SITUASI YANG MEMANDEGKAN



Nampaknya pikiran saya sudah mulai jenuh, mulai kehilangan imajinasi dan daya nalar untuk menulis tentang berbagai macam hal. Ya..coba saja anda perhatikan blog ini, lebih dari dua bulan tidak ada tulisan yang terpublis. Tidak ada tulisan inspiratif yang saya telurkan, tidak ada analisis kasus yang saya kemukakan, tidak ada teori ilmiah yang saya sampaikan, dan tidak ada opini-opini yang saya buat dalam sebuah artikel.

Saya juga mulai heran, lulus kuliah S2 sepertinya bukan menjadi awal yang baik bagi karir kepenulisan saya. Ketika saya bercita-cita jadi seorang ilmuwan maka saya berharap bisa melakukan analisis-analisis kecil untuk di deskripsikan menjadi sebuah tulisan dan alternatif solusi atas permasalahan tertentu yang coba dibahas. Tapi belakang hari, entah kesibukan apa yang menyertai diri saya hingga tak satupun tulisan mampu saya kemukakan.

Sebuah situasi yang memandegkan diri saya, jiwa dan pikiran saya. Saya seolah-olah seperti anak SD kelas 1 yang tidak memiliki banyak diksi untuk disusun jadi kalimat. Analisis-analisis publik saya kehilangan arah, cuma terpendam dalam pikiran setelah itu berlalu begitu saja karena tidak bisa terakomodir dalam bentuk tulisan.

Orang bilang saya harus semakin banyak membaca, maka saya lakukan itu. Nyatanya semakin banyak membaca tidak membuat saya semakin banyak menulis, justru menjadi kehilangan akal untuk menulis tentang satu hal yang ringan dan renyah. Atau menulis hal-hal kecil yang sifatnya keseharian tapi menginspiratif. Dilain sisi saya juga semakin banyak berkeliling mengambil foto dari satu lokasi ke lokasi lain, dan  berfikir tentang bagaimana menceritakannya dalam sebuah tulisan, tapi tak kunjung bisa saya buat juga. Aneh memang ketika ini yang terjadi pada saya, hampir-hampir saya kehilangan ruh ilmiwan dalam jiwa kepenulisan saya.

Tidak banyak diksi yang saya kuasai. Rupanya lingkungan sangat mempengaruhi. Bahwa semakin lama saya tinggal di kampung ini semakin hilang jati diri saya sebagai orang yang terbiasa menulis, yang memiliki sikap kompetitif untuk berliterasi, dan tentu saja analisis-analisis ilmiah saya semakin tak jelas. Apakah saya orang hukum, orang yang bergelut dalam bidah hukum Islam (Syariah), seorang guru sekolah, seprang guru ngaji (ustadz), atau seorang pendamping relawan, ataukah apa..?

Membingungkan kepala saya sendiri. Dalam lelah saya berpikir tentang hal ini, hari ini saya mencoba untuk mengungkapkan semua resah itu. Dan berharap setelah diungkapkan, ilham untuk lebih banyak menulis, lebih banyak membaca buku, membaca koran, membaca Qur’an, membaca majalah, membaca jurnal, dan melakukan analisis-analisis deskriptif semakin tebal dalam hati dan pikiran saya.

Ketika kita tinggal dalam dunia non literasi dimana budaya masyarakat adalah budaya lingustik daerah, budaya hidup tanpa rencana dan tanpa target. akan mempengaruhi situasi dan mut (mood/ suasana hati) dalam diri kita. Sebab kita sedang berhadapan dengan realitas. Seharusnya realitas ini yang mampu kita tuliskan. Tapi saya belum cukup ilmu untuk membuat tulisan tentang realitas sosial masyarakat pedesaan yang harus menggunakan ilmu antropologis, sementara selama ini saya terbiasa dengan konsep dan teori kepustakaan yang literal, sehingga sebenarnya ada jawaban tersendiri kenapa beberapa bulan belakangan ini justru tidak banyak tulisan yang mampu saya kemukakan.  Disamping motivasi yang sudah mulai menurun, sebab seringkali saya bertanya, apa tujuan saya menulis..? pertanyaan yang tidak pernah saya temukan jawabannya.

Nampaknya saya adalah orang yang tak gampang menulis satu tema, melainkan harus sesuai dengan keahlian, rasa hati, dan tingkat kesenangan saya menuliskan hal itu. Seperti beberapa tahun lalu, ketika saya gandrung menulis tentang politik, sebab saya terbiasa dalam gerakan politik organisasi, dan gemar membaca korang. Ketika saya menjadi guru saya gandrung menulis tentang pendidikan di berbagai media massa, maupun di media pribadi saya. Tetapi kini setelah menjadi relawan pedesaan, saya justru kesulitan mengungkapkan diri untuk menulis tentang tema-tema pedesaan.

Saya tidak expert di bidang tulisan antropologis, sosial kemasyarakatan, dan budaya yang masih tradisional. Sehingga terjadi kekosongan diksi dalam ruang  ilmu dan pikiran saya. Baru beberapa bulan ini saya membaca buku-buku seputar kebudayaan, terutama kebudayaan Jawa. Seperti buku karangan Denys Lombard “Busa Jawa, Silang Budaya”, Thomas S. Rafles “The History of Java”, Nengah Bawa Atmaja “Genealogi Keruntuhan Majapahit”, dan bukunya M.C.Ricklefs “Mengislamkan Jawa”. Empat buku itu baru saya gandrungi.

Tapi tidak cukup untuk membuat banyak diksi dalam ruang pikiran saya. Sebab memang saya tidak pernah kuliah tentang kebudayaan. Baru setelah konsentrasi di Kampung Qur’an saya berharap bisa semakin dalam memahami soal budaya, konsekwensi ilmu hukum saya sedikit pudar, ilmu syariah saya semakin kehilangan bentuk, dan semua seperti gado-gado dalam alam pikiran saya. Dan hal ini sangat berpengaruh ketika saya tak bisa menuliskan sebutirpun kalimat sampai dengan detik ini.  

 Rukem:27/11/2018




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia