TRADISIONALITAS DALAM MASYARAKAT


Bentuk rumah, adat istiadat, keseharian, tingkat pendidikan, infrastruktur umum, dan pendapatan ekonomi, tak banyak yang berubah sejak dulu. Semua masih larut dalam tradisi yang menghambat arus zaman, terlalu nyaman dengan mitologi jaman kejayaan masa lalu dan tidak siap menerima perubahan moderintas yang lebih baik.
Seperti yang saya katakan diatas, rumah-rumah masih nampak seperti bentuk aslinya dari zaman sebelum kemerdekaan, beralantaikan tanah dan bertembok anyaman bambu. Semua memiliki prinsip hidup sederhana, wallohua’lam apakah itu betul-betul bentuk kesederhanaan ataukah karena keadaan memaksa (dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah overmacht) karena belum mampu bangkit secara ekonomi.
Kegotongroyongan memang masih kuat, namun itu juga serasa menghambat, sebab banyak urusan lebih penting yang tertunda karena urusan-urusan ritus yang minus urgensitas. Kita mengenalnya dengan beragam bentuk slametan atu kenduri baik utnuk anak yang masih dalam kandungan hingga kenduri untuk orang yang sudah dua tahun meninggal duni. Saya baru mengenal berbagai ritus kenduri itu disini, sementara ketika bertemen dengan banyak orang Jawa di luar daerah, tak begitu banyak yang saya tahu.
Apakah ini sebeuah keberuntungan...? ah.., rasanya tidak, sebab terlalu banyak keyakinan keagamaan saya yang bertentangan dengan ritus tradisional disini. Sesuatu yang masih mistis dan membuat saya prihatin namun sekaligus kagum. Orang paling berpengaruh disini dinamakan pak kaum. Kemampuan agamanya yang paling hebat (kata warga) sebab mampu mengimami sholat, memimpin tahlil, memberikan ceramah keagamaan pada bulan Ramadhan, dan menjadi pengurus jenazah ketika ada yang meninggal dunia, lebih dari itu karena pengaruh individunya yang telah terbukti dari sisi history.
Masalah keagamaan adalah satu hal yang tidak terlalu urgensional disini. Orang lebih memilih untuk nongkrong di gardu daripada mengisi waktu di musholla, lebih memilih menghabiskan malam di sanggar seni daripada membaca Qur’an dari selesai Isya sampai jam 12 malam. Ada sejumlah buku diperpustakaan musholla namun sepertinya jarang sekali tersentuh tangan-tangan mereka. Banyak orang cuma mengenal dua bacaan disini yaitu barzanzi dan yasinan, bahkan ada yang tidak mengenal sama sekali. Selebihnya tidak ada yang mampu difahami.
Apakah semua itu percuma...? kita tidak bisa menyimpulkannya hari ini. Tradisi telah menjadi semacam pengikat yang mengekang. Banyak anak muda kampung yang pergi merantau keluar mencari pengalaman dan kejayaan ekonomi, terutama ke kota besar. Tapi sebagian mereka ketika kembali tetap terpasung dengan tradisi. Tingkat produkfitas juga terbilang rendah, walaupun semuanya pekerja keras, tapi tak banyak inovasi yang dilakukan. Dalam damainya suasana kampung, para warga terbagi dalam sekte golongan masing-masing. Ada yang mengkelaim diri dengan lebel budaya ada juga yang mengkelaim diri dengan lebel keagamaan.
Menuliskan semua ini, tentu tidak bermaksud untuk menjelekkan suasana disini. Tetapi sebagai bahan refleksi kita bahwa hal-hal urgensional seringkali dikesampingkan. Kenapa tidak berusaha untuk merubah diri dan generasi, mencoba keluar dari tradisi yang membekukan dan menciptakan hal-hal baru. Mungkin keadaan disini ini semacam kesepakatan yang tak tertulis. Inovasi seringkali mandeg disini, sebab mereka baru mengenal agama, dan lebih banyak terbuai dengan nostalgia tradisi masa lalu.
Ada ritual-ritual tradisional yang katanya ditujukan untuk Allah, namun tentu itu bukan ibadah utama. Orang disini gemar sekali membuat acara syukuran dan slametan, dengan cara membuat kenduri mengundang tetangga mendoakan dan membagi makanan berupa bese’an berisi nasi, ayam goreng, dan beberapa lauk pauk dari tempe yang dikasih siraman sambal khas Jawa. Tetapi mereka lupa bahwa cara beryukur yang paling utama adalah menjalankan sholat lima waktu, membaca Qur’an, dan berdoa, lalu bersholawat.
Tradisional mistik.., menjadi semakin kental karena aroma feodalisme masih mengikat. Semua menggantungkan diri pada satu orang tokoh. Padahal zaman sudah berubah, generasi juga sudah semakin baik, tetapi sikap feodalisme ini masih begitu lekat. Bagi dia yang menentang akan dikucilkan. Anak-anak muda dan remaja hanya dijadikan obyek kelas 2. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk berkembang, dengan alasan mereka belum berpengalaman. Padahal di Masjid-masjid kota yang ada di Jogjakarta seperti masjid Jogokaryan misalnya, berbagai event nasional mengedapankan anak muda sebagai panitianya.
Disini semua dalam koridor koordinasi para tetua. Sementara para tetua yang ditokohkan takut sekali membuat inovasi untuk mengedepankan anak muda dan remaja. Hegemoni dan rasa serba bisa membuat  sikap seperti ini tumbuh subur pada dirimereka. Terlebih rasa kehilangan harga diri lebih mankutkan mereka daripada mengedapankan kreasi anak muda remaja yang beresiko namun baik untuk masa depan kampung ini. Jadilah kebanyakan anak muda tak berani aktif sebagai aktifis keagamaan. Ada yang menentang tradisi dengan cara menjadi ini dan itu, dianggap dan direndahkan dengan kata-kata yang tak seharusnya keluar. Stigma dalam hatinya yang sudah terbangun ini, menjadikan inovasi dan kreasi masyarakat susah bergerak maju.
 Semua itu adalah tantangan tersendiri bagi saya disini. Sesungguhnya jauh lebih berat dari yang saya bayangkan. Beruntunglah sikap “manut” menjadi alternatif solusi pengambilan keputusan. Bayangkan saja..., bagaimana kita tidak mengatakan semua itu semu. Panitia muludan terbentuk, tapi ketua tidak punya jangkauan kekusaan untuk menggerakkan. Ia terpilih sebagai formalitas belaka. Maka sampai kapanpun tak akan ada generasi pengganti yang lebih kompeten ketika daya jangkau sebagai ketua panitia tidak di bebaskan. Semua itu karena takut mengambil risiko.
Tidak pernah ada ukuran kesuksesan, dan evaluasi untuk rekomendasi yang akan datang. Semua memang ada pembubaran panitia, tapi tak lebih dari seremonial belaka. Maka tidak mengherankan, pola yang pinter tambah pinter tetap berlaku. Masyarakat disini belum siap menerima perubahan masa depan dan perubaha moderenitas yang lebih baik. Kedepan tentu saya berharap akan ada lebih banyak anak muda (lokal) yang memiliki sikap  kritis  dan kepekaan untuk merubah lingkungan kampungnya. Saya mengapresiasi terpilihnya salah satu anak muda perempuan sebagai Bayan (kepala lingkungan disini), sebab itu mendobrak tradisi, juga akan lebih banyak kreasi inovatif yang akan terjadi Insya Allah. Sudah tidak zamannya lagi mengedepankan formalitas, melainkan substansi kebijakan untuk masyarakat yang lebih maju dan sejahtera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia