TEORI MAQASHID IMAM IBNU ASYUR*

oleh
Ahmad Rizal Khadapi (MSI UII)
A.    Latar Belakang
Salah satu problematika dalam aplikasi hukum yang tetap hangat diperdabatkan, baik yang klasik maupun yang kontemporer, adalah tentang tujuan hukum itu sendiri. Ada yang beranggapan bahwa ketika hukum itu di buat, sudah tentu memiliki tujuan sehingga masa selanjutnya aplikasi hukum merupakan urusan sebab dan akibat tanpa perlu lagi melihat konteks tujuan awal hukum.
Persoalan maqashid syariah ini telah menjadi sejarah dalam  pranata kajian hukum Islam. Jika kita melihat sejarah maka kita bisa menyepakati beberapa ulama yang telah berperan besar dalam proses menjadikan maqashid syariah terus berkembang dalam ranah kajian hukum Islam.
Tercatat imam at-Turmuzi al-Hakim (abad 3 H) adalah orang yang pertama kali menggunakan kata kata maqashid dalam kitabnya al-sholeh wa maqashiduha yang menguraikan tentang tujuan dan hikmah dari ibada sholat.[1] Setelah beliau kemudian mucul nama Abu Mansyur al-Maturidy (333 H) dengan karyanya  Ma’khad al-Syara  disusul Ab Bakar al-Qaffal al-Saysi (375 H) dan al-Baqilany (403 H).[2]
Pasca al-Baqilany, muncullah nama Imam Harmain al-Juwaeny (478 H) dengan al-Burhan, al-Waraqat, al-Ghiyatsi, Maghitsul Khalq, al-Gazali (505 H) dengan karyanya dibidang fikh dan uhsul fikh seperti; al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Wajiz, Ihya Ulumuddiin dan Syifa al-Ghalil. [3]
Lalu ada nama al-Razy (606 H) dengan mafatih al-Ghalib, al-Ayat al-Bayyinat, al-Mahsul dan Asas at-Taqdis. Lalu ada nama Saifuddin al-Amidy (631 H) dengan bukunya al-Ahkam, dan Ghayatul Maram. Ibnu Hajib (646 H) dengan Nafai al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatwa ‘an al-Ahkam wa Tasharruf al-Qodhi wl Imam.
Setelah itu muncullah al-Baidawi (685 H0, Izzudin Abdussalam (660 H) al-Asnawi (776 H), ibnu Subuki (771 H), at-Thufi (716 H), ibn Taimiyyah (768 H), dan ibn Qoyyim (751 H).[4]
Setelah itu muncullah imam al-Syatibi (790 H), dengan ide briliannya untuk mengkodifikasi konsep-konsep para serjana klasik yang berserakan menjadi satu disiplin ilmu tersendiri.  Setelah beliau ternyata estafet diskursus tentang maqashid syariah tidak ditemukan lagi.
Pada awal Abad 20 muncullah imam Ibn Asyur, dengan konsep reformasi maqashid, yang menawarkan pendekatan baru terhadap study maqashid syaraiah dengan mengacu kondisi zaman yang sesuai realitas kekinian dan konteks modern. Upaya reformasi beliau tertuang dalam bukunya yang terbit pada tahun 1946 H dengan judul Maqashid al-Syariah al-Islamiyah.[5]
Berkaitan dengan latar belakang diatas, study dalam makalah ini adalah tentang pemikiran maqashid syariah Imam Ibn Asyur. Yaitu bagaimanakah  konsep maqashid syariah Imam Ibn Asyur?

B.     Biografi Singkat Ibnu Asyur
Pada abad ke-20 muncullah seorang pakar maqashid syariah dari Tunisia yang bernama Muhammad Tahir Ibnu Asyur (1879-1973 M) yang dianggap sebagai bapak maqashid syariah kontemporer setelah al-Syathibi. Asyur berhasil menggolkan maqashid syariah sebagai konsep baru  yang telepas dari kajian ushul fiqh, yang sebelumnya merupakan bagian dari ushul fiqh.[6]
Nama lengkapnya Muhammad al-Tahir ibn Muhmmad ibn Muhammad al-Thair ibn Muhammad ibn Muhammmad Al-Syadhill ibn al-Alim Abd al-Qodir Muhammad ibn Asyur. Ia  dilhairkan di pantai La Marsa, sekitar dua puluh kilometer dari kota Tunisia pada tahun 1926 H, bertepatan dengan 1879 M.[7] ia lahir dan meninggal di Tunisia pada hari ahad, 3 Rajab 1393 H, bertepatan degan 12 Juni 1973 M.[8]
Ibn Asyur memiliki keunggulan dalam pemikiran orientasi al-maqashid dalam tafsirnya al-tahrir wa tanwir dimana beliau mengungkap maqashid qur’ani dan menjelaskannya bahwa al-Qur’an adalah pedoman yang pertama dalam melakukan perbaikan atau reformasi system.[9]
Ayahnya, Muhammad ibn Muhammad al-Tahir ibn Asyur, seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu. Sedangkan ibunya, bernama Fatimah merupakan anak al-wazir Muhammad al-Aziz al Bu’thur. ayahnya menikah dengan Fatimah yang kemudian melahirkan tiga putra dan dua putri.
Dalam bidang maqahid syariah beliau di juluki sebagai guru kedua, setelah julukan pertama di sandangkan kepada al Syatibi. Ibnu Asyur menghasilkan banyak karya dalam bidang keilmuan seperti fikih, ushul fiqh, sastra Arab.  Beberapa karyanya adalah sebagai berikut:[10]
1.      Bidang Ilmu Keislaman
a.       Tafsir, al-tahir wa al tanwir
b.      Maqashid al-Syariat al –Islamiyyah
c.       Ushul al-Nizam al-Ijtima’I fi al-Islam
d.      A Laysa al-Subh bi Qorib
e.       Al-Waqf wa Atharuhu fi al-Islam
f.       Kasyf al-Mu’thi min al-Ma’ani wa al-Alfaz al-Waqiah fi al Muwatta’
g.      Qissat al-Muwallad
h.      Hawasyi ‘ala al-Tanqih li Syihab al-Din alQarafi fi Ushul al-Fiqh
i.        Radd ‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, Ta’lif ‘Ali ‘Abd al-Raziq
j.        Fatawa Rasaiil Fiqhiyyah
k.      Al-Tawdhih wa al-Tashih fi ushul al-fiqh
l.        Al-Nazr al-Fasih ind Madhayiq al-Anzar fi al-Jami’ al-Sahih
2.      Bidang Bahasa (lughah) dan Sastra Arab
a.       Ushul al-Insya’ wa al-Khitabah
b.      Mujaz al-Balaghah
c.       Syarh Qosidah al-A’sya fi Madh al-Muhallaq
d.      Syarh Diwan Basyar
e.       Al-Wadih fi Musykilat al-Mutanabbi li ibn janni
f.       Saraqat al-Mutanabbi
g.      Syarh al Muqaddimah al-Adabiyyah li al-Marzqi ‘ala Diwan al-Hamasah
h.      Tahqiq Fawaid al-Aqyan li al-Fath ibn Khaqan ma’a Syarh ibn Zakur
i.        Diwan al-Nabighah al-Zabiyani (jam, Syarh wa Ta’liq)
j.        Tahqiq Muqaddimah fi al-Nahw li Khalf al-Ahmar.
k.      Tarajum li Ba’d al-A’lam
l.        Tahqiq Kitab al-Iqtidab li al-Batlayusi ma’a Syarh Kitab Adab al-Katib
m.    Jam’ wa Syarh Diwan Sahim
n.      Syarh Mu’allaqah  Imra’ill Qays
o.      Tahqiq li Syarh al-Qurasyi ‘ala Diwan al-Mutanabbi
p.      Ghara’ib al-Isti’mai
q.      Tashih wa Ta’liq ‘ala Kitab al-Intisar li Jalinus li Hakim Ibn Zahr
r.        Syarh Diwan ibn al-Hashaas

            Sejak kecil ibn Asyur  telah menghafal al-Qur’an, mempelajari bahasa Persia, dan memepeljari ilmu ilmu dalam bidang bahasa (nahwu), serta kitab-kita mazhab imam Malik. Sejak usia 14 tahun ia sudah menimba ilmu di Universitas Zaitunah. Universitas ini merupakan isntitusi pendidikan tertua di wilayah barat (Maghribi) telah ada sejak abad 8 M.[11]
Pada tahun 1899 M, Ibn Asyur dipercaya untuk mengajar di Universitas Zaitunah. Karirnya dengan cepat menanjak hingga pada tahun 1905 beliau sudah berada di jajaran pengajar tingkat satu. Demikianlah biografi singkat dari Ibn Asyur.

C.    Kajian Maqashid Syariah Ibn Asyur
1.      Pengertia Maqashid Syariah
Ibn Asyur boleh dikatakan sebagai orang pertama yang  membuat buku dengan menggunakan istilah al-maqashid sekaligur merefresentasikan seluruh isi pembahasannya. Ibn Asyur pula yang menyerukan untuk menjadikan al-maqashid sebagai ilmu yang mandiri terpisah dari ushul fiqh. [12]  
Secara bahasa maqashid syariah terdiri dari dua kata, yakni “maqashid” dan syariah. Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari kata maqshid yang berbentuk masdar mimi (yakni kalimat masdar yang dimulai dengan penambahan mim pada awlanya). [13]  kata maqshid sendiri memiliki beberapa makna:[14]
a)      Pegangan, mendatangkan sesuatu
b)      Jalan yang lurus
c)      Keadilan, keseimbangan
d)     Pecahan
Dalam konteks hukum Islam kelasik, terminology maqashid sering disebut dengan istilah mashalih oleh ulama-ulama kelasik.[15] Maqashid memiliki pengertian tujuan, maksud, objektif, prinsip, sasaran, tujuan akhir, dan niat. [16]
Sedangkan kata syariah berarti jalan menuju sumber air atau sumber pokok kehidupan.[17] Syariah adalah hukum-hukum Allah yang diperuntukkan kepada manusia yang memuat kebijaksanaan dan kesejahtraan dalam kehidupan dunia dan akhirat.[18] Kata syariah yang sejatinya berarti hukum-hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah ataupun ditetapkan Nabi saw sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan oleh Allah.[19]
Menurut Amir Syarifuddin maqashid syariah berarti  apa yang dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju dalam menetapkan hukum atau apa yang dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.[20] Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, maqashid syariah adalah nilai-nilai dan tujuan syara’ yang tersirat dalam segenap atau sebagian besar dari hukum-hukumNya. 
Nilai-nilai itu di pandang sebagai tujuan dan rahasia syariat yang ditetapkan oleh syar’i (pembuat syariat) dalam setiap ketentuan hukum.[21] Ibn Asyur sendiri mengartikan maqashid syariah sebagai hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya syariat secara umum dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu.[22]
2.      Pandangan Maqashid Syariah Ibn Asyur
Menurut Ibn Asyur legalitas maqashid disebutkan dalam al-Qur’an, bahwa Allah swt, sebagai (pembuat hukum) mustahil menurunkan syariat kepada manusia tanpa di iringi dengan tujuan dan hikmah-hikmah.[23] Lanjut beliau ada tiga cara untuk memahami maqashid syariah, pertama melalui metode induktif, kedua dengan menggunakan dali-dalil al-Qur’an secara jelas dan kecil kemungkinan untuk dipalingkan dari makna nazirnya. Ketiga dapat ditemukan langsung dari dalil-dalil sunnah yang mutawatir.[24] Secara lengkap berikut penjelasan ketiga cara untuk memahami maqashid syariah:[25]
a) Melalui metode Induktif (istiqra’) yakni mengkaji syariat dari semua aspek berdasarkan ayat pertikular (fakta-fakta, yang utama, yang khusus). Cara ini dibagi dalam dua kualifikasi. Pertama meneliti semua hukum yang diketahui kausanya (al-Illah), contoh larangan meminang perempuan yang sedang dalam pinangan orang lain, demikian pula larangan menawar sesuatu barang dagangan yang sedang di tawar oang lain. Dari Illah ini dapat ditarik suatu maqashid, yaitu kelanggengan persaudaraan sesama suadara seiman. Dengan berdasar pada maqashid itu maka tidak haram memimang pinangan orang lain setelah pelamar sebelumnya membatalkan rencana untuk menikahinya.[26] Kedua meneliti dalil-dalil hukum yang sama al-illahnya, sampai yakin bahwa al-illah tersebtu adalah maqshid-nya. Seperti larangan syarak membeli produk makan yang belum ada di tangan, adanya larangan monopoli produk makanan. Semua larangan ini adalah hukum syarak yang berujung pada satu al-illah hukum yang sama, yaitu larangan menghambat peradaran produk makanan di pasaran. Dari al-illah ini dapat diketahui adanya maqahid syariah, yaitu tujuan bagi kencaran peredaran produk makanan, dan mempermudah orang memperoleh makanan.[27]
b)     Maqashid yang dapat ditemukan secara langsung dari dalil-dalil al-Qur’an secara jelas serta kecil kemungkinan untuk dipalingkan dari makan zahirnya. Seperti bunyi ayat 183 surat al-Baqarah tentang kewajiban puasa “kutiba ‘alaikum al-siyam.” Pada ayat ini sangat kecil kemungkinan untuk mengartikan kata kutiba dengan arti selain diwajibkan dan tidak memaknai sebagai di tulis.[28] Contoh nilai universal yang ditetapkan beradasarkan pengertian tekstual ayat al-Qur’an adalah kemudahan, kebencian terhadap kerusakan, dan memakan harta orang lain secara illegal, menjauhi permusuhan dan mengedepankan kelapangan.[29]
c)    Maqashid dapat ditemukan langsung melalui dalil-dalil sunnah yang mutawatir, baik mutawatir secara ma’nawi maupun a’mali. Secara ma’nawi berarti difahami dari pengalaman sekelompok sahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi saw., seperti di syariatkannya khutbah pada dua hari raya.[30] Sedangkan secara amali berarti maqahid yang difahami dari prakti seorang sahabat. Ia berulang kali melakukan perbuatan di masa hidup Nabi saw.
Ibn Asyur mencontohkan dengan sebuah hadis yang dibukukan dalam sahih bukhari. Di riwayatkan dari al-Azraq ibn Qays, ia menceritakan “kami berada disebuah tepi sungai yang sedang kekeringan di daerah ahwaz, lalu abu Barzah datang dengan mengendarai seekor kuda. Kemudian mengistirahatkan kudanya untuk sholat, lalu tiba-tiba kudanya lari. Maka iapun menghentikan sholatnya dan mengejar kudanya, lalu ia kembali sholat. Diantara kami ada yang berkomentar : lihat Abu barzah, dia telah merusak sholatnya demi seekor kuda. Abu Barzah kemudian berkomentar semenjak saya terpisah dengan Nabi Saw, belum ada seorangpun yang pernah menghinaku. Rumahku sangat jauh, seandainya saya salat dan membbiarkan kuda itu pergi, saya tidak akan tiba ke keluargaku hingga malam hari. Diriwatkan bahwa Abu Barzah itu adalah salah seorang sahabat Nabi saw, yang mendahulukan dimensi taysir dalam ijtihad, berdasarkan penglihatannya terhaap perbuatan Nabi saw. “ Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa salah satu dari konsep maqashid syariah adalah konsep taysir.

Ibn Asyur dalam kitabnya membagi maqashid syariah menjadi dua bagian, yaitu maqashid syariah yang bersifat umum (maqashid al-ammah)  dan maqashid syariah yang bersifat khusus (maqashid al-khassah). [31] Secara lengkap berikut pengertian dua jenis maqashid ibn Asyur, sebagaimana ditulis oleh Andriyaldi tersebtut: [32]
Maqashid syariah yang bersifat umum artinya makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan syar’i (Allah) dalam semua ketentuan syariah, atau sebagaimana besarnya dimana tidak hanya khusus dalam hukum-hukum fikih tertenu saja. Maqashid syariah yang bersifat khusus adalah hal-hal  yang dikehendaki syar’i (Allah) untuk merealisasikan tujuan tujuan manusia yang bermanfaat atau untuk memelihara kemaslhatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka secara khusus.

3.      Pandangan Ibn Asyur tentang Maqashid Syariah
Setidaknya ada beberapa pandangan imam ibn Asyur tentang konsep maqashid syariah: pertama, perlunya menjadikan maqashid syariah sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Kedua, korelasi al fitrah (naruli beragama), al-samahah (toleransi), al-muswat (egaliter),  dan al-hurriyah (kemerdekaan bertindak).[33]
Secara umum teori maqashid ibn Asyur dapat dijabarkan sebagai berikut; (a) pendepinisian maqashid umum dan maqashid khusus, (b), menjelaskan ta’lil, berdasarkan ta’lil ini beliau membagi hukum menjadi tiga bagian yaitu; 1), hukum yang berkategori mu’allal (mengandung illah) yang harus eksplisit atau berindikasi kuat kearah itu. 2) hukum yang bersifat ta’abbudi semata, dalam konteks ini tidak ada petunjuk kecuali hikmahnya, 3) hukum yang berada diantara dua kategori hukum tersebut. Artinya mengandung illatnya sangat samar.[34]
Beliau juga mengisyaratkan metode penetapan maqashid dengan memaparkan mazhab Syatibi, menjelaskan saddu zari’ah, menjelaskan kaidah al-wasa’il dan macam-macamnya yang berkaitan hubungannya dengan maqashid.[35]
Menurut ibn Asyur bahwa tujuan umum dari penetapan syariah adalah untuk melindungi system keummatan agar tetap hidup. Melindungi lima kebutuhan utama menjadi kewajiban umat secara universal bisa juga menjadi kewajiban ummat secara individual.  Menurutnya kesetaraan semua individu dalam komunitas umat baik jiwa maupun pekerjaannya merupakan tujuan pokok syariah, inilah yang disebut al-hurriyyah (kebebasan)[36]
  

D.    Kesimpulan
Dari kajian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ibn Asyur memiliki konsep yang reformatif terhadap maqashid syariah. Dimana beliau tidak hanya menjadikan maqashid syariah sebagai sesuatu yang hanya terpaut pada satu sisi saja, namun beliau juga menjelaskan bahwa sebenarnya tujuan maqashid syariah itu untuk melindungi lima kebutuhan utama menjadi kewajiban umat secara universal dan juga secara individual.
            Menurut beliau maqashid syariah harus menjadi disiplin ilmu tersendiri secara independen terlepas dari ilmu ushul fiqh. Gagasan ini beliau tuangkan dalam karyanya “maqashid al-syariah al-islamiyyah”.




DAFTAR PUSTAKA
Andriyaldi, 2014., Teori Maqashid Syariah dalam Persepektif Imam Muhammad Ibnu Asyur, ( Jurnal Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7,)

Balqasim al-Ghalli, 1996., Syaikh al-jami’ al-A’zam Muhammad al-Tahir ibn Asyur, Hayatuhu wa Atharuhu ( Beirut :  Dar Ibn Hazm)

H Amir Syariffudin, Ushul Fiqh, Jilid II ( Jakarta: Penerbit Kencana)

Ismail Hasani, 1995., Nazariyyat al-Maqashid ind al-Imam Muhammad al-Tahir Inn Asyur, cet . I (Virginia: Ma’had al-Islami li al-Fikr al-Islami,)

Muhammad  Husayn, 2006., Tanzir al-Maqashid ind al-Imam Muhammad al Tahir ibn Asyru fi Kitabihi Mawashid al-Syariat al Islamiyyah ( Al Jazair : al – Jami,ah Al jazair,)

M. Arfan Muammar dkk 2013, Studi Islam Perspektif inside/outside, ( Yogyakarta : IRCiSoD Cet.II,)


Muhammad Ibn Asyur, 1366., Maqashid al-Syariat al-Islamiyyah,  (Tunisia: Maktabah al-Istiqoma). 

Muhammad Said Ramadhan al-Buti, 1998., Maqashid al-Syariat al Islamiyyah wa alaqatuh bi al Adillat al Syariah (Saudi Arabia: Dar al-Hijrah)

Mustafa al-Ghalyani, 2003., jami’ Durus al-Arabiyyah, jilid I (Beirut : Maktabah al-Asyiriyyah)


Tim Penulis UII, 2012., Pribumisasi Hukum Islam, Cet. I (Yogyakarta: PPs FIAI UII)


Safriadi, 2014.,  Kontribusi ibn Asyur dalam Kajian Maqashid Syariah, ( Jurnal Ilmiah Islam Futura, vol XIII)


Totok Jumantoro, 2005., dan Samsul Munir Amin, kamus ilmu Ushul Fiqh, cet.I (Jakarta: Amzah)


Wahbah Zuhaili, 2005., Ushul al-Fiqh al Islami, Jilid II, cet. XiV (Beirut: Dar al-Fikr)








[1] Andriyaldi., Teori Maqashid Syariah dalam Persepektif Imam Muhammad Ibnu Asyur, ( Jurnal Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, 2014), hlm. 24
[2] Ibid..,
[3] Ibid..,
[4] Ibid..,
[5]Andriyaldi, Teori Maqashid..,hlm, 25 
[6] M. Arfan Muammar dkk, Studi Islam Perspektif inside/outside, ( Yogyakarta : IRCiSoD Cet.II, 2013), hlm., 434
[7]  Ismail Hasani, Nazariyyat al-Maqashid ind al-Imam Muhammad al-Tahir Inn Asyur, cet . I (Virginia: Ma’had al-Islami li al-Fikr al-Islami, 1995) 80

[8] Muhammad  Husayn, Tanzir al-Maqashid ind al-Imam Muhammad al Tahir ibn Asyru fi Kitabihi Mawashid al-Syariat al Islamiyyah ( Al Jazair : al – Jami,ah Al jazair, 2006), 24
[9] Tim Penulis UII, Pribumisasi Hukum Islam, Cet. I (Yogyakarta: PPs FIAI UII, 2012) hlm. 148
[10] Balqasim al-Ghalli, Syaikh al-jami’ al-A’zam Muhammad al-Tahir ibn Asyur, Hayatuhu wa Atharuhu ( Beirut :  Dar Ibn Hazm, 1996), hlm. 68-70
[11] Safriadi,  Kontribusi ibn Asyur dalam Kajian Maqashid Syariah, ( Jurnal Ilmiah Islam Futura, vol XIII, 2014), hlm.81
[12][12] Tim Penulis UII, Pribumisasi Hukum Islam.., hlm. 1487

[13] Mustafa al-Ghalyani, jami’ Durus al-Arabiyyah, jilid I (Beirut : Maktabah al-Asyiriyyah, 2003) hlm., 129
[14] Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Maqashid al-Syariat al Islamiyyah wa alaqatuh bi al Adillat al Syariah (Saudi Arabia: Dar al-Hijrah, 1998), hlm., 26-28
[15] M. Arfan Muammar dkk, Studi Islam..,hlm.,426

[16] M. Arfan Muammar dkk, Studi Islam..,hlm.,426

[17] Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, kamus ilmu Ushul Fiqh, cet.I (Jakarta: Amzah, 2005), 196
[18] M. Arfan Muammar dkk, Studi Islam..,hlm.,426
[19] H Amir Syariffudin, Ushul Fiqh, Jilid II ( Jakarta: Penerbit Kencana), hlm 231
[20] H Amir Syariffudin, Ushul Fiqh, Jilid II ( Jakarta: Penerbit Kencana), hlm 231
[21] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islami, Jilid II, cet. XiV (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), hlm., 307
[22]  Muhammad Ibn Asyur, Maqahid al-Syariat al-Islamiyyah,  (Tunisia: Maktabah al-Istiqomah, 1366 H).  hlm., 50
[23] Muhammad Ibn Asyur, Maqashid al-Syariat..,hlm.9
[24] Safriadi,  Kontribusi ibn Asyur dalam Kajian Maqashid Syariah..,hlm. 86
[25] Safriadi,  Kontribusi ibn Asyur dalam Kajian Maqashid Syariah..,hlm. 86
[26] Muhammad Ibn Asyur, Maqahid..,hlm.,16
[27] Muhammad Ibn Asyur, Maqahid..,hlm.,16 -17
[28] Muhammad Ibn Asyur, Maqahid..,hlm.,17
[29] Muhammad Ibn Asyur, Maqahid..,hlm.,20
[30] Muhammad Ibn Asyur, Maqahid..,hlm.,17-18
[31] Safriadi,  Kontribusi ibn Asyur dalam Kajian Maqashid Syariah..,hlm. 88
[32] Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah dalam Persepektif Imam Muhammad Ibnu Asyur, ( Jurnal Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, 2014), hlm., 30
[33] Imam Ibn Asyur, Maqashid Syariah al-islamiyah, hlm 259
[34] Tim penulis UII, Pribumisasi..,hlm 148
[35] Ibid.,                
[36]  Ibid., 149

*Tulisan dalam makalah sengaja tidak di edit, Makalah ini telah dipersentasikan pada kelas MSI UII, Makul Maqashid Syariah, dan pada saat di postkan, sedang dilakukan revisi (perbaikan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia