Pendekatan Sistem Jasser Auda Terhadap Hukum Islam





Menurut Jasser Auda, dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim, bahwa syariat pada dasarnya adalah prinsip yang berpijak  pada hikmah dan kemaslahatan umat manusia. Hikmah dan kemaslahan itu harus terwujud di tengah kehidupan mereka. Syariah merupakan keadilan, rahmat, hikmah dan kemaslahatan. Maka, setiap masalah atau hal yang keluar dari keadilan, tidakdapat menghadirkan kerahmatan dan tidak mampu mewujudkan kemaslahatan, bukanlah syariah meskipun didalamnya melibatkan pentakwilan.
Jasser Auda menjabarkan pengertian syariah Islam melalui spektrum perbedaan antara konsep syariah, fiqh dan fatwa. Pertama, syariah merupakan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Syariah inilah yang menjadi risalah dan tujuan wahyu yang harus direalisasikan di tengah kehidupan. Di sini,secara sederhana syariah berarti al-Qur’an dan sunnah nabi. Kedua,fiqh merupakan kumpulan pendapat atau gagasan mengenaihukum yang dihasilkan dari pikiran para ahli fiqh dengan berbagai metode istinbat dan dari berbagai aliran; yang mencakup berbagai aspek kehidupan sepanjang sejarah Islam. Ketiga, fatwa merupakan penerapan syariah dan fiqh di tengah realitas kehidupan umat Islam. Jasser Auda yakin bahwa pada tingkatan sebagai wahyu syariah Islam tidak ada masalah. Syariah Islam, menurutnya, mampu mewujudkan masyarakat yang adil dan produktif, berkembang dan humanis; mampu menciptakan masyarakat yang penuh cinta kasih, harmonis, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Jika kondisi dunia Islam sekarang ini terbalik, maka kesalahannya terletak pada pemikiran tentang syariah Islam. Bukan syariah Islam (al-Qur’an dan sunnah sebagai wahyu) itu sendiri yang telah sempurna. Syariah diturunkan karena ada tujuan yang dikehendaki oleh Sang Pembuat-nya (alsyari’). Untuk itu dibutuhkan pemikiran ulang untuk menangkap tujuan syariah (maqa>s}id al-syari>’ah).
Syeikh Yusuf Qard}awi menyatakan, bahwa pengertianmaqa>s}id mencakup dua pengertian. Yaitu, tujuan (al-hadaf atau algha>yah) dan niat. Pengertian tujuan lebih bersifat umum karena mencakup berbagai aspek, sementara niat lebihi bersifat individu karena terkait dengan setiap individu mukallaf atau individu Rasulullah saw.
Menurut Jasser Auda, maqa>s}id alsyari>’ ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai moral) itu dapat dijadikan sebagai jembatan antara syariah Islam dengan berbagai isu-isu dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama. Ia menjadi pintu dasar untuk melakukan ijtihad terhadap pembaharuan.17 Bahkan maqa>s}id al-syari>’ah merupakan bagian terdalam dari inti atau – malah – agama Islam itu sendiri.
Jasser Auda memberikan catatan kritis atas teori maqa>s}id yang dikembangkan pada abad klasik. Menurutnya, di sana terdapat empat kelemahan. Pertama, teori maqa>s}id klasik tidak memerinci cakupannya dalam bab-bab khusus sehingga tidak mampu menjawab secara detail pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan tertentu. Kedua, teori maqa>s}id klasik lebih mengarah pada kemaslahatan individu, bukan manusia atau masyarakat secara umum; perlindungan diri/nyawa individu, perlindungan akal individu, perlindungan harta individu dan seterusnya. Ketiga, klasifikasi maqa>s}id klasik tidak mencakup prinsip-prinsip utama yang lebih luas, misalnya keadilan, kebebasan berekspresi dan lain-lain. Keempat, penetapan maqa>s}iddalam teori maqa>s}id klasik bersumber pada warisan intelektual fiqh yang diciptakan oleh para ahli fiqh, dan bukan diambil dari teks-teks utama seperti al-Qur’an dan sunnah.
Bagi Jasser Auda, teori maqa>s}id klasik yang lebih bersifat hirarkis dan lebih terjebak pada kemaslahatan individu tersebut tidak akan mampu menajawab tantangan dan persoalan zaman kekinian. Bagaimanapun juga kemajuan demi kemajuan peradaban umat manusia terus dicapai dan berkembang. Seiring dengan itu, tantangan dan problematika pun selalu muncul ke tengah kehidupan umat manusia. Teks tidak akan pernah berubah, tetapi konteks situasi yang berada di luar dunia teks selalu mengiri umat manusia dari waktu ke waktu. Maka, konteks menjadi faktor yang menentukan dalam mengiringi tujuan syariah.
Kemaslahatan syariah bergantung pada kemajuan realitas yang terus berubah dan peristiwa yang senantiasa baru. Tetapi hal ini tidak berarti menjatuhkan diri dalam pendekatan historisisme.21 Maqa>s}id al-syari>’ah dapat dijadikan sebagai prinsip universal (al-us}u>l al-kulli) untuk menghindari pertentangan dalil (ta’a>rud} aladillah) antara makna lafal dengan makna konteks. Ia menjadi metode jalan tengah antara pertentangan dalil itu agar tidak terjebak pada teks atau terbuai dengan kepentingan konteks. Maqa>s}id al-syari>’ah hadir dalam rangka keluar dari ketegangan itu; tidak tenggelam dalam ungkapan lafal tetapi pada saat yang sama mampu mewujudkan maksud teks dalam situasi yang sahih sesuai dengan kehendak Sang Pembuat syariah.
Menurut Jasser Auda, agar syariah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemasahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan zamankekinian, maka cakupan dan dimenasi teori maqa>s}id seperti yang telah dikembangkan pada hukum Islam klasik harus diperluas. Yang semula terbatas pada kemaslahan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih umum; dari wilayah individu menjadi wilayah masyarakat atau umat manusia dengan segala tingkatannya.
Dari perlindungan keturunan (hifz al-nasl) menjadi perlindungan keluarga (hifz al-usrah); dari perlindungan akal (hifz al-aql) menjadi pewujudan berpikir ilmiah atau pewujudan semangat mencari ilmu pengetahuan; dari perlindungan jiwa (hifz al-nafs) menjadi perlindungan kehormatan manusia (hifz al-kara>mah al-insa>niyah) atau perlindungan hak-hak manusia (hifz h}uqu>q alinsan); dari perlindungan agama (hifz al-di>n) menjadi perlindungan kebebasan berkeyakinan (hurriyah al-I’tiqa>d); dari perlindungan harta kekayaan (hifz al-ma>l) menjadi pewujudan solidaritas sosial.
Di samping melakukan perluasan dimensi maqa>s}id, teori maqa>s}id klasik perlu direkonstruksi agar dapat keluar dari keterbatasannya. Di sini, Jasser Auda mengajukan konsep baru terhadap teori maqa>s}id. Menurutnya, maqa>s}id al-syari>’ah dapat dibagi kedalam tiga level. Yaitu, maqa>s}id umum, maqa>s}id khusus dan maqa>s}id parsial. Yang dimaksud dengan maqa>s}id umum adalah tujuan-tujuan syariah yang keberadaannya dapat ditemukan dalam setiap pembahasan syariah, seperti perlindungan agama (hifz al-di>n), perlindungan jiwa (hifz} al-nafs), perlindungan akal (hifzal-aql), perlindungan keturunan (hifz} al-nasl) dan perlindungan harta benda (hifz} al-ma>l). Maqa>s}id khusus berarti tujuan-tujuan yang wujudnya dapat ditemukan dalam bab-bab atau cabang-cabang tertentu tentang pembahasan syariah, seperti perlindungan terhadap kemaslahatan anak dalam hukum keluarga, larangan untuk menimbun dalam kaitannya dengan hukum transaksi harta, dan larangan untuk melakukan tindak criminal dalam legislasi hukum terkait dengan uqu>bah.
Sementara maqa>s}idparsial terkait dengan “alasan” (al-illah) atau tujuan (al-ga>yah) dari teks atau hukum tertentu, seperti tujuan mengungkap kebenaran ketika sebuah teks mengharuskan untuk menghadirkan sejumlah saksi mata dalam masalah-masalah tertentu; tujuan dalam hal memperingan kesulitan ketika sebuah teks membolehkan berbuka bagi orang yang sakit; larangan menimbun daging hewan kurban;

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia