LAJNAH BAHTSUL MASA’IL NAHDATUL ULAMA (NU) (STUDY TERHADAP PROSES PENEMUAN HUKUM)
LAJNAH BAHTSUL MASA’IL NAHDATUL ULAMA (NU)
(STUDY TERHADAP
PROSES PENEMUAN HUKUM)
Oleh
:
AHMAD RIZAL KHADAPI
NIM : 16913068
&
ANWAR CHOLID
NIM 16913070
Dosen Pengampu
Dr. Drs.Dadan Muttaqien,
S.H. M.Hum
MAKALAH
Diajukan
kepada Program Pascasarjana
Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Untuk
Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah
Lembaga
dan Pranata Hukum Islam di Indonesia
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nahdatul Ulama atau disingkat N.U. memiliki makna
kebangkitan ulama.[1] adalah salah satu organisasi masyarakat
bersifat keagamaan terbesar di Indonesia. NU menjadi tulang punggung keberadaan
Islam yang bercorak lokal. Dalam sejarah tercatat, bahwa NU adalah lembaga yang
turut serta memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pendirian organisasi NU pada tahun 1926 merupakan
respon terhadap pemahaman Islam garis keras yang muncul dari berkuasanya
kelompok wahabi di Arab Saudi yang menekankan pada “pemurnian” Islam dengan
wadah negara Islam. Menurut Solahuddin, ulama NU kemudian menyerukan ajaran
yang berbasis pada konteks lokal, lebih lembut, damai, dan menghormati
keberagaman.[2] NU
adalah satu Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah ( Organisasi Keagamaan Islam)
ang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari
1926 M, berkaidah Islam menurut faham Ahlussunah waljamaah dan mengnut
salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.[3]
Sedangkan dalam dokumen Panitia Hari lahir NU ke-40
“Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama” tahun 1966, kita menemukan bahwa nama
Nahdlatul Ulama di usulakan oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Azis dari Surabaya
(sepupu KH Mas Mansur, tokoh NU yang kemudian mnyeberang ke Muhammadiyah tahun
1932 M karena berbeda haluan dan pandangan keagamaan). Pengertian nama ini
kurang lebih “gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan
bersama-sama yang teroganisir”.[4]
Sebagai bukti kuatnya pengaruh NU dalam
mempertahankan Islam yang bercorak lokal kebangsaan adalah tercatat dalam
musyawarah nasional ulama NU pada 1983 M mengesahkan dokumen hubungan Islam dan
Pancasila, dan diperkuat dengan keputusan mukhtamar NU tahun 1984.[5]
Lebih dari itu, menurut Zuhairi Miswari dalam artikelnya yang berjudul menyongsong
Seabad NU menyatakatan “NU secara kasat mata telah terlibat dalam politik
praktis, bukan politik kebangsaan sebagaimana diamanatkan dalam khittah 1926
dan ditegaskan kembali dalam Muktamar 1984 M”.[6]
Memang seiring berkembangnya zaman, keberadaan
organisasi masyarakat di Indonesia semakin banyak. Namun yang selalu konsisten
dengan karakter Islam ke Indonesiaan barangkali salah satunya adalah NU. Sebagaimana
kita ketahui NU merupakan organisasi masyarakat berbasis keagamaan yang lahir
sebelum Indonesia merdeka. Di prakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari, sebagai
pendiri NU sangat di segani di kalangan masyarakat. Sebagian besar warga NU
masuk organisasi ini karena pertimbangan emosional, seperti kekerabatan,
majikan, tetangga, sahabat, dan atau panutan.[7]
Yang menjadi catatan penting adalah, sebelum muncul nama Nahdlatul Ulama, sudah
lebih dulu muncul nama “Nuhudlul Ulama”, yang diusulkan oleh KH. Abdul Hamid
dari Sedayu, Gresik, dengan argument bahwa para ulama mulai bersiap-siap untuk
bangkit melalui wadah formal tersebut. Pendapat ini di sanggah keras oleh KH
Mas Alwi, dengan alasan bahwa kebangkitan ulama tidak lagi mulai atau akan
bangkit, tetapi kebangkitan itu sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah
bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya komite Hijaz, hanya
saja belum teroganisir.[8]
Karena itu, kata KH Mas Alwi, namanya yang tepat adalah “Nahdlatul Ulama” bukan
“Nuhudlul Ulama” pendapat ini diterima secara aklamasi oleh para peserta
pertemuan (musyawarah). Adapun lambang Nahdlatul Ulama atau NU, berupa bola
dunia, diciptakan oleh KH. Ridwan Abdulloh dari Surabaya.[9]
Dalam bukunya, Zainal Abidin Bin Syamsudin
mengatakan perkembangan Islam di tanah Jawa di pengaruhi oleh empat faktor
mendasar; a, para wali yang sangat dalam Ilmunya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman
tidak hanya dipenuhi perintah dan larangan saja atau Islam bisa dimengerti oleh
rakyat, namun lebih dari itu bisa diamalkan dalam kehidupan nyata. b, mereka
telah membuktikan ilmu keislamannya secara holistic. c, mereka sangat
perhatian dan memiliki pengetahuan serta sikap tegas terhadap persoalan yang berkembang
di masyarakat secara aktual dan konkrit. d, mereka memandang Islam adalah
konsep tegas, adapun masyarakat Jawa adalah realitas, sehingga mereka
memperhitungkan dengan cermat paduan kompromi dalam strategi, dan harmoni dalam
berdakwah.[10]
Lahirnya NU dengan nafas atau faham Ahl-sunnah
wal-jamaah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrem aqli (rasionalis) dengan ekstrem naqli (skripturasi). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an dan Sunnah, melainkan juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris.[11]
Dalam Statuta “Perkumpulan Nahdatul Ulama”, pada pasal 3 tahun
1926 M, diungkapkan cita-cita dasar NU, sebagai berikut:
“...mengadakan perbubungan diantara ulama-ulama yang
bermadzhab, memerikasa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya
diketahui apakah itu dari kitab-kitab ahli sunnah wal jamaah atau kitab-kitab
ahli bid’ah; menyiarkan agama Islam berazaskan pada mazhab yang empat dengan jalan
apa saja yang baik, berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasar
agama Islam; memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid,
surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim
dan orang-orang yang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan untuk memajukan
urusan pertanian, perniagaan yang dilarang oleh syara’ agama Islam.”[12]
Dalam
skala nasional sejak Mukhtamar NU ke-1 sampai Muktamar ke-30 di Lirboyo,
Kediri, pertemuan Bahtsul Masail telah diadakan sebanyak 39 kali, terdiri atas:
3 kali konferensi besar syuriah, 5 kali musyawarah nasional, dan satu kali
rapat dewan partai (saat NU berstatus partai politik).[13] NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia,
juga memiliki satu lembaga pengkaji dan pemberi fatwa. Lembaga itu bernama Bahtsul
Masa’il. Lembaga ini secara khusus menjadi ujung tombak dalam proses ijtihad
hukum Islam di NU. Dalam pada itu, untuk
membatasi penelitian terkait dengan lembaga Bahtsul Masa’il NU, makalah ini
akan mencoba untuk melakukan penelitian singkat.
Masalah penelitian dibatasi pada tataran lembaga
Bahstul Masa’il menyangkut sejarah lembaga, sturuktur organisasi, metode
istinbath hukum, dan peruntukkan hasil istinbath hukum yang dilakukan oleh
Bahstul Masa’il NU. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pola-pola
istinbath hukum yang dilakukan oleh Bahtsul Masa’il NU. Juga lebih dari itu
secara kholistik sebagai bahan telaah akademis terhadap lembaga Bahstul Masa’il
NU.
Manfaat penelitian ini dalam tataran teoritik
tulisan ini berguna sebagai pengayaan teori-teori istinbath hukum Islam. Karena
dengan mendeskripsikannya secara akademis kita dapat memahami dan mengetahuinya
secara lebih berimbang. Secara praktis tentu saja peneitian ini bergunan
sebgaai bahan pertimbangan dalam pembelajaran, sehingga hal-hal yang
substantive dapat menjadi arahan atau role model dalam pembuatan
istinbah hukum.
B.
Metode Penelitian
Penelitian ini sepenuhnya jenis penelitian
kepustakaan. Subyek kajiannya terfokus pada lembaga Bahstul Masa’il NU. Dengan
menggunakan data primer baik berupa buku, maupun hasil fatwa dari lembaga
Bahtsul Masa’il NU. Sedangkan data skunder diambil dari karya orang lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Data yang diperoleh kemudian didekati
dalam persepektif teori-teori pengambilan hukum (Istinbath Hukum) dalam study
Islam. Kemudian dianalisis dengan cara interpretasi, induksi deduksi, koherensi
intern dan holistika.
BAB II
ISI
A. Ijtihad
Dan Istinbath Hukum Islam
Ketika
diawal kita bertanya bagaimana metode penemuan hukum oleh bahtsul masail.
Sesungguhnya semua penemuan hukum itu tidak boleh lepas dari sumber-sumber
hukum dalam Islam. Sudah menjadi paradigma umum bahwa sumber hukum islam
dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber
hukum yang belum disepakati.
Sumber
hukum Islam yang disepakati secara umum ada empat, diantaranya, Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Sedangkan
sumber hukum Islam yang tidak disepakati diantaranya; pertama, Istihsan yaitu mencari
kebaikan atau menganggap sesuatu lebih baik. sedangkan menurut istilah
diartikan berpaling pada suatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju
hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat.[14]Kedua,
Istishab Yaitu membawa atau menemani. Sedangkan menurut istilah
berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa lalu berdasarkan apa yang
telah ada itu. Jadi istishab adalah menetapkan sesuatu keadaan sebelumnya,
sehingga yang baru merubahnya.[15] Maslahah
mursalah Yaitu tiap-tiap maslahah yang tidak dikaitkan dengan nash pada hukum
syara' yang menjadikan kita menghormati atau menolaknya. Sedangkan jika diharai
akan mendatangkan manfaat atau menolak kemudharatan.[16] Urf
(adat istiadat), menurut bahasa adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkataan,
perbuatan atau meninggalkannya karena telah menjadi kebiasaan umum. Sedangkan
menurut istilah berarti sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh
yabiaty yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan syara'.[17] Saddudz
dzara’i yaitu Yaitu sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan
terlarang dengan illat mengandung kerusakan. [18]
1.
Pengertian Ijtihad
Kata
ijtihad berasal dari kata kerja “ijtihada” artinya bersungguh-sungguh,
kata ini hanya terpakai untuk hal-hal yang berat. Sedangkan menurut ilmu ushul
fiqih, ijtihad adalah seorang ahli fiqih yang mencurahkan kesanggupannya dan
berusaha keras untuk mendapatkan satu ilmu tentang hukum syariat.[19]
Sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978;480), al-Amidi memberikan
pengertian ijtihad yaitu mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu
yang zhanni dari hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa
tidak mampu melibihi usaha itu [20].
Sedangkan menurut imam Al-Syaukani ijithad adalah mengerahkan kemampuan dalam
memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath.[21]
Dalam pengertian yang lain Al-Gazhali menjelaskan bahwa ijtihad adalah
pengerahan segala kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum syar’i.[22]
Sementara
itu Iqbal mengatakan ijtihad adalah the
principle of movement- daya gerak kemajuan umat Islam. Dengan kata lain,
ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya.[23]
Dalam pandangannya Nur Kholis ijtihad merupakan jaminan hukum Islam akan
senantiasa bersikap antisipatif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Bisa dibilang ijtihad merupakan principle of movement dalam Islam.
Karena dengan ijtihad_lah terjadi penemuan hukum yang menghantarkan hukum Islam
senantiasa responsive dan relevan dengan perkembangan zaman.[24]
Azhar Basyir sendiri mengatakan bahwa “Pemberdayaan terhadap ijtihad harus
dilakukan, antara lain dengan pengembangan ijtihad kolektif untuk memperoleh
pendekatan yang multisektoral dengan tanpa mengabaikan azaz-azas utama hukum
Islam”.[25]
Ijtihad
menurut bahasa berasal dari kata : جَحَدَ artinya : mencurahkan segala kemampuan
atau “menanggung beban kesulitan”. Arti ijtihad
menurut bahasa adalah: mencurahkan
semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata ijtihad ini tidak dipergunakan
kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.[26]
2.
Macam-Macam Ijtihad
Dalam
berbagai literatur dan buku yang menjelaskan tentang Ijtihad. Secara umum dapat
diketahui beberapa macam ijtihad, antara lain: pertama, Ijtihad bayani
sebagaimana ditulis oleh Amir Syarifuddin.[27] Kedua, Ijtihad bayani adalah ijtihad
untuk menjelaskan hukum-hukum syara yang terkandung dalam nash namun sifatnya
masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukkannya. Ketiga,
Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menggali
dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan sunnah dengan menggunakan qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang
tidak tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Keempat, Ijtihadi
Isthislahi menurut Muhammad Salam Madkur sebagaimana dikutip oleh Ade Dedi
Rohayana. Ijtihad Isthislahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara (islam) dengan
menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah
yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada
nash yang khusus untuk dukungan ijma’ terhadap masalah itu.[28]
Selain itu tidak mungkin juga diterapkan metode qiyas atau metode istihsan
terhadap masalah itu. Ijtihad ini pada dasarnya merujuk pada kaidah jalb
al-maslahan wa daf al mafsadah ( menarik kemalahatan dan menolak kemafsadahan)
sesuai dengan aturan yang teralah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’. [29]
3.
Cara-Cara Berijtihad
Secara
umum dapat diketahui ada tiga bentuk cara berijtihad, yaitu dikenal dengan ijtihad intiqa’i,
ijtihad insya’i dan Ijtihad muqorin (komparatif). Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, Ijtihad Intiqa’i
sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi “Ijtihad Intiqa’i adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqh terdahulu mengenai
masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqh, kemudian
menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih releban dengan kondisi kita
sekarang.” [30] Kedua, Ijtihad Insya’i yaitu
usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang
belum diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu.[31] Ketiga,
Ijtihad muqorin adalah menggabungkan keduan bentuk ijtihad diatas (intiqa’i
dan insya’i) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan
beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar
yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.[32]
4.
Produk Ijtihad
a. Fiqh
Fiqh merupakan sumber hukum Islam yang di
sepakati. Secara etimologis Fiqh berarti ; mengerti dan
memahami.[33]
Dr.Maradani menambahkan Fiqh berarti Pemahaman yang mendalam tentang tujuan
suatu ucapan dan perbuatan.[34] Pengertian senada juga disampaikan oleh Amir
Syarifuddin. Menurut beliau, kata fiqh secara etomologis bearti “faham
yang mendalam”. Bila “faham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat
lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu
batin.[35]
Sedangkan secara definitive fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”.[36]
Makna ilmu Fiqh
menurut syara’ adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara mengenai suatu
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya seara terperinci, atau
dengan kata lain, ilmu fiqh adalah kompilasi hukum-hukum syara mengenai
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.[37]
Pembahasan mengenai perkembangan ilmu fiqh, secara singkat dan ringkas telah di
ungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf. Beliau menjelaskan; “Hukum-hukum
fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama
Islam merupakan himpunan dari akidah, akhlak, dan hukum amaliyah. Hukum
amaliyan ini pada masa Rosulullah saw terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat
di dalam Al-Qur’an dan berbagai hukum yang dibuat oleh Rosulullah SAW. “[38]
Lebih lanjut dalam
perkembangannya pada masa sahabat beliau megatakan; “Pada masa sahabat,
mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan kemunculan hal-hal baru yang tidak
pernah dihadapi kaum musliminin, sebelumnya, dan tidak pernah muncul pada masa
Rosulullah saw. Maka para mujtahid, berijtihad dengan memberi putusan hukum,
fatwa, dan menetapkan hukum syariat, dari sejumlah hukum yang mereka
istimbathkan melalui ijtihad mereka. sumber hukum pertama yang mereka gunakan
adalah Al-Qur’an dan Sunnah.” [39]
Sedangkan penjelasan
lebih lanjut dalam masa tabiit dan tabiit tabiin beliau ungkapkan sebagai
berikut. “Pada masa tabiin dan tabiit tabiin serta para imam mujtahid, yaitu
sekitar dua abad Hijriyah yang keduan dan ketiga, negara Islam meluas dan
banyak orang non Arab yang memeluk agama Islam. Kaum muslimin di hadapkan pada
persoalan dan kejadian baru, mereka melakukan ijtihad, dan membentuk hukum
islam pada banak kasus. Maka pada priode ini hukum fiqh terbentu dari sumber
hukum Allah dan Rosullnya, fawat para sahabat, dan putusan hukum mereka, serta
fatwa para mujtahid dan istibat mereka. sedangkan sumber hukumnya yaitu
Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, para sahabat serta para imam mujtahid. Kemudian
untuk mempermudah akses menemukan dalil hukum, dilakukanlah kodifikasi atas
fatwa-fatwa dan hasil istmbath hukum tersebut.
diantara karya pertama hasil kodifikasi hukum yang sampai pada kita
adalah kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik.
Sedangkan kitab Al-Umm karaya imam Syafii yang di buat di Mesir menjadi
landasan fiqh Mazhab Syafii. “[40]
b. Qonun (Undang-Undang)
Undang-undang
merupakan produk hukum yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Dalam
kedudukannya di negara Indonesia, lembaga negara yang di maksud adalah Presiden
dan Dewan Perwakilan Raykyat (DPR).
Secara lebih khusus berkaitan dengan qonun sebagai sebuah produk
ijtihad, dapat dikatakan bahwa baru Provinsi Nanggro Aceh Darussalam yang
menggunakan istilah Qonun dalam
bentuk formal sebagai produk hukum daerah pengganti Peraturan Daerah (Perda).
Dalam bahasanya L.J
Van Aveldoorn undang-undang di bagi dalam dua bentuk, yaitu undang-undang dalam arti materil yang mengingat isinya disebut undang-undang yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah yang
menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara umum. Dan undang-undang
dalam arti formil yaitu keputusan
pemerintah yang memperoleh nama karena bentuk, dalam mana ia timbul.[41]
c. Qadhi ( Putusan Pengadilan)
Qadi atau Khadi (Arab: قاضي) adalah seorang hakim yang
membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.[42]
Islam tidak pengenal adanya pemisahan masalah agama maupun
yang berkaitan dengan hukum, sehingga Qadi berperan dalam penengakan aturan bagi
setiap muslim.
[43] Qadi
selalunya identik dengan orang yang alim (yang mempunyai pengetahuan agama
Islam) dan mesti merupakan seorang lelaki Islam yang sudah merdeka serta
akhil baligh. Selain itu, Qadi juga merujuk kepada seseorang yang bertugas
memastikan rukun-rukun nikah serta mas kawin dalam urusan perkawinan secara
Islam. [44]Di
samping tanggungjawabnya menikahkan suami-isteri, Qadi juga berperan untuk
memastikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkawinan tersebut telah
sesuai dengan peraturan yang ada.[45]
d. Fatwa (Pendapat Hukum)
Fatwa (Arab: فتوى, fatwā) adalah sebuah
istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan
dengan hukum Islam.[46]
Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah "nasihat",
"petuah", "jawaban" atau "pendapat". [47]
Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh
seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[48]
5.
Makna Istinbath
Istilah Istinbath berasal dari nabth yang berarti
air yang pertama kali keluar dari sumur yang di gali.[49] Sedangkan secara terminologis, istinbath di
maknai sebagai kegiatan mengeluarkan atau mengambil makna dari nash yang sudah
ada.[50]
Adapun istinbath dan ijtihad pada dasarnya hampir mempunyai makna yang sama,
hanya saja, istinbath melingkupi makna yang lebih luas, ia bisa jadi berlaku
untuk dalil yang qath’i dan dzanni, sementara ijtihad khusus
untuk masalah-masalah yang zdanni.[51]
Istinbath dapat dikatakan sebagai satu metodologi.
Pemaknaan metodologi istinbath diartikan sebagai cara bagaimana memperoleh
ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul
Fiqh.[52]
Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut Istinbath.[53]
Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya
dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Qur’an atau Sunnah Rosul, dan dapat pula dilakukan
dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang
menjadi tujuan ketentuan hukum.[54]
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan
pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, yaitu bahasa Arab.[55]
Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, berinstinbath melalui pembahasan bahasa
tidak dapat dilakukan.[56]
B. Penemuan
Hukum oleh Bahtsul Masail
1.
Sejarah Lembaga
Forum Bahtsul Masail memiliki kedudukan
penting di NU, sebab selain sebagai ajang pergulatan intelktual para kiai, juga
dalam rangka memberi status hukum terhadap persoalan keagamaan (baik aktual
atau tidak) yang menjadi polemik di masyarakat. Forum ini mulai diselenggarakan
sejak Muktamar NU di Surabaya pada tanggal 21 oktober 1926 (bertepatan dengan
13 Rabiul Tsani tahun 1345), akan tetapi, sebagai sebuah tradisi, forum bahtsul
masail sudah ada jauh sebelum NU berdiri.[57]
Bahstul Masail ini secara formal berdiri pada saat NU didirikan
oleh KH. Hasyim Asya’ari tepat pada tanggal 31 Januari 1926. Namun secara
substansi kegiatan bahtsul Masail sudah dilaksanakan jauh sebelum NU berdiri.
Kala itu sudah berlaku tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan
kiai dan santri di mana hasilnya dimuat dalam bulletin Lailatul Ijtima
Nahdlatul Ulma (LINO).[58]
Apabila
kita lihat dari sisi latar belakng berdirinya, sesungguhnya bahtsul masail
muncul disebabkan adanya kebutuhan masyarakat akan hukum Islam yang praktis
bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini secara tidak langsung mendorong para ulama
NU untuk mencari solusinya dengan melakukan batshul masail. Secara harfiah isitlah lajnah bahsul masail
baru muncul pada saat muktamar Nahdatul Ulama XXVIII di Yogyakarta tahun 1989,
dimana komisi I bahstul masail merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk
“Lajnah Bahtsul Masail Diniyah” (lembaga
Pengkajian Masalah-masalah Agama) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani
persoalan keagamaan.[59] Kalimat
“bahtsul masail” artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang terjadi
melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab para ahli fiqh).[60]
2.
Struktur Organisasi
Sebelum
berbicara lebih khusus tentang struktur organisasi Lajnah Bahtsul Masail NU.
Maka perlu disampaikan secara umum tentang struktur kelembagaaan NU. Berikut struktur Pengurus :[61]
K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
a. Pengurus Besar (tingkat Pusat).
b. Pengurus Wilayah (tingkat Provinsi),
terdapat 33 Wilayah.
c. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439
Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
d. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat
Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
e. Pengurus Ranting (tingkat Desa /
Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis
Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
a. Mustasyar (Penasihat)
b. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
c. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri
dari:
a. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
b. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Keanggotaan berbasis di ranting dan di cabang
untuk cabang istimewa.
Lembaga merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang
tertentu. Lembaga ini meliputi:
f. Rabithah Ma’ahad Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)* (Indonesia) Lembaga Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama
Lajnah Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan
penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
Badan Otonom Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan
kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
Setelah melihat struktur organisasi NU secara lengkap, dalam pada
itu kita berbicara tentang struktur organisasi Nahdatul Ulama pelaksana program
atau lajnah. Maka yang bertugas
mengadakan kegiatan Bahtsul Masa’il adalah jajaran Syuriyah (salah satu
struktur organisasi NU di semua tingkatan yang memiliki otoritas tertinggi).
Sedangkan manajemen kepengurusan Lajnah Bahtsul Masa’il secara sederhana
ditangai oleh ketua dan sekretaris dan cendikiawan Nahdatul ulama baik yang
berada di dalam maupun yang berada di luar kepengurusan NU, seperti para tokoh
agama, para kiyai maupun para santri pondok pesantren.[62]
3.
Metode Istinbath Hukum Lajnah Bahtsul Masa’il NU
Pada
umumnya permasalahan-permasalahan yang dibahas di bahtsul masail adalah
permasalahan-permasalahan yang aktual di masyarakat. Selain itu, terkadang juga
permasalahan di tambah dengan permasalahan yang diajukan oleh PBNU sendiri. Ahmad Zahro dalam bukunya menyatakan
“permasalahan yang diajukan oleh PBNU lalu diedarkan kepada para ulama dan para
cendekiawan NU yang ditunjuk sebagai anggota lajnah bahtsul masail agar
dipelajari dan disiapkan jawabannya, untuk selanjutnya dibahasa, dikaji dan
ditetapkan keputusannya oleh PBNU bersamaan dengan acara muktamar atau musyawarah nasional alim
ulama NU”.[63]
Dalam
bukunya yang berjudul Nuanasa Fiqh Sosial, Sahal mahfudz mengatakan; “pengertian
istinbath al-Ahkam (hukum) di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung
dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah (hadist). Akan tetapi,
penggalian hukum dilakukan dengan men-tathsbiqkan secara dinamis nash-nash (teks)
fuqaha”. [64]
bagi ulama NU pengambilan hukum secara langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah
sangat sulit dilakukan, sebab mereka menyadari keterbatasan-keterbatasan yang
dimiliki.
Menurut
M. Imdadun Rahmat, bagi ulama NU istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal.
Sebagai gantinya adalah istilah ittifaq hukum. Sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Zahro dalam Imam Yahya menjelaskan
bahwa Lajnah Bahstul Masail NU dalam proses pengambilan hukum seringkali menggunakan metode istinbath
secara berjenjang, meliputi: Pertama, Metode Qauly yaitu mengutip langsung dari
naskah kitab rujukan, suatu masalah hukum di pelajari kemudian dicari
jawabannya pada kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan (kutub al-mu’tabaroh)
dari empat madzhab.[65] Kedua
Metode Ilhaqy yaitu menganalogikan
hukum permasalahan tertentu yang belum ada dsar hukumya dengan kasus serupa
yang sudah ada dalam suatu kitab rujukan .[66] ketiga
metode manhajy yaitu menelusuri dan dan mengikuti metode istinbath hukum
madzahb yang empat, terkait masalah yang belum bisa di jawab dengan menggunakan
metode qouly dan ilhaqy. [67]
Jaih Mubarok dalam buku Metodelogi Ijtihad Hukum Islam
mengungkapkan, dalam menjawab permasalahan hukum Bahtsul Masa’il NU memiliki
beberapa prosedur yang disusun secara berurutan antara lain; Pertama, apabila
masalah atau pertanyaan telah ada jawabannya dala kita-kitab yang mu’tabarah,
maka dapat digunakan sebagai putusan.[68] Kedua,
apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat dalam kitab-kitab standard
dan dalam kitab-kitab tersebut pada beberapa qawl atau wajah maka yang
dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan salah satu qawl
atau wajah. [69] Prosedur
pemilihan salah satu pendapat dengan; pertama, mendapat pendapat yang lebih
mashlahat atau yang lebih kuat; atu kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan
pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut; 1.Pendapat yang
disepakati ileh Al-Syaikhani (Imam Nawawi dan Rari’i), 2.Pendapat yang dipegang
oleh Nawawi saja, 3.Pendapat yang dipegang oleh Rafi’i saja, 4.Pendapat yang
banyak dipegang oleh mayoritas ulama, 5.Pendapat para ulama yang terpandai, 6.Pendapat
para ulama yang paling wara’.[70]
Ketiga, Apabila masalah
tersebut tidak ada jawaban di dalam kitab standard langkah yang dipilih adalah ilhaqul
masail binaziriha (menyamakan masalah dengan realita yang ada) yang
dilakukan oleh ulama atau para ahli secara kolektif.[71] Apabila
dalam penggunaan metode Ilhaqy, maka langkah yang ditempuh ialah istinbath
(penggalian hukum) secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaj oleh
para ahlinya (Kyai) istinbath dilakukan melalui kaidah ushul fiqh.[72]
Istinbath hukum merupakan alternative terakhir, yaitu ia dapat di
lakkan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab
standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan peilihan pendapat dan tidak
memnugkinkan (ulama) untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh
al-ilhaq.[73]
4.
Tujuan Hasil Istinbath Hukum Lajnah Bahtsul Masa’il NU
Catatan
mengenai hasil-hasil istinbath hukum yang dilakukan oleh Bahtsul masail NU
salah satunya kita temukan di dalam buku yang berjudul “Masalah-masalah
Hasil Muktamar dan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama ke-1 (1926) sampai ke-29
(1994)” yang disusun oleh KH. Azis Masyhuri.[74]
Dari 39 kali pertemuan Bahtsul Masail secara nasionaltelah menghasilkan ratusan
fatwa hukum atas berbagai masalah yang berkembang di masyarakat baik masalah
yang sifatnya “remeh temeh” seperti hukum membunyikan bedug dan
kentongan, budidaya hewan jangkrik, atau hukum memakai dasi ala kaum borjuis,
maupun persoalan teologis yang cukup rumit, misalnya tentang status orang
Kristen sebagai “kafir” atau tidak, semuanya di beri status hukum.[75]
Tujuan
hasil istinbath hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bahtsul Masail NU adalah untuk
memenuhi permintaan pendapat hukum dari masyarakat dan atau juga dari Pengurus
Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Isa Ansori menyatakan bahwa orientasi
pengambilan hukum (ijtihad) yang di lakukan oleh Bahstul Masail NU lebih
menekankan pada pendekatan cultural dengan memelihara nilai-nilai terdahulu
yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Model pendekatan ini menerima budaya dan
kearifan lokal sebagi bagian produk masa lampau selama tidak bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah. [76] dalam penelitian yang dilakukan oleh Mulyono
Jamal dan Muhammad Abdul Aziz juga diungkapkan bahwa;
a.
Lajnah
Bahtsul Masail NU lebih memeilih melewati pendapat para imam yang empat dengan
pertimbangan jalinan mata rantai keilmuan (sanad), ketika hendak melakukan
istinbath hukum.
b.
Dalam
melakukan Istinbath hukum, umumnya ulama-ulama Lajnah Bahtsul masail NU melihat
kepada ulama-ulama yang terafiliasi pada peda ulama Haramain yang lebih
konservatif, seperti Syeikh Ahmad Bin Zaini Dahlan, Syeikh Nawawi Al-Bantani,
dan Syeikh Mahfudz al-Tirmasy.
Produk bahtsul masail NU bukannya tanpa cacat. Terjadi perdebatan
memang dan kritik terhadap metode yang di gunakan, terutama sekali adalah
ungkapan yang menyatakan dimana Bahtsul Masa’il hanya melakukan fotocopy atas kitab kuning yang
merupakan output dari tradisi pesantren yang selama ini berfungsi sebagai
penjaga ortodoksi.[77]
Beberapa keputusan bahtsul masail yang dianggap dangkal dan paradox
dengan perkembangan modernitas adalah sebagai berikut; pertama, tentang
hak-hak sipil, ketika menjawab masalah gejolak kaum buruh berkaitan dengan
tuntutan upa yang tidak realistic, bahtsul masail hanya menjawab “bila terjadi
gejolak, maka diasdakan ishlah antara kedua belah pihak”.[78] Kedua, soal penggusuran tanah oleh pemerintah,
bahtsul masa’il memutuskan “hukum penggusaran tanah oleh pemerintah demi
kepentingan umum adalah boleh. Dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh
pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan oleh syara’ dan dengan gainti
rugi yang memadai”.[79]
Masalah selanjutnya yang menjadi kritik terhadap ambiguitas bahtsul masa’il
adalah soal jender. Dimana terdapat tiga hasil keputusan bahtsul masa’il
menyangkut jender. Pertama, menafsirkan ulang beberapa nuktah dalam
pemahaman keagamaan (interpretasi terhadap beberapa teks scriptural yang bias
jender). Kedua, melihat kembali secara kritis faham-faham kebudayaan
yang bias laki-laki. Ketiga, merombak peraktik-peraktik politik yang
mendiskriminasi kaum peremupan.[80]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pola-pola istinbath hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bahtsul Masail NU dalam
pengambilan istinbath hukumnya memilih kitab-kitab fiqh yang mu’tabara, dan
dalam pengambilan hukum melihat kasus yang timbul di masayarakat atau yang
diajukan oleh PBNU. Lebih dari itu yang
dapat kita ketahui adalah Lajnah Bahsul Masail NU tidak mengenal istilah
Ijtihad atau istinbath hukum sehingga bahtsul masa’il sendiri merupakan forum
untuk menelurkan satu putusan hukum yang dilakukan oleh kyai-kyai NU.
B. Saran
Perlu kajian panjang dan mendalam terkait dengan
pola istinbath hukum yang dilakukan oleh bahtsul masa’il NU. Sebab seiring
perkembangan zaman permasalah hukum yang muncul di masyarakat semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Dedi Rohayana, 2005, Ilmu Usul Fiqh, Pekalongan : STAIN
Press.
Ahmad Azhar Basyir, 1993, Hukum Islam di Indonesia dari Masa Ke Masa,”Dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press
Ahmad Zahro, 2004, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKIS
Pelangi Aksara.
___________, 2001, Lajnah Bahstul Masail Nahdatul Ulama”
1926-1999; Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fiqih
Yogyakarta: Disertasi Doktor,
IAIN Sunan Kalijaga.
___________, 2004, Tradisi Intlektual NU: Lajnah Bahstul Masail
1926-1999, Yogyakarta;LKIS.
Al-Amidi, 1981 , Al ahkam fi usul al-Ahkam, juz iii, Beirut:
Dar. al-Fikri.
Al-Gazali, Al-Mustasfa Mim Omi Al-Usul, Kairo, Sayyid Al
Husain.
Al-Syaukani, 1994, Al-ursyad al-Fuhul, Beirut: Dar al-Kutub
al Ilmiyyah.
Amir syarifuddin, 2014, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group
Basiq Jalil, 201,4 Ilmu Ushul
Fiqih, Jakarta: PT Kaharisma Putra,
Drs. Romli SA, M.Ag., 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Cet.I,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
H. Soelaiman
Fadali, 2005, Antologi NU, Sejarah Istilah Amaliah Uswah Cet. II, Surabaya:
Khalist Parbruari.
https://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa diakses
pada hari sabtu 21 Oktober 2017 pukul 09.25
Am.
Isa Ansori, 2014, Perbedaan Metode Ijtihad Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam
corak Fikih di Indonesia, Jurnal Mizan, vol.4 No.01.
Jaih Mubarok, Metodelogi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta,
UII Pres
Mardani, 2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo.
M.Mukhsin Jamil dkk, 2007, Nalar Islam Nusantara “Studi Islam ala
Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan
NU”, Cet.I, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia
Mulyono Jamal dan Muhammad Abdul Aziz, 2013,
Jurnal .., Volume 7 Nomor 2
Nasrah, 2005, Porses awal pembetukan Hukum Islam, Medam:
Digital Library Universitas Sumatera
Utara.
Nur Kholis, Prospek
Penerapan Hukum Islam di Indonesia, Edisi 8, Yogyakarta: Jurnal Hukum
Islam Al-Mawarid,
Prof. Dr. Mr. L.J.Van Apeldoorn, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita
Sahal Mahfudz, 2003, Nuansa Fiqih Sosial.cet II, Yogyakarta:
LKIS
Salahudin Wahid, 2015, Nasionalisme dan Islam Nusantara,
Jakarta: PT Kompas Gramedia
Nusantara.
Seri Buku Tempo, 2016, Wahid Hasyim untuk Republik dari
Tebuireng, Cet. III, Jakarta: PT
Kompas Gramedia Nusantara.
Solahuddin, 2015, Nasionalisme dan Islam Nusantara,
Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara.
Tim penulis UII, 2012, Pribumisasi Hukum Islam “Pembacaan
Kontemporer Hukum Islam di
Indonesia, cet.II, Yogyakarta:
Penerbit kaukaba.
Yusuf Qardhawi, 1985, Al-Ijtihad fi Al-Syariat Al-Islamiyyah
Ma’a Nazharatin Tahlilliyat fi
al-Ijtihad Al-Mu’atsir, Kuwait: Dar al-Qalam.
Zainal Abidin Bin Syamsudin, 2016, Fakta Baru Walisongo “Telaah
Kritis, Ajaran, Dakwah dan
Sejarah Wali Songo”, Jakarta: Pustaka Imam Bonjol.
[1] H. Soelaiman
Fadali, Antologi NU, Sejarah Istilah Amaliah Uswah Cet. II (Surabaya,
Khalista Parbruari 2005) hlm.1
[2]Solahuddin, Nasionalisme dan Islam Nusantara,(
Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara, 2015), hlm.,87
[3]Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU, ( Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004), hlm.15
[4]M. Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara “Studi Islam ala Muhammadiyah al-Irsyad,
Persis, dan NU” (Jakarta, Departemen
Agama Republik Indonesia, 2007) hlm.,277
[5]Salahudin
Wahid, Nasionalisme...,hlm. 22
[7] Seri Buku
Tempo, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, cet.III., (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm.45
[8] M. Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara..,hlm.,277
[9]Ibid.
[10]Zainal Abidin
Bin Syamsudin, Fakta Baru Walisongo “Telaah Kritis, Ajaran, Dakwah dan
Sejarah Wali Songo”, (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol 2016), hlm., 71
[11]Isa Ansori, Perbedaan
Metode Ijtihad Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam corak Fikih di Indonesia,
Jurnal Mizan, vol.4 No.01 2014,hlm.,132
[14]Muamal, Ilmu Ushul Fiqh (Kediri : Fakultas
Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Kediri, 2006),
hlm. 24-25.
[16] Ibid
[19]Basiq Jalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Kaharisma Putra, 2014),
hlm.181-182
[20]Al-Amidi, al
Ahkam fi usul al-ahkam, juz III, ( Dar. Al-fikri, 1981 ), hlm ., 204
[21]Al-Syaukani, Al-irsyad
al-Fuhul, (Beirut, Dar al-Kutub al
Ilmiyyah, 1994)
[22]Al-Gazali,
Al-Mustasfa mim omi Al-Usul, (Kairo, Sayyid Al Husain), hlm., 478
[23]Tim penulis
UII, Pribumisasi hukum Islam “pembacaan kontemporer hukum Islam di Indonesia”,
cet.II ( Yogyakarta, Penerbit kaukaba, 2012),
hlm.,242
[24]Nur Kholis, Prospek Penerapan Hukum Islam di Indonesia,(Jurnal
Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi 8), hlm.,135
[25]Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa Ke Masa,”Dalam Peradilan Agama
dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia ”(Yogyakarta: UII
Press,1993), hlm., 79
[26]Yusuf
Al-Qardlawy, Ijtiah dalam syariat Islam “beberapa pandangan analitis tentang
ijtihad kontemporer”, ( Jakarta, Bulan Bintang, 1987) hlm. 1
[27]Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh.., hlm.267
[28] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Usul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm, 201
[29] Ibid.
[30]Yusuf Qardhawi,
Al-Ijtihad Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah Ma’a Nazharatin Tahlilliyat Fi
Al-Ijtihad Al-Mu’atsir,( Kuwait, Dar al-Qalam, 1985), hlm., 115
[31]Ibid, hlm 126
[32]Umar Shihab, Kontekstualitas
Al-Qur’an..., hlm., 387
[34]Mardani,Ushul
Fiqh, Cet.1, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.3.
[35] Amir
Syamsudin,Ushul Fiqh Jilid I, Cet.5, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2014), hlm. 2.
[37] Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh,
Cet.II, (Semarang, Dina Utama, 2014), hlm.1.
[41] Lihat Prof.
Dr. Mr. L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008), hlm. 80
[42]https://id.wikipedia.org/wiki/Qadi,
diakses pada hari sabtu 21 Oktober 2017 pukul 09.25 am.
[45] ibid
[46] https://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa
diakses pada hari sabtu 21 Oktober 2017 pukul 09.25 am
[47] Ibid
[49] Nasrah, Porses
awal pembetukan Hukum Islam, (Medan, Digital Library Universitas Sumatera
Utara, 2005)
[50] Drs. Romli SA,
M.Ag., Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Cet.I (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), hlm.,1.
[52] KH Ahmad Azhar
Basyir MA, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam”, (Yogyakarta: UII
Press, 2000), hlm.32
[57]M. Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara..,hlm.,416
[58]Mulyono Jamal
dan Muhammad Abdul Aziz, Jurnal .., (Volume 7 Nomor 2, Sya’ban 1434/2013)
[59]baca Ahmad
Zahro, “Lajnah Bahstul Masail Nahdatul Ulama” 1926-1999; Telaah Kritis
Terhadap Keputusan Hukum Fiqih, (Disertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2001) hlm.61-62
[60] Sahal
Mahfudz., op. Cit., hlm. xiii
[61] H. Soeleiman
Fadeli, Antologi NU “Sejarah Istilah Amaliah Uswah”, Cet. II (Surabaya;
Khalista Perbruari, 2008), hlm.7-11
[62] Zahro, Tradisi
Intlektual NU.., hlm., 78
[63]Ahmad Zahro, Tradisi
Intlektual NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999, (Yogyakarta;LKIS, 2004).,
hlm.,hlm.26
[64] Sahal Mahfudz,
Nuansa Fiqih Sosial.cet II, (Yogyakarta:LKIS, 2003), hlm.,24
[65] Ahmad Zahro, Tradisi
Intlektual NU: Lajnah Bahstul Masail 1926-1999, (Yogyakarta;LKIS, 2004).,
hlm., 143
[67] Ibid
[68] Jaih Mubarok, Metodelogi
Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Pres) hlm. 180-
[70] Ibid.
[71] Ibid.
[72] Ibid.
[73]Tim Penulis UII,Pribumisasi
Hukum Islam, (Yogyakarta, PPs.FIAI UII, 2012), hlm.245-246
[74]M. Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara..,hlm.,417
[75] M. Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara..,hlm.,417
[76] Isa Ansori, Perbedaan
Metode Ijtihad Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah Dalam Corak Fikih di Indonesia, (Jurnal
Mizan, Vol 4 No.12014).,hlm.,140
[77]Lihat M.Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara
“Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU”, cet.I (Jakarta,
Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), hlm.425
[78] M.Mukhsin
Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara..,hlm
426
[80] Ibid...,
hlm. 433
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih