DILEMA KURIKULUM




 

 Memasuki tahun ajaran baru di sebagian besar sekolah seluruh Indonesia, ada kejutan yang menarik dari pemerintah. Siapapun tahu bahwa awal tahun 2015 adalah peristiwa paling mengejutkan, selain karena banyak bencana, tapi juga karena banyak kebijakan pemerintah yang dianggap kurang pro terhadap rakyat kecil, seperti kenaikan tarif dasar listrik, penurun harga BBM yang setengah hati (setelah akhir tahun lalu di naikkan dengan cukup tinggi), kenaikan harga tiket kereta api. Dan banyak kebijakan lain yang membuat seolah hidup terasa sempit. Apalagi tentunya bagi ibu-ibu yang mempunyai anak sekolah, akan semakin repot karena beban ekonomi keluarga terus bertambah.

            Namun bukan kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial semacam itu yang ingin saya bicarakan disini. Tapi lebih kepada kebijakan dalam bidang pendidikan. Salah satu kebijakan yang sempat menjadi pro dan kontra dalam dunia pendidikan Indonesia adalah dikeluarkannya “peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud No.160 Tahun 2014 yang menyatakan  Pemberlakuan kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang telah melaksanakannnya selama tiga semester (6.221 sekolah?). Sekolah ini dianggap  dan dijadikan rintisan penerapan kurikulum 2013. Sementara satuan pendidikan lain ( 201.779 sekolah?) yang baru menerapkannya satu semester alias sejak semester pertama 2014/2015 kembali ke kurikulum 2006 mulai semester kedua 2014/2015).
            Tentunya bagi kita yang tak terlalu memahami urgensi kurikulum, kita akan mengatakan yah,…tidak apa-apalah toh hasilnya juga akan sama saja. Mau pakai kurikulum yang ini atau yang itu, semuanya sama saja. Tapi menurut Munif Chatib dalam kuliahnya di Sekolah Guru Indonesia, ia menyatakan bahwa kurikulum 2013 adalah penyempurnaan dari kurikulum 2006. Artinya dengan demikian urgensi kurikulum adalah untuk memperbaiki kualitas luaran anak didik. Yang jadi pertanyaan adalah kalau kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, lalu kenapa pemerintah tidak konsisten melaksanakan kurikulum 2013?
            Memang kita ketahui banyak alasan yang di utarakan, mualai dari ketidak siapan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemudian ketidak siapan sekolah untuk menerapkannya, karena alasan bahwa sekolah tidak sanggup secara keuangan membeli peralatan yang sesuai untuk penerapan K-13, atau yang sering kita dengar adalah pernyataan  mau apapun bentuk kurikulum, pelatihan untuk guru, dan sebagainya,  cara mengajar guru tetap saja sama yakni satu model (model modal ceramah).
            Memang menjadi satu hal yang dilematis bagi negeri ini, disatu sisi kita ingin mengejar ketertinggalan pendidikan kita dengan negera lain, namun disisi lain kita masih berdebat tentang tools terbaik untuk mengejar itu semua. Melihat fenomena ini, menurut Mohammad Abduhzen implikasi dari keputusan Mendikbud Anis Baswedan untuk menghentikan sementara penerapan K-13 di sebagian besar sekolah akan memunculkan dualisme standar operasional pembelajaran: kurikulum 2013 dan kurikulum 2006 yang jika berlangsung lama akan berimplikasi kesendajangan kualitatif. Bahkan mungkin berdampak diskriminatif karena sekolah pelaksana kurikulum 2013 kebanyakan eks rintisan sekolah bertaraf internasional.
            Lebih lanjut menurut beliau dalam opininya di kompas edisi 5 januari 2015 dengan judul “kurikulum ganda”, menyatakan “memang setiap pergantian kurikulum akan menghadapi masa transisi yang bercorak dualisme, tetapi biasanya perubahan itu seperti gradasi warna, tidak diameteral seperti pemberlakuan kurikulum 2013 bersama kurikulum 2006”.
            Melihat ini semua, kekhawatiran terbesar kita adalah semoga ini bukan sebuah kemunduran pendidikan Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mendikbud Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II pak Muhammad Nuh. Tapi ini adalah langkah tepat, karena Menurut Mendikbud yang baru pak Anis Baswedan, sampai saat ini  “substnasi dari K-13 tidak jelas dan tidak diimbangi dengan kesiapan pelaksanaannya”.
            Apapun kebijakan dari pemerintah terkait kondisi pendidikan nasional, kita berharap ini semua bukan kebijakan politis, dan kita juga berharap perkara pendidikan negeri ini jangan dijadikan sebagai perkara main-main, karena ada adigium yang menyatakan, ganti pemerintah, ganti pejabat, ganti juga kebijakan. Seolah-olah tidak ada continueitas dalam system pendidikan kita.
            Menurut saya dilemma terbesar bangsa saat ini adalah bukan pada apakah harga barang, harga BBM, harga sembako, atau harga tiket kereta api  naik atau tidak, melainkan pada sejauh mana bangsa ini konsisten dan serius menjalankan amanah UUD 1945 yakni mencerdeskan kehidupan bangsa, lebih khusus lagi memajukan pendidikan negeri ini.
            Dalam opininya Mohammad Abduhzen, menyarankan kepada pemerintah untuk menghindari dualisme berkepanjangan dan beragam kerumitan terkait penerapan K-13, maka perlu beberapa hal berikut:
  •  Pemerintah membuat pedoman pembelajaran sementara masa transisi (kurikulum darurat, sesuai ide mendikbud tentangm ”darurat pendidikan”)
  •  Pemberlakuannya dimulai akhir tahun pelajaran 2014/2015 sehingga pada semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016 semua sekolah menggunakan dasar operasi pembelajaran yang sama.
  •  Pedoman pembelajaran masa transisi/revisi ”merupakan kompilasi dari K-13 dan K-2006 yang sederhana dan praktis”.
Apapun kurikulumnya, yang utama adalah bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia mampu melahirkan generasi yang Robbani. Tanpa memahami apa yang menjadi urgensi dari pendidikan bangsa, maka sampai kapanpun kita tetap akan mengalami dilematisme pendidikan, dan akan sulit mengejar ketertinggal kualitas pendidikan bangsa dengan bangsa lain.

Referensi : Kompas 5 januari 2015/ Opini / Kurikulum Ganda / Mohammad Abduhzen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia