Nasehat Ibnu Atha Illah al-Iskandari Untuk Saya


Sejak lulus dari kampus Pascasarjana UII pada bulan Mei lalu saya berfikir untuk menemukan jalur pekerjaan professional. Seperti misalnya menjadi dosen atau sebagai pegawai swasta pada bidang hukum baik di perusahaan ataupun di lembaga penegak hukum seperti advokat. Demikian juga ketika kemudian lebih memikirnya matang-matang, saya merencanakan terlebih dahulu untuk menjalani pendalaman bahasa Inggris dan pendidikan khusus advokat.
Bulan bulan ini, dua rencana itu belum bisa diimplementasikan. Saya masih harus fokus pada program pemberdayaan saya di kampung qur’an rukem, berdakwah disini dan menjadi sumber inspirasi bagi anak-anak. Walaupun kadang rasa jenuh itu kerap kali muncul, sebab saya merasa ingin mendapatkan sesuatu yang baru.
Ditengah tengah keinginan untuk maju itulah, tiba-tiba hari ini saya menemukan sebuah nasehat yang luar biasa dari grand masternya guru sufi yaitu Ibnu Atha Illah al Iskandari dalam kitab Al-Hikam yang di ulas oleh syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati. Berikut ulasannya.
Sikap Orang Airf Ketika Dianugerahi Ahwal Tajrid Dan Ahwal Isytighal
Keinginan untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur. ( Ibnu. Atha Illah al Iskandari)
Tajrid adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi di mana seorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan. Seperti bekerja atau berdagang.
Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kaujalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
Dianggap “syahwat” kareana kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehedakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginamu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang  sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri muird itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.
Sebaliknya, keinginamu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah. Misalnya dengan dipenuhinya sandang dan pangamu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai  meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah denga tekun, maka sikap seperti iu sama saja mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada sang Khalik.
Sebenarnya berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karea itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan Allah) ialah tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri yang akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karana bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah, naudzu billah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

Jalan Kerja