GURU DAERAH, ANTARA TANGGUNG JAWAB DAN KESEJAHTRAAN
Rintik-rintik air dengan kerasnya
menampar hamparan rerumputan yang berada di belakag tempat tinggalku. Terdengar
suaru dentuman keras ribuan rintik air
yang menendang deretan genteng atap rumah sekolah tempat tinggalku. Di telinga
saya musik melayu mengiringi jari jari ini menari di atas keyboard komputer.
Saya tadi mengambil musik ini dari pak Suwandi guru olah raga di sekolah tempat
saya penempatan.
Pak suwandi adalah salah satu guru
senior di sini, sudah hampir 30 tahun bertugas di sekolah ini, tepatnya sejak
tahun 1985. Saya sendiri belum lahir waktu itu. Umur beliau kini sudah mencapai
kepala lima, tepatnya beliau berusia 54 tahun. Tahun berganti tahun beliau
lalui di sekolah ini, semua jenis karakter anak mungkin juga sudah beliau tahu.
Secara kapasitas keguruan tentu
tidak diragukan. Satu minggu berada disini saya banyak berdiskusi dengan
beliau, terutama menyangkut kesejahtraan guru terpencil di daerah. Beliau
mengakui kendala terbesar guru terpencil adalah pada urusan antara keluarga dan
pengabdian. Saya harus mengakui, bahwa dengan saya masuk setiap 3 hari dalam
sepekan memang menjadi hal yang dilematis bagi saya. Satu sisi saya harus
merawat ibu saya yang ada di Pontianak, namun disisi yang lain saya tetap harus
kembai mengajar ke sekolah.
Jarak yang kita tempuh untuk kesini
memang tidak dekat, 124 km adalah jarak
antara Ponitanak dengan desa Mengkalang kecamatan kubu. Jalan yang harus
dilewati adalah jalan air menyeberangi sungai dilanjutkan dengan jalan tanah
perkebunan kelapa sawit. Sekali jalan kesini butuh uang sekitar 150 ribu
rupiah. Biaya yang tidak sedikit
tentunya.
Saya tahu hal ini memberatkan
baginya, pak Suwandi bercerita
kepada saya tentang kondisi keluarganya yang kurang harmonis, tentang tunjangan daerah terpencilnya yang tak diterima
sebesar 36 juta rupiah pada tahun sebelumnya. Jika tak ada perubahan dalam dua
tahun kedepan pak Dafi, mungkin saya harus pindah dari sekolah ini. Karena
kondisi keuangan saya tak mencukupi untuk tetap mengajar disini. Beliau
menyatakan hal itu kepada saya, saat kami berbincang berdua setelah saya datang
kerumahnya pada pagi hari minggu yang lalu.
walaupun
kami baru beberapa kali ketemu, namun beliau selalu mengungkapkan apa yang
menjadi perasaannya. Memang saya kemudian dapat memahami bahwa ada masalah
tertentu pada keluraga beliau sehingga menyebabkan beliau tidak bisa
konsentrasi mengajar semangatnya sudah berbeda, jika masih muda tentu
semangatnya adalah pengabdian, tapi kalau sudah dewasa seperti itu semangatnya
adalah membahagiakan keluarga, kata beliau.
Jika demikian halnya, saya kembali
bertanya bagaimana meyikapi fenomena semacam ini. Disatu sisi kita ingin
melihat kualitas pendidikan Indonesia meningkat mengalami kemajuan dalam mutu
pendidikannya. Namun jika menilik suasanana dan kondisi jiwa para pendidiknya,
tentu tak dapat di elakkan jika para guru mengajar sesuai dengan batas
pemahaman yang dimiliki. Mereka tak bisa disalahkan, baik karena mereka tak
tersejahterakan ataupun karena urusan pribadi lainnya.
#
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih