PERMINTAAN MAAF

ilustrasi (dok.pribadi)
Senyum itu telah memudar, wajah ceria itu makin mengkerut, rona-rona bahagia itu seperti tak nampak lagi padanya. Tidak ada sapa dan senyum indah yang biasa datang di pagi saat mentari mulai menunjukkan senyum manisnya, menyapa melalui chatting singkat di pesan whatsap. Rasa kian rindu sangat mengalir deras dalam hati diri ini dengan sosok yang biasa melepas senyum itu, namun kini diri bertanya ada apa gerangan dengan dikau? dan  hatipun kian bertanya salah apa yang telah terbuat, hingga tak sudi lagi  menyapa dengan indah.

Kebingungan hati makin menjadi-jadi, sebab aplikasi whatsapnya seolah tertutup dan tak pernah di buka kembali. Atau bukan ditutup melainkan menutup diri, kini ia telah akan benar-benar pergi dan tak kembali lagi. Pergi sejauh yang dia inginkan, tak ada pamit pun juga salam perpisahan.

Hati makin menjadi-jadi, rasa bersalah nan dalam jelas sangat terasa. Tak sudikah ia memaafkan kesalahan, yang barangkali terucap, terlaku, dan terjadi atas ketidaksengajaan, tanpa pernah bermaksud menimbulkan rasa sakit dalam hati. Atau memang karena sengaja yang mengulang-ulang itu, hingga ia tak lagi percaya.

Kini nampaknya Tuhan lagi bercanda dengan menguji renggangnya relasi diri, tentu saja ini adalah sikap serius yang tak dapat terbantahkan. Teori psikologi apapun tentang sikap manusia seolah menjadi terpental ditangannya. Maaf dan izinkan diri meminta maaf atas khilaf dan salah. Walaupun diri tahu bahwa sejuta maaf tak akan mampu menghapus setitik noda salah di hati. Maka maafkanlah atas nama sesama mukmin, kalau tak mampu memaafkan sebagai insan nan lemah.

Bahkan diantara bukti-bukti ketahuidan kita kepada sang Khalik yang maha segalanya adalah memaafkan. Sebagaimana Dr. Aidh al-Qarni menjelaskan;

“Memaafkan adalah bukti ketulusan hati terhadap prilaku orang yang menyakiti, sedangkan keinginan hati untuk diperlakukan dengan baik merupakan tingkatan yang lebih tinggi. Dan, yang paling tinggi lagi ialah ketika ia bisa membalasnya dengan kebaikan. Caranya yaitu dengan mulai meredam emosi lebih dulu. Artinya janganlah membalas menyakiti orang yang pernah menyakiti kita. Kemudian maafkanlah, yakni bersikaplah toleran dan maafkan semua kesalahannya. Selanjutnya adalah ihsan yakni balaslah kejahatan yang ia lakukan dengan kebaikan.”

Barangkali akan sedikit sulit memang, tapi tak ada yang tidak mungkin. Cobalah resapi, ingat dan kenang semua kebaikan yang pernah kita lakukan bersama. Semua hal yang baik tentang kita, keberanian, kejujuran, pengorbanan, dan tentu saja empati yang terbangun pada dirikita.

Bukankah hidup kita tak akan lama, ya....sebentar saja, tak lebih dari satu detik, satu menit, satu jam, satu tahun, bahkan tak akan sampai satu juta tahun.., sukakah kita membuat hidup menjadi resah dan gelisah karena satu hal yang sebenarnya sangat bisa kita maafkan. Dengarlah firman Allah swt ini;

Dan orang-orang yang menahan kemarahan dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (ihsan) (QS Al-Imron 134)

Inilah poin hidup kita sebagai manusia. Tidak ada manusia yang seutuhnya benar, sebab kerapkali manusia selalu khilaf dan kadang berlaku salah. Dengan berbuat salah maka manusia dituntut untuk senantiasa beristigfar dan memohon maaf serta ampunan. Maka selayaknyalah kita saling memaafkan.

Tak ada kata yang terasa menyakitkan jika kita mampu memaafkan, saling memahami, dan berusaha untuk jujur pada hati kita. Berusaha menjadi diri sendiri bukan orang lain, juga bukan diri yang di bisik-bisiki syaiton untuk saling bermusuhan. Oleh karenanya marilah kita saling berinstrospeksi, saling memaafkan dan membangun kembali hubungan yang lebih baik.

Kini diri kembali mengutip kalimat Dr. Aidh al-Qarni “dalam atsar disebutkan, sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk menyambung tali silaturahmi dengan orang yang memutuskannya denganku, untuk memaafkan orang yang menzalimiku, dan untuk memberi kepada orang yang pelit kepadaku.

Bolehkah kita berjumpa lagi, dan saling bertegur sapa, saling melepas senyum dan saling bercerita lepas lega, duduk bersama menikmati hidangan seperti yang biasa kita lakukan. Melepas semua ego dan rasa bersalah, melepas semua rasa tinggi ataupun rendah hati dan diri. Sebab kita sama dan memiliki keyakinan yang sama.
Tak ada kata yang kembali diri ingin curahkan selain permintaan maaf. Maka maafkanlah diri yang dulu berbuat, yang dulu menyakitkan, dan yang dulu memberi rasa sedih. Kita raih masa depan lebih baik, dan ikhtiar beramal yang terbaik seperti dreams yang pernah kita tuliskan di kertas putih itu.

*tullisan ini didekasikan pada dia yang menemani hari-hari saya di bulan Ramadhan 1438 H, pada dia yang menemani sepi di kala balik ke Jogja saat bersua bersama di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Bali 2017 lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia