AMANAH BARU, DAN KEPEMIMPINAN



Kepala Sekolah

            Beberapa hari ini saya mengalami satu perasaan dilematis. Perasaan bercampur aduk sebab suatu tanggung jawab besar akan saya emban, sedangkan kapasitas dalam diri serasa belum mampu untuk mengemban amanah sebesa itu. Kurang lebih satu bulan yang lalu, saya bertemu dengan pak Suryadi Jaya Purnama dan Bu Nuryanti Tajudin pengelola yayasan As-Syamil. 

            Dua nama yang sudah lama saya kenal. Karena mereka adalah keluarga besar saya di KAMMI NTB. Tapi bukan tentang KAMMI yang ingin saya ceritakan disini. Melainkan tentang satu rencana mendirikan sekolah menengah pertama (SMP). Singkat cerita, saya kemudian menerima amanah sebagai kepala sekolah SMPIT yang akan di dirikan. Sebelum menyanggupinya, saya mengatakan bahwa saya masih miskin ilmu, masih ingin belajar, dan belum mempunyai banyak pengalaman terkait kepemimpinan sebagai kepala sekolah. 

            Kepala sekolah bagi saya adalah satu amanah yang baru. Tahun lalu saya menjadi seorang guru relawan dengan tugas tambahan sebagai team leader di daerah. Kini setelah pulang dari penempatan, amanah tersebut bertambah lebih besar, tidak hanya menjadi guru, tapi juga menjadi seoarng kepala sekolah.

            Pengalaman sebagai team leader ketika di SGI dulu, atau pengalaman sebagai ketua DPM, maupun sebagai ketua komisariat, belumlah cukup bagi saya. Sebab setelah merenungi tulisannya Rhenald Kasali tentang kepemimpinan. Saya berkesimpulan bahwa selama ini saya hanya menjadi seorang atasan, bukan sebagai seorang pemimpin. 

            Dalam tulisannya Rhenald Kasali menyatakan kita mesti rada jeli dalam memahami konsep pemimpin dan kepemimpinan. Kita mungkin saja punya banyak pemimpin, tapi miskin kepemimpinan. Berikut saya kutipkan konsep yang beliau utarakan.

Atasan vs Pemimpin 

Kita sebenarnya bisa dengan mudah menemukan mana yang atasan dan mana yang pemimpin. Ciri-cirinya sederhana. Pertama, pemimpin selalu menjadi orang pertama yang bertanggung jawab kalau ada sesuatu yang salah. Dia bukan saja berani mengakui bahwa dirinya bersalah kalau memang bersalah, tapi juga siap menanggung segala risikonya.

Kalau ada masalah, dialah orang yang pertama kali tampil di depan. Bagaimana dengan atasan (dan juga bawahan)? Sebaliknya. Kalau ada yang salah, dia malah sembunyi dan sibuk mencari-cari siapa saja pihak yang bisa disalahkan. Pokoknya jangan sampai dia yang disalahkan. Harus orang lain. Itu ciri pertama.

Ciri kedua, seorang pemimpin biasanya juga tidak berusaha agar dirinya kelihatan menonjol dan menjadi yang terbaik. Justru sebaliknya, dia lebih suka untuk memberikan kesempatan kepada bawahannya agar merekalah yang terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Mengapa? Simpel saja. Seorang pemimpin tahu persis bahwa keberhasilan bawahannya adalah keberhasilan dirinya. Jadi, buat apa repot-repot menonjolkan diri.

Kalau atasan? Sebaliknya, dia justru akan berusaha terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Peduli setan kalau kinerja bawahannya pas-pasan. Atasan yang semacam ini selalu sibuk mencari cara agar hanya dirinya yang terlihat menonjol. Gayanya main perintah. Ketiga, pemimpin biasanya rendah hati dan sederhana. Ia tidak gengsi untuk berbaur dengan bawahannya.

Kalau bertemu bawahan, ia tak segansegan untuk menyapa terlebih dahulu. Kalau atasan? Ah, Anda tahulah gayanya. Kalau ketemu bawahan, ada yang pura-pura buang muka atau menunggu disapa lebih dulu. Keempat, seorang pemimpin biasanya tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan kepentingan organisasinya. Ia tahu bagaimana caranya menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadinya dengan kepentingan organisasi.

Kalau atasan? Jelas, kepentingan pribadinya yang dia utamakan. Peduli setan dengan kepentingan organisasinya. Kelima, pemimpin yang baik selalu mengutamakan musyawarah sebelum membuat keputusan. Ia selalu mendengarkan dulu masukan dari bawahannya, baru setelah itu mengambil keputusan. Kalau atasan?

Dia lebih suka mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Maaf, kata ”pertimbangan” mungkin masih terlalu baik. Saya ganti saja, ”Dia akan mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan ”selera” sendiri. Lebih cocok, bukan? Keenam, pemimpin adalah seseorang yang berani membuat keputusan yang sulit.

Berani menyampaikan kabar buruk, meski dengan risiko popularitasnya bakal turun. Kalau atasan? Dia tidak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Sukanya hanya menyampaikan kabar baik, supaya popularitasnya naik terus. Padahal, perjalanan organisasi tak selamanya selalu bergerak ke atas. Bisa saja suatu ketika roda organisasi berada di bawah. Bahkan sampai di titik nadir.

Pemimpin vs Kepemimpinan 

Untuk bisa menjalankan perannya sebagai pimpinan, seorang pemimpin mesti memiliki kemampuan untuk memimpin. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan. Anda merasa ruwet? Saya coba dengan definisi yang ini: Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi seseorang atau kelompok agar dia atau mereka mau melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu.

Nah, supaya bisa mengajak seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu, seorang pemimpin yang akan menjalankan peran kepemimpinannya mesti memiliki beberapa hal. Pertama, kekuasaan. Apa jadinya seorang pemimpin tanpa kekuasaan? Dia tidak akan bisa memaksa orang lain untuk menjalankan perintahnya. Tapi kekuasaan itu apa sih ?

Apa selalu karena menjabat? Bagaimana kalau ia tak lagi menjabat? Punyakah ia reputasi? Keahlian? Kehormatan? Kedua, wewenang. Ini adalah hak mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Kita, melalui UU atau regulasi lainnya, mesti memberikan hak yang paling mendasar ini. Bayangkan seorang pemimpin tanpa wewenang, dia pasti tak akan bisa membuat keputusan atau mengambil kebijakan tertentu.

Ketiga, pengaruh. Jelas seorang pemimpin mesti memiliki pengaruh. Dengan pengaruhnya, seorang pemimpin akan mampu membuat orang lain atau sekelompok orang tunduk dan mau mengikuti kepemimpinannya.

Keempat, pengikut. Seorang pemimpin yang berpengaruh pasti akan mempunyai banyak pengikut. Mereka inilah yang bersama-sama dengan pemimpinnya akan membawa organisasi bergerak untuk mewujudkan tujuannya. Itulah kurang lebih wawasan yang saya tawarkan tentang pemimpin dan kepemimpinan.

Mengawali Karir

            Bagi rekan-rekan yang dulu pernah menjadikan saya sebagai pemimpin, saya banyak belajar dari kalian. Walaupun demikian tetap saja saya mesti lebih banyak belajar lagi. Karena mau tidak mau kita tetap akan menjadi seorang pemimpin, minimal di ranah keluarga.

            Maka amanah sebagai kepala sekolah, yang Insya Allah akan saya mulai pertengahan tahun ini, menjadi tonggak awal karir baru saya pasca SGI. Sekali lagi, saya tidak ingin hanya menjadi seorang atasan saja, tapi pemimpin yang tepat. Allohummagfirli.. Aamiin.

Masbagik, 12/04/16


Note: Referensi tulisan dari Rhenald kasali di www.rumahperubahan.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia