HUKUM USAHA MONEY CHANGER DALAM ISLAM
![]() |
(doc.foreigncy.com.my) |
Jual beli mata uang yang berbeda pada
dasarnya diperbolehkan.
Sistem
ekonomi modern membuat hubungan
perdagangan bisa dilakukan lintas negara. Meskipun masing-masing negara
memiliki mata uang, perdagangan antarnegara tetap bisa dilakukan.
Selain
itu, mata uang asing juga diperlukan bila seseorang hendak bepergian ke luar
negeri. Nilai tukar mata uang juga menjadi patokan. Jika nilai tukar mata uang
terhadap mata uang fluktuatif (tidak
menentu) seperti yang terjadi saat ini, bagaimana hukumnya? Lalu hukum menukar
mata uang dengan mata uang asing seperti apa?
Pemimpin
Ar-Rahman Qur’anic Learning (AQL) Center, Ustadz Bachtiar Nasir, menjelaskan, dalam
kitab fiqh Islam jual beli mata uang disebut al-sharf dan dalam
istilah fiqh kontemporer disebut al-tijarah bi al-‘umlat (jual beli mata
uang). Pada masa awal
kejayaan Islam mata uang itu hanya dalam bentuk emas yang dinamakan dinar
dan perak yang dinamakan dirham.
Namun,
pada zaman sekarang kebanyakan mata uang berbentuk nikel, tembaga, dan kertas
yang diberi nilai tertentu. Para ulama menjalaskan, pada dasarnya al-sharf
atau jual beli mata uang hukumnya boleh, sebagaimana jual beli lainnya,
selama tidak mengandung unsure riba, gharar,
dan spekulasi, serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam syariat.
Hadist
Nabi Muhammad SAW menjelaskan ketentuannya, pertama jual beli atau
transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai, artinya setiap pihak harus
menerima dan menyerahkan mata uang masing-masing pada saat terjadi transaksi.
Tidak sah transaksi jika salah satu pihak tidak menerima atau menyerahkan mata
uangnya. Karena ini termasuk riba yang diharamkan oleh Allah swt.
Dasar
hukumnya adalah, Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ubadah Bin Al-Shamit,
Ia berkata, “Rosulullah SAW bersabda :
jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam
dijual dengan garam, maka jumlah (takaran dan timbangan) harus sama dan dibayar
secara kontan (tunai). Dan jika jenis barang itu berbeda, silahkan dengkau
perjualbelikannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).”
(H.R. Bukhari).
Dalam
hadist lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata “ saya bertanya kepada
al-Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sarhf
(jual beli uang), maka mereka berkata :
pada zaman Rosulullah SAW kami adalah pedagang dan kami bertanya pada
Rosulullah SAW tentang al-sharf itu.
beliau bersabda: Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan jika
dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut) maka
tidak boleh.” (H.R. Bukhari).
Kedua,
jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan
tidak boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai
nominalnya harus sama. Tidak boleh menukar Rp 1.000 dengan Rp 1.100 karena itu
termasuk riba yang disebut dengan riba al-fadhl. Sedangkan jika mata uangnya berbeda, seperti
rupiah denga dollar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada serah terima antara pembeli dan
penjual pada saat transaksi.
Dasar
hukumnya hadist Nabi SAW, dari Abu Said Al-Khudri meriwayatkan, Rosulullah SAW
bersabda , “janganlah engkau menjual emas
dengan emas, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau menjual perak dengan
perak, kecuali sama beratnya, dan janganlah kamu melebihkan satu dengan yang
lainnya, dan jangalah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (ghaib) dengan
sesuatu yang ada di tempat (najiz).” (H.R.Bukhari).
Ustadz
Bachtiar menyimpulkan, boleh hukumnya membuka usaha tukar menukar uang (money
changer) selama memerhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Islam.
Tujuannya, agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan riba yang diharamkan dan
sangat dibenci Allah SWT.
Hal
yang sama ditegaskan Ustadz Muhsin Fauzi. Menurut beliau, yang harus menjadi
catatan dalam pertukaran mata uang asing ada dua hal. Pertama, harus dilakukan
secara tunai. Kedua, jika pertukaran uang untuk mata uang yang berbeda boleh
mengambil keuntungan, sedangkan untuk mata uang yang sama maka sama sekali
tidak boleh mengambil keuntungan.
Pembina
Rumah Fiqh Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat, menambahkan, hukum dasar dalam
bisnis tukar menukar mata uang adalah halal. Sehingga, bekerja pada tempat
penukaran mata uang hukumnya pun halal juga. Bila memenuhi aturan syariah dan
tidak melakukan praktik-praktik riba.
Dalam
masalah penukaran mata uang ini, yang diharamkan adalah tukar menukar antara
mata uang yang sama. Sedangkan, yang terjadi dalam sebuah money changer adalah penukaran atas dua mata uang yang berbeda.
Sehingga dalam hal ini tidaklah termasuk dalam transaksi yang diharamkan.
Syekh
Faishal Maulawi, hakim syariah di Lebanon mengatakan, bisinis tukar menukar
mata uang adalah halal, ketika yang dipertukarkan adalah dua jenis mata uang
yang berbeda. Seperti menukar dollar AS dengan franc Prancis, atau Poundstarling
Inggris dengan Riyal Saudi, atau antara
dinar Kuwait dengan lira Lebanon, dan lainnya. Maka transaksi yang demikian
disebut dengan sharf atau penukaran mata uang asing. Dan bentuk bisnis ini di
halalkan oleh seluruh ulama. Apalagi, mengingat kepentingannya untuk transaksi
di tengah masyarakat seluruh dunia.
Namun,
bila yang diepertukarkan hanya satu mata uang saja, maka hukumnya dilarang.
Jadi, tidak boleh menukar mata uang mark Jerman dengan mark Jerman juga kecuali
dengan nilai yang sama juga. Haram hukumnya bila dengan adanya perbedaan nilai,
baik lebih atau kurang. Bila yang terjadi seperti itu, maka hukumnya adalah
riba yang diharamkan. Dalam kondisi ini, yang dibenarkan hanyalah peminjaman
yang bila dikembalikan pada saat jatuh temponya, tidak boleh ada kelebihan atau
kekurangan.
Note :
diambil dari rubrik dialog jumat, koran Republika edisi jumat, 22 juli 2016 (17
Syawal 1437 H) hal. 5
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih