BELAJAR DI KAMPUNG QUR’AN MERAPI (KQM)



Pengantar
            Merapi adalah gunung paling aktif di Indonesia. Tahun 2010 Merapi mengamuk meluluhlantakkan semua yang berada di punggungnya, baik itu perkampungan, hewan ternak, pepohonan, semua luluh lantak. Tak ada yang tersisa, semuanya habis. Puluhan jiwa melayang. Ribuan warga di ungsikan. 
            Air mata bercucuran, tangis sedih tak terbendung, seluruh nusantara menetaskan air mata. Bencana besar letusan Merapi mengagetkan kita semua. Kala itu, saya yang masih duduk di bangku kuliah semester empat. Maka dari organisasi kampus, saya bergerak turut mengadakan acara bakti sosial untuk Merapi.
            Seteleh enam tahun berselang, tak ada kabar berita lagi tentang Merapi pada diir saya yang terlintas. Hingga akhirnya waktu mengantarkan saya selama lebih dari tiga bulan pada tahun ini untuk bisa merasakan kehidupan warga masyarakat di lereng Merapi, dimana 2010 lalu lereng ini menjadi saksi bisu keganasan letusan merapi. Kini di lereng ini telah berdiri kembali kampung warga. Kampung padukuhan Kali Tengah Kidul dan Kali Tengah Lor. Dua kampung ini menjadi wilayah pembinaan Kampung Qur’an Merapi (KQ)
   Kampung Qur’an Merapi (KQM) adalah sebuah pedukuhan binaan PPPA Daarul Qur’an di lereng Gunung Merapi sebelah selatan yang masuk ke dalam wilayah Sleman, DI Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan wilayah Klaten, Jawa Tengah. Awal pendirian KQM adalah pasca erupsi Gunung Merapi yang meluluh lantakkan lereng Gunung Merapi sebelah selatan sehingga banyak pedukuhan yang hancur karena terjangan awan panas.
KQM yang berlokasi di Pedukuhan Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, diresmikan pembangunannya pada Agustus 2011. Sejak saat itu, pendampingan dan pembinaan keagamaan di pedukuhan tersebut terus berlangsung hingga kini. Pembangunan KQM bermula dengan pendirian Rumah Qur’an yang diperbantukan kepada Kepala Keluarga yang belum memiliki tempat tinggal yang layak pasca rumah mereka dihancurkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Selain itu, juga didirikan Saung Qur’an yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat mengaji, tempat pertemuan warga, dan kegiatan yang lain.
           
Refleksi diri di KQM
Kampung Qur’an Merapi, menjadi lokasi saya berbaur dan hidup bersama warga kampung lereng merapi.  Sejak akhir bulan Mei hingga September tahun dua ribu enam belas saya bertugas disini. Tugas yang bagi saya diluar keahlian saya secara umum. Sebab disini saya bertugas sebagai pelayan masyarakat, mengembangkan potensi sosial, agama, dan ekonomi masyarakat. Yang memang tidak pernah saya terima keilmuan secara ilmiah di bangku kuliah. Maka sejak awal kedatangan saya disini, saya berazam bahwa disini saya juga belajar.
            Saya  tidak pernah menyangka akan berada di kampung ini. Dan memang tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk menjalani hari-hari di Merapi. Tapi begitulah Allah azza wajalla sang Maha Pemilik Waktu mengatur hidup hambanya. Takdir Allah memperkenalkan saya pada warga Kampung Qur’an Merapi. Warga yang memiliki ke khasan tersendiri dengan kekuatan budaya jawa yang masih sangat melekat erat.
            Warga masyarakat disini sangat menjunjung tinggi  budaya jawa. Budaya warisan dari nenek moyang mereka.  Etika dan keharmonisan hidup menjadi satu hal yang masuk dalam tiap diri warga. Sebagai contoh, jika ada salah seroang  warga yang sakit, maka semua warga dipastikan akan pergi menjenguknya.
            Sistem kemasyarakatannya di bangun atas dasar rasa kegotong royongan. Pasca erupsi enam tahun silam, warga mulai sadar pentingnya sikap tenggang rasa dan saling menanggung. Maka terlahirlah inisiasi membuat jimpitan (yaitu program tabungan warga yang dikelola sendiri oleh warga). Beberapa program warga seperti pengajian bulanan, kumpulan warga, dan peringatan-peringatan hari besar, serta kegiatan-kegietan pembangunan kampung selalu di musyawarahkan. Bagi saya ini adalah satu sistem kemasyarakatan yang belum pernah saya temukan sebelumnya.
            Awal kedatangan saya, memang sangat mengejutkan diri saya. Sebab saya datang seharusnya sebagai orang yang menjadi lokomotif perubahan kemasyarakatan dari sistem beragama yang menganut Islam kejawen menjadi Islam yang murni. Namun dalam perkembangannya, saya merasa  kesulitan dalam berinteraksi, khususnya dengan warga yang tidak terbiasa berbahasa Indoneisa (dan umumnya, banyak warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia).
            Begitupun sebaliknya, saya juga tidak bisa dengan mudah mempelajari bahasa jawa. Kadangkala ketika ngobrol santai dengan warga, saya merasa mulut saya di lapban, tak ada satu kata yang keluar, sebab tidak tahu harus bicara pakai bahasa apa. Kalau berbicara dangan bahasa Indonesia, maka warga kampungnya yang terkadang kurang  faham, sedangkan kalau saya berbicara pakai bahasa jawa, saya yang tidak bisa menggunakannya.
            Kesulitan linguistic  menjadi satu kendala tersendiri bagi saya. Dan memang dalam waktu tiga bulan saya berada disini, saya belum bisa berbicara secara bagus. Tugas yang paling rutin saya jalankan adalah mengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Daarul Ilmi. Ada sekitar lima puluhan anak yang menjadi santri. Tapi hanya setengahnya saja yang kadang bisa ngaji di TPA. Aktifitas di TPA memang sedikit tidak menjadi wadah positif bagi saya menebar ilmu agama. Dari mendidik anak-anak TPA, maka harapan akan masa depan warga kampung yang lebih Islami tersematkan. Tidak saja Isalami secara sosial, tapi lebih Islami pada ritual-ritual ke_Islaman seusai Al-Qruan dan Sunnah. Semoga kelak Kampung Qur’an Merapi menjadi role model dakwah kemasyarakatan dalam merubah masyarakat yang tidak mengenal Islam secara komprehensif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia