KORUPSI, DAN SISTEM PENDIDIKAN KITA
Oleh
Ahmad Rizal Khadapi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZi3qfeVG4bp7wpDMvHAQlbPN3OamLqHlcP5D-TxtiscryqJ76f-BpPRD9WNE3q3zP8zkWrHm5R-Qj5d3pgPajKqhJ9Ia0YglPXWDN7OcVr46104VukrOpd52njLrEBuVePg2_8ixssiQ/s400/20160831_072457.jpg)
Maka, munculah ide untuk menulis
tentang korupsi, waluapun dalam tulisan ini banyak kutipan dari sana-sini. Tapi
gak jadi masalah, yang penting saya coba mempelajari, mengkaji, dan sedikit
memberi komentar, pendapat, atau sekedar saran dan kritik saja.
Oke...!!! mari kita mulai, secara harfiah
Korupsi atau rasuah (dalam bahasa Latin dimaknakan sebagai corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Sementara itu Alatas (1983)
menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.
Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu
bribery, extortion dan nepotism.
Dengan
demikian korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan,
demi keuntungan pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal
(misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan/kekuaasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan
teman.
Sebagaimana
tercantum dalam bab II pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah: Setiap orang yang
dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun
bukan semuanya, adalah
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- penggelapan dalam jabatan,
- pemerasan dalam jabatan,
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Kembali ke kasusnya IG, dalam press
rilisnya tanggal 17 september 2016 KPK menyatakan “tersangka IG selaku
Ketua DPD RI diduga menerima hadiah atau janji dari XS dan M berupa uang senilai
Rp100 juta, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya, terkait dengan proses pengurusan kuota
gula impor yang diberikan oleh Bulog kepada CV SB di Tahun 2016”.
Terlepas dari besar atau kecilnya total
nilai suap yang di duga diterima oleh IG. Saya mencermati bahwa ada satu hal
yang salah dalam proses pemberantasan korupsi di negeri kita. Sepertinya adanya
KPK tidak lantas membuat korupsi hilang dari dari negeri ini. Lantas saya coba
renungkan, bahwa Singapura dan beberapa negara maju di dunia tidak memiliki
lembaga seperti KPK, toh tingkat persepsi korupsi di negera tersebut tetap rendah.
Saya coba berfikir akar masalah dari
korupsi sebagai satu tindak pidana yang acap kali melibatkan tiga komponen
yaitu penguasa, pengusaha, dan penegak hukum menurut hemat saya tidak lepas
dari kondisi sosial kemasyarakatan kita dan lebih utama adalah sistem
pendidikan kita. Sebagai pendapat Alatas
(1983), menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
- Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
- Kolonialisme
- Kurangnya pendidikan
- Kemiskinan
- Tiadanya tindak hukum yang keras (tegas)
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
- Struktur pemerintahan
- Perubahan radikal
- Keadaan masyarakat
Setelah mencermati sepuluh factor penyebab
korupsi diatas, dua diantara sepeluh factor utamanya adalah (a.kelemahan pengajaran agama dan etika dan
kurangnya pendidikan). Hemat saya dua hal ini terkait dengan sistem
pendidikan pada satu negara. Lalu adakah keterkaitan antara sistem pendidikan
kita dan maraknya kasus korupsi di negeri ini..? dalam pandangan saya, kalau boleh berfikir sederhana, mereka
yang hari ini menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi adalah mereka
yang lahir dari sistem pendidikan negeri.
Dalam tulisannya, Syafri Mangku Prawira menyatakan
“faktor penyebab yang sangat utama
mewabahnya korupsi adalah perilaku manusianya. Sementara dua faktor ekonomi dan
hukum hanyalah sebagai unsur pendorong. Perilaku individu sangat terkait dengan
proses dan output pendidikan.
Sistem
pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat, dan pendidikan formal dalam
ruang kelas selama ini sangat kurang menciptakan individu manusia yang memiliki
kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial yang tinggi seperti jiwa beriman dan
takut pada adzab Tuhan yang pedih, bersih, jujur, berinisiatif, kerja keras dan
cerdas, kebersamaan, dan tanggungjawab
Lebih lanjut, menurut beliau selama ini institusi pendidikan begitu mendambakan
dan asyik berwacana dalam membentuk lulusan yang cerdas intelektual. Padahal
tidak sedikit korupsi dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Dengan
kata lain hubungan negatif antara factor-faktor pendidikan dengan perilaku
korupsi tidaklah selalu mutlak terjadi. Berati ada faktor keteladanan dari para
pemimpin atau pejabat yang sangat kurang”.
Memang, pendidikan kita belum mampu
mencegah terjadinya praktek-praktek kolutif. Saya tidak bisa memaparkan
sebabnya. Namun banyaknya pengangguran usia muda dari lulusan SMA/SMK secara
tidak langsung telah menjadi bukti gagalnya sistem pendidikan kita. Mengutip data
Badan Pusat Statistik (BPS) angak pengangguran usia 15-19 tahun pada 2010 ada
di level 23,23% angka ini meningkat pada tahun 2015 menjadi 31,12%. Pengangguran
muda banyak di sumbang oleh lulusan SMK 9,84%
yang seharusnya menjadi lulusan siap kerja, sedangkan lulusan SMA 6,95 %.
Lulusan SMP 6,74% dan lulusan SD 3,44%.
Walaupun kita sepakat, bahwa relevansi
(keterkaitan secara langsung) antara maraknya korupsi dengan sistem pendidikan
kita belum ada bukti secara ilmiah. Tapi kita yakin bahwa korupsi yang ada di
negera kita tidak lepas dari buruknya sistem pendidikan negeri ini. Sehingga yang
perlu dilakukan oleh negara saat ini adalah memperbaiki sistem pendidikan, dari
orientasi akademik semata ke orientasi pendidikan yang menekankan, nasionalisme
(nationalism), keberanian (mettle), kejujuran (akuntabilitas), kesederhanaan
(simplicity), kemajuan (advancement), akhlak mulia (character, morality), sikap
relijiusitas (religious), kewirausahaan (entruepreunership), dan penguasaan infromasi
dan teknolologi masa depan (information and technology).
-https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
-https://ronawajah.wordpress.com/2012/11/24/pendidikan-dan-perilaku-korupsi/
-https://uharsputra.wordpress.com/artikel-2/budaya-korupsi-dan-pendidikan/
-http://kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/3682-kpk-tahan-3-tersangka-ott-suap-ketua-dpd-ri
-koran_republika_edisi_rabu_14_september_2016_hal.6_opini_tajuk_pengangguran_usia_muda
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih