MAQASHID SYARIAH SEBAGAI DOKTRIN DAN METODE*


PEDAHULUAN

Sifat teleologis hukum Islam dapat dilihat dari tujuan-tujuan tetentu yang hendak dicapainya. Memang banyak teori dikemukakan dalam rangka menjabarkan cita-cita ini. Yang paling terkenal adalah toori maqashid syariah. Sejauh infromasi yang penulis ketahui, teori ini dicetuskan oleh Imam Al-Juwaini yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang terkenal amat genius, Imam al-Ghazali. Setelah mengalami pengembangan puncak melalui Imam Asy-Syatibi, teori ini mengalami kemandegan panjang seiring dengan stagnansi ilmiah dunia Islam pada umumnya. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir, juga Abul A’la Maududi di India, merekomendasikan agar murid-murid mereka mengkaji al-Muwafaqat fi Usul il Ahkam, buah pena Syatibi yang mengaplikasikan teori liberal ini. Melalui Abduh dan Ridha, beberapa pembaru Indonesia berusaha memperkenalkan gagasan besar ini di pertengahan abad XX. Sayangnya, program ini dilakukan secara dangkal, disamping umat belum siap untuk menerima penafsiran yang di pandang jauh dari nash. Untuk itu,  disini maqashid syariah akan dibahas sebagai doktrin, di samping sebagai metode pengembangan nilai dan ruh hukum Islam ke dalam perubahan sosial.

MAQASHID SYARIAH SEBAGAI DOKTRIN

Sebagai doktrin, maqashid syariah bermaksud mencapai menjamin dan melestaraikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itu, dicangankanlah tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling melengkapi ad-daruriyyat, al-hajiyyat dan at-tahsiniyyat. Ad-Daruriyyat (tujuan-tujuan priemer) didefinisikan sebagai tujuan-tujuan  yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total. Disini ada lima kepentingan yang harus dilindungi; agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Begitu menurut versi yang paling populer, meskipun dengan urutan yang tidak seragam untuk menyelematkan agama, Islam mewajibkan ibadah, sekaligus melarang hal-hal yang merusaknya. Untuk menyelamatkan jiwa, Islam mewajibkan misalnya umat manusia untuk makan tetapi secara tidak berlebihan. Untuk menyelamatkan  akal, Islam mewajibkan antara lain pendidikan sekaligus melarang hal-hal yang merusak akal seperti minuman keras. Untuk menyelamatkan harta, Islam mensyariatkan misalnya hukum-hukum muamalah sekaligus melarang langkah-langkah yang akan merusaknya seperti pencurian dan perampokan. Untuk menyelamatkan keturunan Islam mengatur misalnya pernikahan dan melarang perzinahan. Perlu ditambahkan di sini bahwa ketentuan-ketentuan ini saling terkait. Upaya untuk melindungi agama berarti pula upaya melindungi jiwa, akal harta dan keturunan, begitu seterusnya.

Maqashid hajiyyat (tjuan-tujuan skunder) didefinisikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan  oleh manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang temasuk dalam kategori daruriyat, sebaliknya menyingkirkan faktor-faktor yang mepersulit usaha perwujudan daruriyyat. Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer. Maka kehadiran tujuan skunder ini dibutuhkan (sebagai terjemahan dari kata hajiyyat), bukan nicscaya (sebagai terjemahan langsung dari kata daruriyyat). Artinya, jika hal-hal hajiyyat tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurang sempurnaan, bahkan kesulitan, misalnya, untuk melaksankan ibadah shalat sebagai tujuan primer dibutuhkan berbagai fasilitas santara lain bangunan masjid. Tanpa masjid, tujuan untuk melindungi agama melalui shalat tidak lah rusak total, tetapi mengalami berbagai kesulian. Memang orang boleh saja sholat di medan perang, di atas batu karang atau di tepi pantai tanpa sajadah sekalipun, tetapi kehadiran masjid sangatlah membantu. Untuk menyelamatkan jiwa sebagai tujuan skunder melalui makan dibutuhkan peralatan makan, misalnya kompor, memang tanpa kompor manusia tidak akan mati karena masih dapat menyantap makanan yang tidak dimasak, tetapi kehadiran kompor melengkapi jenis menu yang datang dihidangkan. Terjadi berbagai kemudahan dengan kehadiran kompor. Untuk menyelematkan akal sebagai tujuan primer, Islam mencanangkan wajib belajar seumur hidup kepada umat Islam. Disini dibutuhkan berbagai macam fasilitas pendidikan anatara lain gedung sekolah. Memang tanpa gedung sekolah, perlindungan terhadap akal melalui proses belajar tidak akan musnah, tetapi mengalami banyak hambatan. Orang tentu saja dapat menambah pengetahuan misalnya dengan membaca buku baik di perpustakaan, ataupun dalam keadaan sedang bertani di sawah, juga dengan cara mendengarkan radio di pasar. Tetapi kehadiran sekolah sangat dibutuhkan bagi proses pencapaian tujuan melindungai akal yang dikemas secara canggih. Untuk melindungi harta sebagai tujuan primer, dibutuhkanlah peralatan, misalnya senjata api. Memang orang dapat saja melindungi hartanya dengan golok, pisau atau sumpit, tetapi senjata apilah lebih membantu.

Untuk melindungi keturunan sebagai tujuan primer melalui pernikahan maka dibutuhkan kelengkapan, misalnya dokumentasi (bukti tertulis) tanpa Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pihak yang berwenang mendokumentasikan perkawinan memang nikah bisa saja dilakukan, tetapi kehadiran KUA dengan berbagai  perangkat pelengkapnya justru akan lebih menjamin hak dan kewajiban para pihak khusunya ketika tejadi persengketaan. Maqashid tahsiniyyat (tujuan-tujuan tersier) didefinisikan sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah (sebagai terjemahan harfiah dari kata tashsinyyat; ornamental)  proses perwujudan kepentingan daruriyyat dan hajiyyat. Sebaliknya, ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika. skala prioritas terhakhir ini merupakan ruang gerak para seniman. Disini pilihan pribadi sangat dihormati jadi bersifat relative dan lokal sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Misalnya, apakah masjid yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni meneyelamatkan agama melalui ibadah mahdhah shalat itu akan diperindah dengan kubah model Istanbul, Madinah, Kairo, Jakarta (lambang segi lima dengan tulisan Allah di dalamnya), kecuali dibalik seperti yang terjadi di beberapa pedalaman Jawa, atau bahkan tanpa kubah sama sekali, diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Apakah kompor yang dibutuhkan  dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni, menyelamatkan jiwa melalui makan itu bersumbu delapan belas, kompor gas, kompor listerik atau kompor sinar surya diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Apakah gedung kampus yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni, menyelematkan akal melalui pendidikan itu berlantai dua, tiga, empat atau lima dengan dikelilingi atau tanpa taman bunga diserahkan kepada selera dan kemampuan lokal.

Apakah senjata api yang dibutuhkan dalam rangka merealisasikan tujuan primer yakni, melindungi harta melalui senjata api berlaras panjang atau pendek, buatan Indonesia atau AS, berwarna hitam atau putih dan seterusnya diserahkan kepada pilihan dan kemampuan lokal apakah kartu nikah yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan  tujuan primer yakni, menjaga keturunan melalui pernikahan itu berbentuk segi empat, segi lima, bunda atau segi delapan dengan warna-warna tertentu maka dsierahkan kepada rasa estetika  dan kemampuan likal (seluruh Indonesia atau tidak berbgantu pemerintah). Disini pilihan dan kemampuan pribadi sengaja diberi tempat demi menghindari mafsadat (kerusakan), yaitu hilangnya berbagai spesialisasi yang terkait. Jika semua kubah masjid diharuskan bermodel Arab, maka seni lokal membuat kubah tidak tumbuh. Jika semua kompor diharuskan seperti pada zaman Nabi, maka seni lokal membuat kompor tidak tumbuh. Jika kampus diharuskan seperti model Arab, maka seni lokal membangun kampus tidak tumbuh. Jika model senjata api diharsukan mengikuti model tertentu maka model lain tidak akan muncul. Jika bentuk kartu nikah diharuskan mengikuti model Arab maka seni lokal membuat kartu tidak muncul. Seni menjadi mandul, yang akan berakibat pada pembunuhan terhadap  sepisalisasi kreatif dengan berbagai lapangan kerja yang mungkin ditimbulkannya. Bagi Islam, beragama bukan berarti membunuh kreatifitas.

MAQASHID SYARIAH SEBAGAI METODE

Mesti diingat kembali bahwa problem utama yang  mendorong ulama untuk merumuskan berbagai teori dan metode ijtihad[1] adalah kenyataan abadi yang  dihadapi oleh Islam bahwa nash Al-Qur’an dan Hadis terbatas secara kuantitatif (jumlah), padahal peradaban (peristiwa hukum) selalu  berkemabang. Untuk itu, berbagai teori dan metode ijtihad pun dirumuskan oleh ulama untuk mengembangkan nilai-nilai nash yang terbatas ke dalam realitas yang tak terbatas, yang sayangnya kemudian cenderung diberi landasan teologis oleh umat sehingga terlihat sakral. Umat Islam terjebak  pada alam idola. Mereka  menganggap bahwa penafsiran seorang imam, mazhab atau organisasi bersifat “ilahi”. Ketegangan dengan berbabgai akibatnya pun terjadi karena umat Islam ingin berbicara pada Allah (beragama) dengan bahasa Allah, padahal Allah berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia ( kecuali dalam masalah-masalah ketuhanan). Hukum Islam pun tidur panjang, di samping banyak korban berguguran demi pendapat seorang imam, mazhab atau organisasi,. Sebagai metode, maqashid syariah disini dimaksudkan sebagai pisau analisa atau kacamata untuk membaca kenyataan yang ada di sekliling kita. Contoh-contoh yang akan dikemukakan dikaitkan dengan tujuan-tujuan primer yang didampingi oleh tujuan skunder dan tujuan tertier.

Untuk menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah, misalnya haji, demi kelancaran pelaksanaan tujuan primer ini dibutuhkan fasilitas haji, misalnya trasnportasi. Tanpa transportasi, orang masih dapat menunaikan ibadah haji, tetapi akan menhadapi masalah besar. Kalau harus berjalan dari Kairo ke Madinah dan Mekkah, misalnya maka akan memakan banyak waktu, biaya dan tenaga. Jika berjalan kaki di padang pasir sepanjang jalur ini  dapat berakibat fatal, maka transportasi disini tidak lagi dibutuhkan tetapi meningkat menjadi niscaya (daruri), karena pelaksanaan ibadah tidak boleh berarti bunuh diri. Pada tahap tertier, maka transportasi yang akan digunakan diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Disini akan terjadi variasi, mungkin ada yang memilih jalan darat dengan naik onta, mobil atau kereta api. Mungkin ada yang memilih jalur laut dengan naik perahu layar, kapal apai atau kapal selam. Sebagaian mungkin lebih suka menggunakan jalur udara dengan naik pesawat Boeing atau yang lain. Measing-masing berdasarkan pada pertimbangan estetika dan kemampuan lokal. Disini tampak jelas bahwa pengharusan penggunakan jalur dan jenis kendaraan tertentu dapat menimbulakan mafsadat. Terbunuhnya banyak spesialisasi dan lapangan kerja dibidang transportasi. Jika dalam pelaksanaan ibadah haji yang sudah diniati demi ketaatan kepada  Allah dan dengan pilihan yang terbaik ini pelaku meninggal dunia karena satu dan lain sebab. Maka dia dinyatakan sebagai salah seorang syuhada.

Untuk menyelamatkan jiwa, Islam mengharuskan manusia menjaga kesehatan. Demi kelancaran proses perwujudan tujuan primer ini dibutuhkan berbagai sarana, misalnya olahraga. Tanpa olahraga, orang bisa saja menjaga kesehatan, contohnya dengan cara makan dan tidur yang teratur, tetapi kehadiran olah raga akan membantu menyempurnakan kedua sikap diatas. Pada tahap tertier, olahraga yang akan dipilih diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal dengan berbagai variasi. Mungkin ada yang memilih olah raga darat seperti bulu tangkis, sepak bola, karate, atau menggabungkan semuanya.  Mungkin ada yang memilih olahraga air seperti renang, menyelam, dayung, selancar angin, atau menggabungkan semuanya. Mungkin juga ada yang memilih olahraga dirgantara semisal terjun payung, layung gantung, akrobatik udara atau menggabungkan semuanya, masing-masing pilihan diserahkan pada rasa estetika dan kemampan lokal, karena pengharusan menggunakan jenis olahraga tertentu akan menimbulkan mafsadat; terbunuhnya banyak spesialisasi dan lapangan kerja di bidang olahraga. Jika dalam pelaksanaan olahraga yang sudah diniati demi ketaatan kepada Allah (yaitu menjaga kesehatan) dan dilakukan dengan pilihan terbaik yang dapat ditempuh ini, jika pelakunya meninggal  dunia karena satu dan lain sebab, maka ia berstatus sama dengan orang yang beribadah haji dan  meninggal di jalan Allah; Mati Syahid.

Untuk menyelematkan akal, Islam mengharuskan manusia belajar di sepanjang hayatnya. Demi kelancaran proses perwujudan tujuan primer ini dibutuhkan lembaga pendidikan, misalnya pembidangan dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Tanpa spesialiasi, proses penyelematan akal masih  bisa dilakukan, seperti yang sudah disebutkan di atas, tetapi akan muncul banyak penghambat. Pada tahap tertier, jenis spesialisasi  yang akan dipilih diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Mungkin ada yang akan memilih dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas ( SMA), sarjana, magister, hingga doctor dalam bidang sosal dengan berbagai macam variasi jurusan dan ke ahliannya. Mungkin ada yang memilih sekolah kejuruan dari TK, SD, Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA/SMK) sarjana, magister, hingga doctor ekonomi. Masing-masing diserahkan kepada minat dan bakat lokal, karena pengharusan bidang  tertentu akan menimbulkan mafsadat; terunuhnya spesialisasi dan lapangan kerja dibidang spesialisasi sendiri. Jika dalam melaksanakan kewajiban yang diniati secara ikhlas demi ketaatan kepada Allah (yaitu menyelematkan akal ini) pelakunya meninggal dunia karena satu dan lain sebab maka ia termasuk salah seorang syuhada.

Untuk menyelamatkan harta, Islam mengharuskan orang mengetahui ilmu bela harta. demi kelancaran proses perwujudan tujuan primer ini dibutuhkan fasilitas bela  harta, misalnya bank sebagai tempat menyimpan uang. Tanpa bank , penyimpanan uang tetap bisa dilakukan misalnya di bawah tilam, di dalam celengan, atau dikubur di suatu tempat. Namun demikian, kehadiran bank sangat membantu si pemilik dari banyak kemungkinan yang akan mengganggu, baik itu perampok, maling atau bahaya lain semisal kebakaran. Pada tahap tertier, pilihan untuk menentukan bank diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal. Mungkin sebagian orang akan memilih bank pemerintah, dengan alasan keamanan yang lebih terjamin. Mungkin sebagian akan  memilih bank swasta umum, dengan alasan gengsi atau yang lain. Juga tidak menutup kemungkinan ada orang yang akan lebih suka memilih  menyimpan uangnya di bank bank swasta Islam karena  perhitungan membantu amal Islam di samping mungkin karena jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal atau kantornya. Pengharusan menyimpan uang di tempat tertentu akan menimbulkan mafsadat; terbunuhnya  spesialisasi dan lapangan kerja perbankan. Jika dalam melaksanakan kewajiban menyelematkan yang disertai dengan niat yang ikhlas demi ketaatan pada Allah, ini meninggal dunia karena mempertahankan hartanya dari serangan orang lain maka ia adala seorang syuhada.

Untuk menyelamatkan keturunan, Islam mengharuskan orang tua memenuhi hak-hak anak, misalnya hak mendapatkan perawatan yang banyak. Demi kelancaran tugas primer di butuhkan  berbagai fasilitas perawatan. Pada tahap tetier, pilihan untuk menentukan fasilitas diserahkan kepada rasa estitka dan kemampuan lokal. Sebagian orang mungkin akan memilih bahan-bahan produk dalam negeri, ada yang dengan merek-merek tidak terbatas, untuk melindungi tubuh anak mereka karena perhitungan dan kebanggan nasional. Sebagian lain mungkin akan memilih bahan-bahan  produk luar negeri, ada yang dengan merek-merek terbatas tetapi ada yang tanpa batasan merek karena sreg, di samping punya uang. Sebagian lagi mungkin memilih produk kombinasi, sebagian dalam negeri dan sebagian luar negeri dengan berbagai macam merek dan modelnya karena pertimbangan tertentu.
Penutup

Maqashid Syariah sebenarnya merupakan metode yang luar biasa untuk mengembangkan nilai dan ruh hukum Islam ke dalam berbagai peristiwa. Namun kemudian, teori ini mengalami nasib yang sama juga menimpa teori-teori lain dalam bidang hukum Islam. Degradasi umat lebih banyak menghapal, dengan contoh-contoh lama, ketimbang menggunakannya sebagai pisau analisa dengan mengajukan contoh-contoh baru. Bahkan sakralisasi menyebabkannya menjadi beban sejarah. Upaya-upaya memperkenalkan kembali teori inipun kandas, dikarenakan faktor bahasa dan persepsi yang miskin. Para pembaharu Islam di Indoensia jatuh pada bayang-bayang masa lalu dan wibawa ulama Timur Tengah. Sebagi akibatnya, ibadah sama dengan anti peradaban, padahal teori maqashid syariah membuktikan bahwa beribadah sama dengan membangun peradaban. Pengembangan teori ini tidak bisa ditunda-tunda lagi, agar kita tidak menjadi umat yang wawasan sempit dan egois, apa-apa haram...apa-apa bidah. Walau pada mulanya memberantas bidah adalah utama, tetapi imam Syatibi keluar dengan teori yang gemilang melalui buku Al-Muwafaqat justru disaat peradaban Andalusia Islam menjelang pudar. Semoga kita mengerti!

* Prof. Yudian Wahyudi, as Director in  Sunan Kalijaga Islamic State University of Jogjakarta


* sumber : Hukum Islam antara Filsafat dan Politik (hlm63-74}



[1]Yaitu suatu kegiatan secara sungguh-sungguh untuk menggali, menemukan, dan membuat keputusan hukum yang tepat dan terbaik bagi kebaikan dan keberlangsungan hidup manusia sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

Jalan Kerja