TIDAK SEHARUSNYA GURU HANYA MEMBERI NILAI
Oleh ; Ahmad Rizal Khadapi
Mengajar
bukanlah sebuah kerja sebagaimana layaknya pekerjaan untuk menghasilkan uang
(Jay Parini/ the art of teaching). Kelas bukanlah tempat menyaring siswa yang
baik dan yang buruk. Sekolah juga bukan tempat mencari skor. Saya tidak selalu
senang memberi nilai pada siswa dengan nilai angka. Yang merasa pintar akan
mendapat nilai diatas 7 sedangkan yang kepintarannya sedang mendapat nialai
5-6 , dan yang kurang pintar akan dapat nilai dibawah 4.
Anda
tahu... ? dunia ini mengurung dan menjebak kita pada persaingan. Pendidikan
saja menjadi ajang pertarungan. Dan seakan kita takluk dengan angka. Apa reaksi
kita sebagai bangsa dikala menemukan hasil survey UNESCO tahun 2004 tentang
kualitas pendidikan di dunia menunjukkan pendidikan Indonesia berada di peringkat
114 dari 175 negara.
Hasil
survey lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu, mungkin hari ini kita bisa
benarkan, karena memang tidak ada perubahan signifikan dalam dunia pendidikan
kita. Selama guru yang mengajar di kelas dan sekolah, masih menganggap kelas
sebagai tempat menyaring siswa yang baik dan yang buruk, maka selama itu pula
pendidikan kita akan jalan di tempat.
Merubah
paradigma guru adalah kata kuncinya. Tapi kita melihat pemrintah tidak punya
akal untuk melakukan perubahan itu. Saya sering bertemu dan ngobrol dengan
rekan- rekan guru abdi negara, yang mengajar ala kadarnya, dan tidak bisa
memanfaatkan fasilitas pendidikan seperti alat praga yag telah dikirim
pemerintah ke sekolah sebagai media untuk mengajar.
Alat
praga itu hanya menjadi tumpukan benda berantakan di gudang, atau kalaupun terawatt
dan rapi hanya menjadi pajangan di rak-rak sekolah. Mereka bilang.. mengajar
itu memang sudah seperti ini, tidak bisa lagi melakukan yang lain. Kalau sudah
begini jawaban guru, tentu anak didik yang diajar juga tidak akan mendapat
pengalaman belajar. Anak didik hanya dituntut untuk menyelesaikan soal tugas.
Setelah itu dapat nilai angka dari gurunya. Dan yang mempunyai skor paling
banyak dapat peringkat teratas. Oh,,, My
God.. siapa yang mesti bertanggung jawab atas masa depan anak – anak ini. Kalau
kemudian hari ini kita mengatakan bahwa bangsa kita miskin inovasi, semua itu
berawal dari bangku sekolah.
Skor,
nilai, dan angka adalah hal yang paling menakutkan bagi siswa. Jika guru tahu
bahwa angka itu bisa membunuh mental anak didik, maka tak sharusnya angka
menjadi penilaian utama. Guru tidak boleh mengajar untuk mengejar angka raport,
tapi guru mestilah mengajar untuk membuat siswa lebih pandai dan kreatif, lebih
berakhlak dan bermoral, dan lebih bisa menghasilkan karya.
Suatu
saat ketika randu duduk bersama gurunya, ia bertanya..pak kenapa nialai teman
teman mesti dipajang..yang dapat nilai tertinggi berada diurutan kesatu
sedangkan yang terendah berada diurutun paling bawah..? bukankah itu akan
membuat malu teman-teman yang mendapat nilai rendah..? tidak ada kebersamaan,
tapi yang ada adalah persaingan..? mendengar pertanyaan dan pernyataan itu. Sang
guru menjawab, karena hidup ini adalah persaingan.
Jawaban
singkat sang guru menandakan bahwa, guru-guru kita belum punya mindset
mendidik. Karena mindset yang dibangun adalah mindset persaingan, bukan mindset
kebersamaan,bukan mindset pembangunan, bukan juga mindset ke-saling fahaman. Karena
prinsip mendidik itu sama seperti prinsip mempersaudarakan. Bukan prinsip
saling bunuh dan saling saing. Sepak bola tujuannya bukan untuk mengetahui
siapa menang siapa kalah, tapi tujuan mainnya adalah fair play. Maka seharusnya pendidikan kita juga tidak boleh hanya
mengejar angka nilai ataupun statistik
Karena
mengajar untuk mengejar nilai raport, maka pemebelajaran yang dilakukan masih
pada pembelajaran kognitif semata. Barbara K. Given mengatakan sistem
pembelajaran kognitif adalah sistem pemrosesan pada otak. Artinya guru yang
mengajar dengan sistem ini bukanlah guru yang professional, karena hanya
mengajar dengan satu model saja. Sebagai catatan, walaupun sertifikat guru
professional telah diterima oleh banyak guru karena telah melakukan
sertifikasi, ternyata tidak semua mereka benar benar professional. Sebab cara
mengajar mereka masih sama seperti yang dulu. Bangsa kita terlalu sederhana
mengindikasikan guru itu professional.
Saya
juga harus mengakui tugas guru sebagai seorang penilai. Tapi bukan itu tugas
guru yang utama, tugas guru yang utama adalah mendidik, mengajar, dan membimbing.
Coba kita cermati bunyi pengertian guru pada Peraturan Pemerintah (PP) No.74
tahun 2008, yang dimaksud “ guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikkan....”.
Dari
pengertian itu saja, kita sudah bisa melihat bahwa urutan ketiga pertama dari
guru yang diakatakan professional adalah guru yang mempunyai tugas mendidi,
mengajar, dan membimbing. Sedangkan penilaian berada di urutan kelima. Oleh sebab
itu mari kita sepakati, sebagai guru kita tidak boleh lagi focus men-justice anak didik kita cerdas atau
tidak cerdas, pintar atau bodoh, nakal atau baik, dari angka-angka statistic yang
kita sendiri juga membuatnya secara tidak terukur.
Daftar rujukan :
- Jay Parini, the art of teaching
- Didi Supriadi, komunikasi belajar
- As'aril Muhajir, Ilmu pendidikan persefektif kontekstual
- Spencer Jhonson, the one minute teacher
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih