EPISTEMOLOGI SINTESISME RASIONALISME-EMPIRISME IMMANUEL KANT DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU-ILMU & PEMIKIRAN ISLAM



EPISTEMOLOGI SINTESISME RASIONALISME-EMPIRISME IMMANUEL KANT DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU-ILMU & PEMIKIRAN ISLAM


Oleh :
AHMAD RIZAL KHADAPI
NIM : 16913068

Dosen Pengampu
Dr. Alim Roswantoro, M.Ag

MAKALAH
Diajukan kepada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah
Filsafat Ilmu

YOGYAKARTA
2017




BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Boleh dikatakan filsafat modern mulai berkembang sejak abad ke-16.  Pada abad inilah kajian filsafat di dominasi oleh pergumulan hebat antara rasionalisme dan empirisme. Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemology, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indra dinomorduakan. Hal ini timbul sejak masa renaissance yang dipelopori oleh Descartes yang di kembangkan berdasarkan filsafat Plato. [1] Sedangkan filsafat empirisme bersumber dari filsafat Aristoteles, yang menyatakan bahwa realitas adalah pada “benda-benda konkret” yang diindra, bukan pad aide saja sebagaman pendapat Plato. [2]
  Aliran  rasionalisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu dihasilkan oleh akal manusia melalui kontemplasi dan perenungan. Artinya pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk menangkal ide atau ilmu, ide itu sudah ada di sana sebagai bagian dari kenyataan dasar pikiran manusia. Kelompok ini dipandegani oleh Parmenides, Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibniz.[3]
Aliran empirisme berpendapat bahwa  ilmu pengetahuan di dapat berdasarkan pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera manusia. Jhon Locke, tokoh empirisme inggris berpendapat bahwa pikiran manusia ketika lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin yang licin dimana data yang ditangkapn pancaindera lalu tergambar di situ. Ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan itu digali dari pancaindera manusia, bukan akal. Aliran ini dipandegani oleh Aristoteles, Francis Bacon, Jhon Locke, Barkeley, dan Hume.[4]
Karena pergumalan antara rasionalisme dan empirisme tersebut, seorang  pakar besar filsafat bernama Immanuel Kant (1724-1804) dengan karyanya yang masyhur, “kritik der reinen vernunf”t berhasil memugar objektivitas ilmu pengetahuan modern.[5]
Dengan apa yang telah dilakukan oleh Immanuel Kant, maka ilmu pengetahuanpun berkembang dari masa-kemasa. Akan tetapi lama-lama kelamaan ilmu pengetahuan menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu eksakta, lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya.[6]
Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah-daerah jelajah yang bersifat transcendental (diluar pengertian dan pengalaman manusia biasa) yang berada di luar pengalaman manusia.[7]
Karena pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat-perangkat kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipisahkan dari filsafat pengetahuan. Sehingga menurut Koentowibisono objek bagi kedua cabang ilmu itu sering tumpang tindih.[8] Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang cirri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahyan tersebut.[9]
            Immanuel Kant adalah tokoh yang berusaha menggabungkan antara empirisme dan rasionalisme.  Karyanya mengenai teori pengetahuan dihasilkan pada waktu ada ketetegangan antara pendekatan continental, yang menekankan pemikiran rasional, dan aliran inggris yang menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan.[10]
B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas, beberapa rumusan masalah yang terkait dengan latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah bentuk teori pengetahuan dalam epistemology kritisme Immanuel Kant ?
2.      Apakah implikasinya bagi pemikiran keislaman ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan yang kami ingin capai adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bentuk teori pengetahuan dalam epistemology kritisme Immanuel Kant.
2.      Untuk mengetehui implikasi teori Kant bagipemikiran keislaman.
D.    Manfaat
Adapun manfaat yang ingin di apatkan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai sarana akademis dalam uapaya mengungkap pemikiran filsafat Immanuel Kant.
2.      Secara umum sebagai sarana kontribusi bagi perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan.
3.      Sebagai bahan kajian bagi penelitian tentang pemikiran Immanuel Kant lebih lanjut.
E.     Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian normative dengan pendekatan yang digunakan yaitu statute approach, conceptual approach.  Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen.
 
BAB II
ISI
A.       Seputar Immanuel Kant
a.      Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir di Konisgberg Prusia (Jerman) tahun 1724. Kant terlahir dari keluarga yang sangat taat menjalankan agama, termasuk dirinya sangat taat beragama. Pada tahun 1755 Kant memulai karirnya sebagai dosen swasta di Universitas Konisgberg.
 Tahun 1770 ia diangkat sebagai guru besar bidang ilmu logika dan metafisika. Sebelum ia tertarik pada ilmu metafisika. Kant lebih dulu mendalami ilmu-ilmu lain seperti, planet, bumi, dan etnologi. Salah satu bukunya tentang antropologi, memperkirakan asal-usul manusia dari hewan.[11] Beberapa karya yang telah ia selesaikan selama lima belas tahun karirnya adalah sebagai berikut ;[12]
1.      The Critique Of Pure Reason ( Pembahasan mengenai akal murni)
2.      The Critique Of Practical Reason (Pembahasan mengenai akal praktis)
3.      The Critique Of Judgmente
Bukunya yang pertama (The Critique Of Pure Reason) dimaksudkan untuk membela sains dari  gangguan akal. Sedangkan pada buku yang kedua dimaksudkan untuk membela agama dari gangguan akal.[13]


b.      Filsafat Immanuel Kant
Filsafat Kant dirumuskan dalam dua pandangan besar waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716) dan empirisme David Hume (1711-1776). Kant dipengaruhi oleh dua pemikiran tersebut. tetapi mengkritik mengkritik kedua pemikiran diatas untuk menunjukkan kelemahan mereka serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis atas keduanya, yakni filsafat transcendental (transcendental philosophy).[14]
Dalam arti yang lebih luas, ia mau “melampui” posisi epistemologis dua paradigma yang saling berposisi tersebut. ini adalah sintesa utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.[15] 
Immanuel Kant dihadapkan pada faham empirisme yang menafikkan hal-hal yang berbau kejiwaan (karena menganggap kebenaran itu berada dalam realita bukan dalam konsep). Tokoh dari golongan empirisme adalah Jhon Locke yang menekankan pengalaman sebagai yang akan memngisi kekosongan pengetahuan, dengan teori “tabula rasanya (blank tablet).”[16]
Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris. Yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarnnya melalui pengamalan indera manusia. Seperti pertanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es membeku ? jawab kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara indrawi/ panca indera), maka pengetahuan diperoleh dari perantaraan indera.[17]
Menurut Jhon Locke, waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan didalam buku itulah dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal merupakan sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil penginderaan tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat dari suatu obyek yang merangsang alat inderawi, kemudian menumbuhkan rangsangan syaraf yang diteruskan keotak.[18]
Menurut David Hume bahwa segala pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Walaupun mungkin ada suatu dunia di luar kesadaran manusia, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Ia menolak skeptisme, skeptisme menurut beberapa filsuf adalah pandangan bahwa akal tidak mampu sampai pada kesimpulan, atau kalau tidak, akal tidak mampu melampaui hasil hasil yang paling sederhana.[19]
Empirisme kemudian, dalam filsafat ilmu, menekankan aspek-aspek pengetahuan ilmiah yang terkait erat dengan bukti, terutama seprti yang ditemukan dalam percobaan. Ini adalah bagian mendasar dari metode ilmiah bahwa semua hipotesis dan teori harus diuji terhadap pengamatan dari alam.[20]
Faham kedua yaitu faham idealisme Hegel. Epistemology yang digunakan adalah idea. Yaitu faham yang mengajarkan materi bergantung pada spirit (jiwa). Sehingga jika materi terlepas dari spirit (jiwa) tak bisa difahami sebagai kebenaran. Bagi Hegel semua yang riil bersifat rasional, dan semua yang rasional bersifat riil. Ia mengatakan bahwa apa yang benar adalah perubahan.[21]  
Rasionalisme memandang bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, meliankan pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk memperoleh suastu pengetahuan. [22]
Dalam penggunaannya dalam arti sempit ini rasionalisme menonjolkan akal ketimbang pengalaman dan percobaan. Demikian juga rasionalsime merupakan pikiran jernih dan pengalaman lebih daripada perasaan dan nafsu. Sebagai tingkah laku dan praktis maka rasionalisme bersedia mendengarkan penalaran kritis dan senantiasa belajar dari pengalaman.[23]
Rene Descartes, menyatakan kebenaran suatu pengetahuan melali metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai: (1) sejenis perantara khusus, yang dengan perantra itu dapat dikenal kebenaran, (2) suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran. Fungsi pengalaman indrawi bagi penganut rasionalisme  sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya memperoleh kebenaran.[24]
Terhadap kedua pemikiran diatas, Kant memposisikan dirinya sebagai idealisme empiris, walaupun ia seoarang idealisme transcendental. [25] Kant melukiskan idealisme transendental sebagai keyakinan bahwa kita mempunyai pengetahuan hanya mengenai “penampilan” dan bukan mengenai benda sebagaimana adanya. Penampilan dalatih diketahui melalui pengalaman, tetapi bendanya sendiri tidak dapat diketahui sama sekali, sebab tidak ada sesuatu pun yang dapat diketahui pikiran tanpa kita mengalaminya.[26] Kristisme Kant ini menurut M. Roy Purwanto sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme.[27]
Secara ringkas teori Kant dapat dijelaskan; (1) objek empiris adalah nyata; (2) kita tidak dpat mengankap objek transcendental karena objek itu tidak termasuk dunia yang beruang, berwaktu, dan berkualitas; (3) objek-objek empiris adalah objek manapun yang ditemukan atau dinyatakan sebagai pengalaman. Lebih jauh menurut Kant, ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia.[28]
Menurut Elan Sumarna, terhadap buku kritik pertamanya Kant berhasil menyelematkan sains dan agama. Bagi Kant sains mulanya absolute jika didasarkan pada a priori. Kemudian ia membatasi keabsolutan sains dengan mengatakan sains itu naïf. Sebab sains hanya mengetahui penampakan objek saja yang akhirnya menjadi antinomy. Yaitu menjadi suatu yang dapat di pegang.  Dengan demikian sains dapat diselamatkan. [29]
  Kritik yang dimaksud oleh Kant tidak sama dengan kritik (critism) pada umumnya. Tetapi kritik yang dimaksud adalah pembahasan kritis, dimana ia sangat menentang terhadap penggunaan akal murni. Yang dimaksud akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant akal murni dapat di peroleh dari sturuktur jiwa yang inheren. Dimana pengetahuan itu masuk melalui watak dan sturuktur jiwa yang ada pada kita. [30]
Adapun bagian kedua mengenai penyelamatan agama, baginya sains dan akal tak bisa menembus noumene, yaitu suatu tempat yang memiliki objek-objek keyakinan.[31] Dalam buku kritiknya yang kedua, kant lebih banyak berfilsafat. Iya menyatakan bahwa filsafat lebih canggih daripada sains. Karena filsafat bisa sampai pada tingkat konsepsi, sedangkan sains tidak. Sains hanya berkutat pada perkara-perkara yang tampak saja. [32]
Oleh karenanya, bagi Kant kedua-duanya menjadi relative, yaitu ketika yang  satu (realita) diukur oleh yang kedua (filsafat), dan yang kedua tak dapat mengukur yang ketiga. Menurutnya sains dan filsafat tidak dapat mengukur yang ketiga, yaitu moral. Moral dalam pandangan Kant adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu prinsip yang a priori dan absolute.[33]
Dalam ruang lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat etika aliran deontology, yaitu suatu aliran filsafat yang menilai perbuatan orang dan memandang bahwa kewajiban moral dapat diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Aliran lainnya adalah aliran teologi yaitu suatu faham dimana perbuatan orang dinilai dari tujuan yang hendak dicapainya. [34]
Karena faham deontology yang dianutnya maka Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dapat diketahui dengan kata hati, bagi Kant melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan yang baik. Ia mengambil contoh perbudakan merupakan perbuatan yang buruk, karena memakai manusia sebagai alat. Memperkerjakan pembantu rumah tangga dengan kasar merupakan perbuatan buruk pula, karena menjadikan manusia sebagai hewan.[35]
Kaitannya dengan pengetahuan, Kant mencanangkan filsafat kritis. Dalam hal ini dibahas secara mendalam suatu analisis tentang epitsemologi, suatu studi menyangkut dasar yang menjadi tempat berdirinya ilmu pengetahua. Menurut Kant, kita menetapkan putusan-putusan tertentu yang tidak tergantung pada semua pengetahuan. Putusan – putusan ini digolongkannya sebagai a priori sintetis. Yang dimaksud dengan sintetis berarti tidak analitis, dan pengetahuan yang terdapat di dalamnyapun tidak  disiratkan dalam konsep yang orisinil.[36]
Umpamanya, batu itu keras adalah sebuah pernyataan analitis karena konsep keras itu inheren dalam konsep batu. Sedangkan pernyataan batu itu bercahaya merupakan putusan sintetis. [37]
B.     Epistemologi Keislaman
a.      Makna Epistemologi
Epistemology berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme biasa diartikan penegetahyan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori.[38] Ada beberapa ahli yang memberikan pemaknaan terhadap epistemology;[39]
1.      Menurut Musa Asy’arie, epistemology adalah cabang filsafat yang memicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
2.      P. Handono Hadi menyatakan, bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kondrat dan scope (bidang) pengetahuan, pengadaian-pengandaian dan dasaranya, serta pertanggungjawaban atas penyataan megenai pengetahuan yang dimiliki.
3.      Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemology sebagai cabang filsafat yang berusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Epistemology mencakup pertanyaan yang harus di jawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[40]
b.      Konsep Epistemologi Ilmu dalam Islam
1.      Epistemologi Bayani
Secara bahasa bayani berarti penjelasan, ketetapan, pernyataan. Secara istilah, dimaknai sebagai pola pikir bersumber pada nash, ijma, dan ijtihad. Sistem epistemology indikasi serta ekspikasi (ulum al-bayan) merupakan sistem epistemology yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. [41]
Menurut Abed Aljabiri dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal (rasio) menampati posisi skunder dalam arti perangkat membedah kebenaran mempunyai kedudukan otoritas yang lebih rendah dari pada teks. Tugas akal dalam kinteks ini adalah menjelaskan teks-teks yang ada . sementara untuk mengaplikasikan interpretasi teks tersebut berada di luar program epistemology ini.[42]

2.      Epistemologi Burhani
Epistemology burhani menekankan pada pengalaman dan akal, atau melepaskan diri dari kungkungan teks. Sumber epistemology ini sendiri adalah realitas dan empiris, alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari percobaan, penelitian, eksperimen, baik di laboratorium ataupun alam nyata, baik yang bersfiat sosial maupun alam.[43]
Ibnu Khaldun menyebut epistemology dengan al-ulum al aqliyyah ( knowledge by intellect). Tokoh pendiri epistemology ini adalah Aristoteles. Karena epistemology ini lebih berpihak pada tradisi berfikir Yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal untuk menemukan kebenaran pengetahuan.[44]  Berdasarkan epistemology burhani, muncullah metode deduksi (istintaj, qiyas jami) induksi (istiqra) konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip-prinsip kausalitas dan historisitas, dan konsep tujuan syariah (maqashid al-syariah).[45]
3.      Epistemologi Irfani
Irfani dari kata dasar bahasa Arab ‘arfah semakna dengan ma’rifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu, irfani atau ma’rifat berkaitan dengan pengetahuan yang menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (‘aql). [46]
Karena itu secara terminologis irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penynaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. [47]
Pengetahuan irfani didasarkan atas wahyu atau ilham yang telah diberikan Tuhan kepada manusia suci. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan rohani, dimana dengan kesucian, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.  Nalar ini banyak dipengaruhi oleh hermenetik dan Persia sebagai penganut gnotitisme.[48]
Oleh karenanya pengetahuan irfani menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan olah ruhani, dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian di kemukakan kepada orang lain (publikasi) secara logis. Setidaknya ada tiga tahapan untuk memperoleh pengetahuan ini, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkpan, dengan lisan atau tulisan.[49]
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Epistemology Kant secara ringkas dapat dijelaskan; (1) objek empiris adalah nyata; (2) kita tidak dapat menangkap objek transcendental karena objek itu tidak termasuk dunia yang beruang, berwaktu, dan berkualitas; (3) objek-objek empiris adalah objek manapun yang ditemukan atau dinyatak sebagai pengalaman. Lebih jauh menurut Kant ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia.
Kaitannya dengan pengetahuan, Kant mencanangkan filsafat kritis. Dalam hal ini dibahas secara mendalam suatu analisis tentang epitsemologi, suatu studi menyangkut dasar yang menjadi tempat berdirinya ilmu pengetahuan. Menurut Kant, kita menetapkan putusan-putusan tertentu yang tidak tergantung pada semua pengetahuan. Putusan – putusan ini digolongkannya sebagai a priori sintetis. Yang dimaksud dengan sintetis berarti tidak analitis, dan pengetahuan yang terdapat di dalamnyapun tidak  disiratkan dalam konsep yang orisinil.
Secara tidak langsung epistemology kritisme Kant memliki relevansi dengan epistemology irfani dalam khazanah keilmuan Islam. Bedanya adalah epistemology kritisme kant bersifat analitis sintitetis, sedangkan epistemology menekankan pada ma’rifat dari Tuhan.
Epistemology Kant juga memperkuat posisi sesuatu yang gaib (metafisika), dimana dalam agama sesuatu yang bersifat metafisika adalah satu hal yang menjadi landasan keislaman, sehingga dengan demikian secara tidak langsung filsafat Kant telah mengukuhkan agama berada dalam posisi yang lebih tinggi dari faham rasionalitas dan empirisme.

B.     Saran
Dari penyusunan tulisan ini, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut :
1.   Epistemology kritisme Kant dapat dijadikan sebagai suatu metode yang tepat dalam   pengembangan khazanah keilmuan Islam.
2.  Perlunya sikap teliti dalam menggunakan epistemology kritisme Kant dalam pengembangan khazanah hukum Islam, dimana setiap ilmuan hukum Islam harus tetap berpegang pada dua sumber hukum Islam yang utama, Qur’an dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Beerling  D.F., 1988, Filsafat Dewasa ini, terj. Hasan Amin, Jakarta; balai Pustaka.
Berten, K., 1984, Ringkasan Sejarah Filsafat Yogyakarta ; Kanisius.  
Ensiklopedi Britanica.
Hamlyn, D W.,1990 “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (ed), The Enclopeia of
Philosophy, New York-London; Macmillian Publishing Co., Inc & The Free Press.
Imanuddin., 2013, Studi Islam Persepektif Insider/outsider, Yogyakarta: Diva Press.
Keraf, Sony & Mikhael Dua., 2001, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,  Yogyakarta; Kanisius.
Purwanto,  Muhammad Roy., 2014, Dekontruksi Terori Hukum Islam, Yogyakarta; Kaukaba.
Koentowibisono., 1985 Ilmu Filsafat dan Aktualisasinya Dalam Pembangunan, Yogyakarta:UGM.
Nasution, Khoirudin., 2001,  Falsifikasi dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Keislaman, Yogyakarta; Jurnal Penelitian Agama IAIN Sunan Kalijaga Vol X No.3
Ninggolan,  Z.S., 1997, Pandangan Cendikiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat, dan Moral Islam, Jakarta; Kalam Mulia.
Sumarna, Elan., 2007, Filsafat Etika Immanuel Kant, Artikel.
Suseno, Frans Magnis., 1991, Berfilsafat dari konteks ,Jakarta: Gramedia
Putra, Anom S.1999, Revolusi Nalar Islam; Menggunakan Teks, Mencari Subyek (Gerbang, Edisi 02, Th II.
Tafsir,Ahmad., 1999, Filsafat Umum, Akal dan Hati semenjak Thales sampai James, PT Remaja Rosada Karya.
Watimena,  Reza A.A., 2010, Filsafat Kritis Immanuel Kant “mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Immanuel Kant atas metafisika”, Jakarta; PT Evolitera.



[1] Imanuddin, Studi Islam Persepektif Inside/Outside,( Yogyakarta; Divapress, 2013), Cet. II, hlm 51
[2] K. Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta ; Kanisius, 1984), hlm. 153  
[3]Muhammad Roy Purwanto, Dekontruksi Terori Hukum Islam, (Yogyakarta; Kaukaba,  2014),hlm. 45
[4] Ibid, hlm. 42
[5] Koentowibisono, Ilmu Filsafat dan aktualisasinya dalam pembangunan (Yogyakarta:UGM, 1985), hlm.7-8
[6]Frans Magnis Suseno, Berfilsafat dari konteks (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm.18
[7] Imanuddin, Studi Islam., hlm. 49
[8] Koentowibisono, Ilmu Filsafat…, hlm. 7
[9] D.F Beerling, Filsafat Dewasa ini, terj. Hasan Amin (Jakarta; balai Pustaka, 1988) hlm.4
[10] Sony Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,  (Yogyakarta; Kanisius, 2001), hlm, 43-46
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati semenjak Thales sampai James, (PT Remaja Rosada Karya, 1999) Cet.7 hlm. 152
[12] Ensiklopedi Britanica, hlm.2726
[13] Elan Sumarna, Filsafat Etika Immanuel Kant, Artikel. Hlm 4
[14] Reza A.A. Watimena, Filsafat Kritis Immanuel Kant “mempertimbangkan kritik Karl Ameriks terhadap kritik Immanuel Kant atas metafisika”, (Jakarta; PT Evolitera, 2010) hlm. 8
[15]Ibid
[16] Ibid,
[17] Muhammad Roy Purwanto,  Dekonstruksi.., hlm 43
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm.44-45
[20] Ibid,hlm.45
[21]  Ahmad Tafsir, Filsafat ..,hlm. 135
[22] Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam.., hlm 45
[23]  Khoirudin Nasution, Falsifikasi dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Keislaman, (Yogyakarta; Jurnal Penelitian Agama IAIN Sunan Kalijaga Vol X No.3 ,2001), hlm. 166
[24] Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam.., hlm 45
[25] Ahmad Tafsir, Filsafat ..,hlm., hlm.128
[26] Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam.., hlm 48
[27] Ibid
[28] Ibid, hlm 49
[29]  Elana Sumarna, Filsafat.., hlm. 4
[30] Muhammad Roy Purwanto, Dekonsruksi..,hlm 45
[31] Ibid,
[32] Ahmad Tafsir, Filsafat ..,hlm. 158
[33] Elan Sumarna, Filsafat Etika Immanuel Kant…, hlm 5
[34] Z.S. Ninggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim tentang Moral Pancasila, Moral Barat, dan Moral Islam, (Jakarta; Kalam Mulia, 1997), hlm. 68
[35] Ibid,
[36]Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori….,hlm. 49
[37] Paul Stathern, 90 Menit Bersama Kant, (Jakarta; Erlangga, 2001) hlm 56
[38]  Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori….,hlm. 40
[39]  Ibid, hlm 41
[40] D W Hamlyn, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards (ed), The Enclopeia of Philosophy, (New York-London; Macmillian Publishing Co., Inc & The Free Press, 1990), hlm.9
[41] Imanuddin, Studi Islam…,hlm. 59
[42]Ibid, hlm 59-60
[43] Ibid,.
[44] Anom S Putra, Revolusi Nalar Islam; Menggunakan Teks, Mencari Subyek (Gerbang, Edisi 02, Th II. 199) hlm. 26
[45] Muhammad Roya Purwanto, Dekonstruksi Teori…, hlm. 57
[46] Ibid,. 53
[47] Ibid,.
[48]Ibid,. hlm. 54
[49]Ibid., hlm. 55

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia