kalau dia lebih tinggi dari kita (yang laki-laki), dia bisa melanjak”. Dalam hal ini saya terus terang menentang pemikiran semacam ini, karena hal ini akan membuat perempuan semakin tertinggal.

Kenapa umat ini masih tertinggal ?, selain faktor pemikiran, kesadaran umat ini terhadap keilmuwan dan masa depan atas pendidikan yang lebih baik juga masih tradisionalistik. Kritik yang lebih tajam tentang hal ini sebenarnya sudah lama disampaikan. Dosen saya di S2 UII, Dr. Yusdani MAg, menyampaikan perlunya pembaharuan pemikiran fiqh klasik agar lebih sesuai dengan zaman dan keadaan saat ini. Barangkali bisa dibenarkan hal tersebut secara hukum. Sebagai contoh misalnya  kita tidak bisa membiarkan anak di bawah umur menikah walaupun secara agama ia sudah akil baligh, sebab hal tersebut akan menimbulkan mudharat lebih besar, dimana mereka akan kesulitan secara ekonomi, dibidang pendidikan ia tak lagi memiliki kesempatan untuk mencicipi pendidikan tinggi, secara kesehatan wanita, maka ia bisa mengalami kematian saat melahirkan sebab organ-organ reprduksi kewanitaannya belum terlalu matang.

Mari kita secara lebih jauh melihat makna Islam dari terminology yang berbeda, hakekat Islam telah coba disampaikan oelh Prof. Yudian dalam salah satu bukunya. Ia menuturkan “Islam adalah proses menuju salam atau salamah (keselamatan dan kedamaian) dengan cara tauhid, yaitu mengintegrasikan kehendak (izin) Allah yang ia ekspresikan dalam tiga ayat berbeda tapi saling melengkapi”.

Pertama kehendak Allah yang ada dalam al-Qur’an, yang sering disebut dengan ayat nassiyah atau qauliyyah (the textual sign of Allah), inti kehendak Allah dalam al-Qur’an adalah laa ilaaha illallah (bersama ikutannya khsusnya akidah, ibadah mahdah dan akhlak yang juga disebut ayat teologis) dan hukum kepasangan ( positif-negatif, plus-minus, baik-buruk dan untung rugi) pada setiap benda. Nama lain dari hukum kepasangan ini adalah hukum keseimbangan (kosmos dan kosmis). Hukum keadilan”.
“Kedua, kehendak Allah yang ada pada alam. Intinya hanyalah hukum kepasangan, yang sering disebut dengan istilah takdirullah, sunnatullah atau hukum alam sebagai manisfestasi kosmos dari laa ilaaha illallah. Nama lainnya adalah ayat kauniah, al-ayat al-mukawwanah, the antural sign of Allah atau ayat kosmos”.
“ketiga, kehendak Allah yang ada pada manusia atau kosmis. Inti hukum kemanusiaan hanyalah hukum kepasangan sebagai manifestasi kosmis dari laa ilaaha illallah. Ini sering disebut sebagai ayat insaniah, al-ayat al-insaniyyah, al-ayat al-mu’ansanah, the socio historical sign of Allah atau ayat kosmis. Salah satu makna salaam sebagai proses pada tingkat teologis, kosmos dan kosmis adalah memaksimalkan potensi positif suatu benda, juga manusia, dengan meminimalkan potensi negatifnya shinga titik keseimbangan (keadilan), orangnya disebut Muslim”.

Lebih lanjut Prof. Yudian mengatakan “hukum terbesar yang mengatur dunia ini adalah hukum kepasangan atau takdir (kadar atau kondrat dalam lailatul qadr), sehingga dijadikan rukun iman yang keenam. Pada tahapan ini , Muslim diperintahkan untuk mengimani fakta alamiah (kosmos dan kosmis) ini yaitu ‘tidak ada maslahat tanpa mafsadat dan, sebaliknya tidak ada manfsadat tanpa  maslhat sekaligus’’.

Maka disini sudah jelas, untuk memberikan perubahan kearah pembaharuan dan melahirkan generasi baru, kita perlu memahami Islam secara lebih dalam. Tidak cukup Islam kita fahami sebagai teks hukum belaka, melainkan disana ada kaidah filosofis yang mesti kita tahu yaitu “tidak ada maslahat tanpa mafsadat”, selalu ada baik dan buruk dalam hidup ini. Jika kita hanya melihat Islam sebagai teks hukum yang harus dilaksanakan, no compromise dengan keadaan contxtual, tentu saja perlu kita cari pemaknaan yang lebih realebel. Sehingga kita tidak melihat Islam sebagai satu hukum sejarah, begitu cara berpakain Nabi saw begitu pula pakaian yang kita pakai, padahal pakaian gurun pasir berbeda dengan pakaian tropis, pakaian kantor berbeda dengan pakaian lapangan, yang perlu adalah esensinya, yaitu menutupi aurat. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menumbuhkan The Islamic Religious Spirit Of Social Change, dalam dirikita agar kita tidak melihat Islam itu sebagai sebuah ritual semata, yang tak memiliki makna dunia, sebab islam adalah jalan keselamtan dunia dan akhirat.

Pustaka:
Muhammad Iqbal, 2016, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, Bandung: Penerbit Mizan.
Said Hawwa, 2014,  Fi Afaqi At-Ta’alim (Membina Angkatan Mujahid), Solo: PT. Era Adicitra Intermedia.
Yudian Wahyudi, 2017, Jihad Ilmiah Dua: dari Harvard ke Yale dan Princeton, Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia