Hukum Menikah Karena Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
ilustrasi: mohon ampun dan berserah diri pada Allah (dok.pribadi) |
Pendahuluan
Kita berlindung kepada Allah dari godaan syaithon yang terkutuk. Sebab setiap orang tidak akan pernah lepas dari dosa dan dosa, khilaf dan salah, dalam hidup di dunia ini. Apalagi zaman sekarang, dimana batas antara satu tempat dengan tempat lainnya begitu dekat, jarak tidak menjadi masalah, komunikasi bisa berlangsung dua arah, dan media sosial berkembang pesat.
Seiring berkembangnya teknologi, maka semua menjadi mudah. Tidak terkecuali dengan kedekatan antara wanita dan laki-laki bisa terjalin melalui media sosial. Bisa dimanfaatkan untuk berbisnis, saling bersahabat, berdiskusi, dan tentu saja memperbanyak saudara sahabat. Tapi tak jarang juga media sosial menjerumuskan pada perbuatan salah, perbuatan yang menimbulkan mala petaka, zina, narkoba, dan lain sebagainya.
Kasus-Kasus Aborsi
Tahun 2017 lalu, seorang siswi SMK membunuh anak yang baru dilahirkannya karena anak itu adalah hasil hubungan diluar nikah. Ia dihamili oleh laki-laki yang baru dikenalnya melalui media sosial. Karena laki-laki itu tidak bertanggung jawab maka, ia nekat membunuh anak tersebut[1].
Polisi kemudian menetapkannya sebagai tersangka dengan mengenakan pasal 80 ayat 3 UU No 35 Tahun 2014 dan 341 KUHP Pasal 1 angka 1 UU RI No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.[2] Tentu saja hal ini sangat ironis. Sebab masa depan siswi tersebut menjadi hancur, keluarga menjadi tidak terhormat, dan tentu saja hilang rasa keadilan bagi dirinya sebab laki-laki yang menghamilinya tidak di sanksi apapun.
Kita perlu melihat “maraknya kasus kehamilan diluar nikah/ kehamilan yang tidak diinginkan (KTD)” dalam perspektif yang berbeda. Saya ajak anda melihat data Wordl Helty Organization (WHO)/ organisasi kesehatan dunia, seputar kasus aborsi di dunia dimana aborsi dilakukan salah satunya karena KTD.[3]
..Berdasarkan penelitian WHO, ditemukan tingkat aborsi secara global yaitu 28 kasus dari 1000 kehamilan dalam 1 tahun. Yang cukup mencengangkan, presentase kasus aborsi yang dilakukan secara sengaja tanpa bantuan tim medis yang terlatih melonjak dari 44 persen menjadi 49 persen. Setiap tahun, satu dari setiap empat kehamilan berakhir dengan aborsi, begitu perkiraan yang didasarkan studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institut Guttmacher. Laporan yang dimuat Lancet menyebutkan sebanyak 56 juta perempuan melakukan aborsi setiap tahun..[4]
Sementara itu di Indonesia, kasus demi kasus kehamilan di luar nikah kian marak, terutama di kalangan remaja. Tercatat Jumlah kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 persen di antaranya dilakukan oleh para remaja. Cobalah kita tengok case di salah satu kota besar Indonesia, tepatnya Yogyakarta. Dimana menurut data yang ada pada tahun 2016-2017 satu dari 1.000 remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) atau hamil di luar nikah. [5]
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY mencatat jumlah remaja di DIY sebanyak 834.922.Kategori remaja adalah orang berusia 10-24 tahun sesuai dengan WHO. Sementara jumlah KTD yang terjadi dan tercatat sampai akhir 2015 sebanyak 976 kasus. Luh Putu Ikha Widani seorang peneliti dari Kita Sayang Remaja (Kisara) Bali di Denpasar Bali pernah melakukan pengamatan. Ia mengatakan, survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan, KTD mencapai 37.000 kasus, 27 persen di antaranya terjadi dalam lingkungan pranikah dan 12,5 persen adalah pelajar.[6]
Solusi Islam
Tentu sangat bahaya bagi perkembangan generasi bangsa di masa depan. Dalam Hukum Islam kita mengenal dua kemungkinan untuk kasus-kasus seperti ini: 1) kehamilan diluar nikah merupakan satu perbuatan zina dan termasuk salah satu dosa besar. 2) menikahkan anak yang sudah hamil diluar nikah dengan siapa yang menghamilinya, karena pertimbangan lebih banyak maslahatnya kalau dinikahkan daripada harus digugurkan anak dalam kandungan perut ibunya.
Lalu bagaimana hukumnya menikah dengan wanita yang hamil diluar nikah? Pertanyaan ini tentu saja menjadi satu hal yang mendasar. Sebab acapkali timbul rasa berdosa dalam diri orang tua si wanita, bahkan sampai tidak bersedia menjadi walinya dalam nikah. Hal tersebut adalah satu kewajaran, tapi tetap kita mesti mengedapankan kepentingan dan keberlangsungan hidup anak. Agar ia tak kehilangan masa depannya, juga tidak mengulangi perbuatannya di masa depan, bagi generasi penerus keluarga dan siapapun juga.
Saya kutipkan penjelasan Prof. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab, menyatakan “pada dasarnya, pria yang menikahi wanita yang pernah dizinai hukumnya sah-sah saja.[7] Anak yang dikandungnya dinilai anaknya bila dia lahir setelah enam bulan dari masa akad nikahnya, dan bila kurang dari enam bula si suami wanita itu mengakui anak yang dikandung sebagai anknya-tanpa berkata bahwa itu anak zina-pengakuannyapun dibenarkan sehingga anak itu dinisbahkan namanya.” Tapi sebaiknya tentu perbanyak mohon ampun kepada Allah atas dosa zina yang dilakukan. [8]
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hukumnya menikahkan anak yang sedang hamil? Salah satu pertanyaan yang menarik untuk kita kaji. Saya sangat teliti membaca penjelasan Prof. Qurais Shihab untuk pertanyaan yang satu ini. Rasa penasaran saya menjadi begitu tinggi, karena mungkin saja diantara lingkungan kita ada kasus-kasus seperti ini, yang luput dari pengetahun kita. Mari kita beristigfar.., dan memohon kepada Allah agar kita terhindar dari hal-hal semacam ini, aamiin.
Beliau mengutip beberapa pendapat imam: A. Imam al-Qurthubi menafsirkan firman Allah swt..”lelaki penzina tidak menikahi kecuali wanita penzina atau wanita musyrik dan wanita penzina tidak dinikahi kecuali olwh lelaki penzina atau musyrik (QS, an-Nuur (24); 3)”, beliau menafsirkan ayat ini dengan hadist Nabi SAW dari Ibnu Abbas “seorang yang dinikahi wanita telah dizinainya, perkawinannya diniali sah” pendapat ini senada dengan pendapat dari Imam asy-Syafii dan Abu Hanifah.[9] B. Pendapat kedua dari Abdullah Bin Mas’ud, beliau menilai perkawinan itu tidak sah dan yang bersangkutan terus menerus dinilai berzina. Imam Malik yang menganut pendapat ini menilai bahwa si penzina tidak boleh menikahi wanita yang telah dizinai kecuali jika si wanita itu telah suci dari dan terbukti tidak hamil. Ini karena pernikahan adalah sesuatu yang suci dan memiliki kehormatan.[10] Hal ini antara lain tercermin dalam keharusan memelihara kesucian itu dengan tidak mencampurkannya dengan sperma yang kotor. Sperma yang dituangkan tanpa melalui pernikahan yang sah adalah sprema yang kotor, maka wadahnya harus terlebih dulu dibersihkan agar yang bersit itu tidak bercampur dengan yang kotor. [11]
Kesimpulan
Maka dari kedua pandangan ini, kita bisa mengetahui bahwa menikahkan anak yang sudah hamil duluan, terdapat dua pendapat. Satu menyatakan boleh, satu pendapat melarangnya. Tinggal kita melihat konteks yang lebih luas demi keberlangsungan masa depan anak, agar tidak tertekan secara psikologis dan berujung pada pengguguran kandungan, yang jauh lebih besar mudharatnya. Tapi tentu saja yang lebih utama adalah mencegah, agar para generasi remaja dan pemuda tidak terjerumus dalam lembah kemaksiatan.
Kepustakaan
Shihab, Quraihs M., M. Quraish Shihab Menjawab “1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui”, Tangerang Selatan; Penerbit Lentera Hati, Cet.XIV, 2014
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160512_majalah_kesehatan_aborsi
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih