MEMBICARAKAN NEGARA TANPA VISI
Pagi hari
yang cerah menyambut kota Pontianak, sayup sayup suara air terdengar merdu di
telinga. Secangkir kopi terhidang di atas meja. Tak terasa saya sudah sampai
halaman 151 membaca bukunya pak Eri Sudewo yang berjudul Keresahan Pemulung Zakat.
Sedari
kemarin saya menikmati sekali tulisan-tulisan pak Eri di buku ini. Sampai saya
ketemu sebuah tulisan yang berjudul negara
tanpa visi. Tanpa di komandoi siapapun, saya langsung mengambil laptop.
Ceritanya mau nulis lagi tulisan tersebut, kemudian saya upload di blog pribadi
ini.
Khawatir juga sebenarnya, jangan –
jangan ini jadi kasus, soalnya saya nulis dan menyebarkan isi tulisan itu tanpa
seizin dari penulisnya. He he h..Okelah kalau begitu, mudah mudahan ini bagian
dari bentuk amal, menyebarkan ide dan pemikiran seorang okoh. Sekaligus saya
mau izin ke Pak Eri Sudewo, untuk nulis (mengcopy
isi tulisan itu) kemudian saya
publish di blog pribadi saya.. ya.
Saya beru mengenal pak Eri Sudewo
saat mengikuti program Sekolah Guru Indonesia. Dan bertemu langsaung dengan
beliau saat beliau mengisi training pengembangan diri semasa pembinaan di SGI
Dompet Dhuafa 2014 lalu. Saya cukup tertarik tentang isi tulisan tersebut,
apalagi judulnya membuat saya merenung tentang negara ini, yang mungkin sampai
saat ini masih tanpa visi. Berikut tulisanya;
NEGARA
TANPA VISI
Oleh
Eri
Sudewo
Visi tanpa tindakan adalah mimpi.
Tindakan tanpa visi hanyalah rutinitas. Maka visi dan tindakan meniscayakan
yang mustahil.
Renungan diatas, seolah menohok ulu
hati. Sebab, apakah Indonesia punya visi? Jawabannya, coba tanya pada
masyarakat. Pasti, beragam jawabannya. Maka itu tanda bahwa Indonesia memang
tak punya visi. Sungguh suatu ironi besar, sebuah bangsa dengan 200 juta lebih
penduduk “kelupaan ”merumus visi, soalnya bukan hanya pada cabinet melainkan
kembali pada masyarakat. Jangan pungkiri, cabinet yang ada merupakan kehendak
masyarakat.
Tak ada visi, juga jadi tanda bahwa
bangsa ini tak punya etos hidup. Pameo lama berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian
benar-benar telah using. Petuah-petuah dulu bukannya miskin makna, tapi adakah
penerbit yang mau mempublikasikannya? Di kampus malah hidup slogan baru; waktu
muda kaya raya, waktu tua foya-foya, waktu matu masuk surge. Kendati
sekedar bergurau, slogan ini punya
makna. Minimal jadi cermin, begitulah etos dari sebagian generasi Indonesia
saat ini.
Soalnya visi, jangan tanya pada
generasi seprti itu. Juga jangan bertanya pada masyarakat kebanyakan. Kabinet
yang sekarang saja, belum tentu bisa menjelaskan visi Indonesia . Kabinet yang
dulu-dulu, juga sama saja. Pada anggotana DPR-MPR, cobalah tanya, kalaupun ada
visi, tampaknya belum terinternalisasi baik. Bongkar pasang di jalan raya
buktinya. PLN, PAM, PU, dan Telkom yang raksasa-raksasa itu, tak pernah akur.
Terus saling bongkar seolah saling mengejek. Apa karena mereka para raksasa,
hingga tak perlu visi-visian?
Orang bilang visi adalah cita-cita.
Sesungguhnya bicara visi tidaklah sesederhana itu. Visi merupakan formulasi
dari upaya meredam keragaman kepentingan dalam menggaet ketidakjelasan masa
depan. Di samping, yang terjadi hari ini, jangan anggap tak berkait dengan soal
soal kemarin. Sedangka kitapun tak boleh
cuci tangan, jika generasi mendatang bakal tergadai akibat ulah hari ini.
Sebaliknya, besok bisa sejahtera, jika bibit unggul ditanami kemarin, kemudian
dirawat, dijagai dan dipupuki agara dapat berkembang baik nantinya.
Makna visi jadi kompleks. Sayangnya
visi bukanlah kata asli Indonesia. Maka, meskti telah dilokalkan, berapa banyak
sebenarnya yang paham tuntutan visi. Jika bisi memang impor, apakah itu cermin
strukturisasi masyarakat Idonesia yang tak pernah mengerti dan sungguh-sungguh
merumus cita-cita? Sebagai cerin, ya. Visi yang menggelegak pada para founding fathers Indonesia, telah menggurati sebuah sketsa
sejarah. Kisah heorik dan epos-epos kepahlwanan itu, apakah detam-dentamnya
masih memanggili hati nurani anak bangsa saat ini?
Hanya ata hati yang bisa
menjawabnya. Sebab berapa banyak anak bangsa yang punya jiwa kebangsaan seperti
itu sekarang? Benarkah founding fathers
kita terlampau pntar, sedang berjuta-juta rakyat buta huruf? Tak usah ragukan
kepandaian Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, J. Kasimo dan M. Natsir.
Memang, kecerdasan atau kepandaian
meraih gelar berbeda dengan kemampuan memimpin. Juga kapabilitas melahap teks
book.
Yang bisa memaknai visi hanyalah
kedewasaan. Entah dewasa karena langsung berbentur-bentur dalam hidup. Atau
dewasa karena sungguh-sungguh mengambil
himah dari pengalaman orang lain. Beagi yang bervisi, kesuksesan adalah
kegagalan yang tertunda. Jika kesuksesan saja selalu diwaspadai, kegagalan
tentu lebih dicermati lagi. Tetapi coba amati. Kesulitan di masa revolusi.
Jatuh bangunnya kabinet dan tumbangnya Orde Lama seolah tak punya makna bagi
bangsa ini. Bangkitnya Orde Baru dengan trilogy pembangunan, seolah jadi ajang
balas dendam. Derap pembangunan dipacu. Apapun dieksploitasi guna mengenyahkan
kesulitas dan kemiskinan masa silam. SDM dikirm ke luar negeri. Utang dikejar
karena membangun butuh modal. Pokoknya dalam benar Orba, segera bangun agar
cepat sejahtera. Maka benturan kepentingan tak terhindarkan. Kritikpun
dibungkam karena pasti menghalangi pembangunan.
Tapi ingat, visi tak sekedar
cita-cita. Visi juga bukan kerap seperti diterjemahkan orang sebagai tujuan.
Cita-cita dan tujuan boleh baik. Tapi kalau cara atau metodenye keliru,
cita-cita itu bakal kandas. Maka itulah visi, kesadaran buat mengamas beragam
kepentingan stakeholder. Yang
termasuk stakeholder Indonesia bukan
hanya masyarakat lokal, juga mereka yang di luar negeri. Baik negara jiran,
kalangan bisnis ASEAN atau orang yang bule-bule itu. Namun prioritas stakeholder, tentu bangsa sendiri.
Jangan utamakan yang asing-asing itu. Percayalah, habis manis sepah dibuang.
Suatu saat yang asing-asing itu pasti tinggalkan Indonesia.
Sementara masyarakat lokal
Indonesia, terdiri atas banyak sekali suku dan berbagai etnis. Suku-suku ini
bukan hanya dipisahi hutan dan pegunungan. Tapi mereka juga berserak di ribuan
pulau. Dnegan kondisi begitu, keinginan mereka pasti terbentuk sesuai dengan
sikon. Asda yang lebih dekat dengan puak-puak Melayu, seperti masyarakat di
Sumatera. Ada yang mendekati ke gaya Filipina seperti masyarakat Manado. Malah
suku irian tak beda dengan saudara-saudaranya di kepualauan Polynesia. Dan
tidak sedikit usahawan kita yang memindahkan kerajaan bisnisnya ke luar
Indonesia. Maka berapa banyak kepentingan mereka yang musti diakomodir dalam
visi Indonesia.
Problem Indonesia kempleks memang.
Celakanya cara berfikir kita terbiasa sederhana. Bahasa Indonesia contohnya.
Strukturnya praktis. Bicara kerja kemarin, kini dan esok, tak ada bedanya.
Dengan struktur begitu, sederhana kan cara berpikir kita. Tampil sederhana
jelas mulya. Namun berpikir sederhana itu soal lain. Berpikir tak boleh
sederhana. Ia musti tuntas menjawab soal, serta pandangan cenderung menolak
kompleksitas. Sebab berpikir sederhana, sesungguhnya tak sanggup berpikir yang
berat-berat. Ingin praktis melulu.
Cara berpikir sederhana cenderung
tak tahan sabar. Maunya seba instant.
Semua ingin cepat-cepat segera dinikmati. Bila perlu potong kompas, sekalipun
musti menerabasi prinsip-prinsip dasar. Karena ingin segera menikmati, terjadi
saling sikut agar bisa kebagian. Benturan kepentingan tak terhindari. Dalam
benturan itu, tak lagi jelas mana untuk pribadi dan mana untuk bangsa. Maka
terjadi tut wuri nggerogoti, ing madya ngangkut banda
dan ing ngarsa terus ngapusi ( di belakang menggerogoti, di tengah mengangkut harta, di depan selalu
menipu).
Sementara sebuah visi kedepan , juga
tergantung pada prosesnya. Tuntutan proses bukan hanya butuh waktu, tenaga dan
biaya. Proses juga butuh keihlasan menanggalkan agenda pribadi. Inilah kunci
visi, kepentingan masyakarat dan bangsa di dahulukan. Tumpuan visi hanya pada kebenaran dan keadilan. Ini jadi
peredam maraknya conflict of interest.
Cara berpikir pun musti kreatif. Agar terurai akar persoalan dengan solusi yang
visioner menjawab tantangan masa depan.
Bicara visi memang serba mengait.
Dalam menelaskan sketsa yang pas tentang masyarakat kita, kondisi litbang bisa
digunakan. Lembaga yang mustinya sering bicara ke depan ini, malah terlanjur
dipelesetkan jadi “sulit berkembang”. Padahal litbang ditgasi menggawangi visi
menjawab tantangan masa depan. Kerja litbang jadi kompleks. Asilnya musti
inovatif. Sementara belum tentu hasil itu bisa langsung dinikmati. Maka litbang
yang kompleks, jangka panjang dan belum bisa langsung dinikmati, sangat
kontradiktif dengan kultur yang ingin serba praktis.
Tantangan yang dihadapi Indonesia
sungguh berat. Secara internal, kepentingan etnis dan daerah tak bisa
dispelekan. Secara ekternal, globalisasi telah menebar belalainya. Ditolak
dampaknya bisa terisolir. Atau penolakan , bisa berarti diam-diam terembargo.
Bangsa yang biasa berpikir sederhana ini, kini menghadapi problem dahsyat.
Secara internal kita telah mencabik cirri sendiri. Dalam merawat stakeholder
kita cuma melayani atasan, sedang dalam emgnelola negara pejabat bagai pemilik
perusahaan yang bisa menentukan apa saja.
Di lingkungan pengelolaan negara
entah apakah ada pemahaman tentang country
building. Jika ada tak mungkin kepentingan begitu banyak rakyat terabaikan.
Maka yang terjadi, pejabat negara justru sibuk melayani kepentingan stakeholder
yang lain. Merkea terpukau oleh investor asing, orang-orang IMF, World Bank,
atau apalah. Kita lupa bahwa kekayaan bangsa sebagai asset negara jadi alat bargaining position. Karena kekayaan ini,
mereka datang. Tak perlu kita berendah-rendah dengan mengiyakan apa saja
keinginannya. Bangsa ini jelas punya kepentingan, yakni rakyat banyak. Mengapa kekayaan
alam bangsa ini, justru terksploitas memakmurkan mereka yang asing itu.
Nega ini berjalan tanpa visi. Sementara
Malaysia sudah siapa dengan visinya; Malaysian Vision 2020, dengan new economic
policy (NEP), Malaysia berhasil mengangkat bumi puteranya berjajar dengan
perantauan Cina. Kini Malaysia telah jadi Macan Asia tangguh dengan Multi Media
Super Corridornya (MMSC). Visi Singapura juga tak kalah indahnya. S21 Vission
sebagai visi Singapuran abad 21 itu, di sosialisasikan melalui lima ide kunci,
yakni srong families, every Singorean
matters, opportunities for all, the Singapore heartbeat dan active citizenship.
sedang Indonesia
ibarat sebauh perahu tua. Penumpangnya bagai tikus yang terus cakar-cakaran. Tak
ada yang mau mengerti, kapal ini sudah renta dan terus oleng karena jutaan
tikus ikut bekerjaran mengikuti sang pemimpin. Dinding perahu pecah-pecah
terkena hantaman ombak dan kaki kaki tikus. Air laut menggenangi dek, dianggap
tak berbahaya. Kapal ini sebenarnya menjelang karam. Sementara tikus tikus teus
berpesta memakan apa saja. Kapal tetangga yang menyusul disoraki dan dicibiri. Tapi
yang bisa loncat, segera berpindah ke kapal tetangga. Tak ada keinginan untuk
menyelamatkan kapal tumpah darah, tempat ia makan selama ini.
Apakah episode Indonesia akan
terpenggal.? Dulu Bhineka Tunggal Ika, sekarang Bhinekanya Tinggal Berapa? Wallahu’alam.
Yang pasti, Indonesia telah menjadi contoh terbaik untuk tidak dicontoh. Sebuah
negara tanpa visi.
#@@@@@@#
Membaca tulisan diatas tentu saja,
akan menggugah rasa nasionalisme kita. Saya juga sudah merasa bangsa ini
berjalan tanpa tujuan, dan tanpa mengetahui kemana hendak berlabuh. Kita
berharap apa yang di tuliskan pak Eri Sudewo mampu menjadi renungan bersama. Mari
kita sadar dan lebih peduli akan kondisi lingkungan, masyarakat, agama, dan
bangsa kita saat ini.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih