Hatta; Inspirasi Kemahasiswaan Saya


Replika teks proklamasi di Monumen Jogja Kembali (Monjali)

Sudah hampir dua tahun saya kembali menjadi mahasiswa lagi. Mahasiswa tentu sebutan yang sangat luar biasa bagi kebanyakan orang. Terlebih mahasiswa S2 yang kuliah di Yogyakarta, bagi saya yang berasal dari  luar  Jawa, sungguh akan sangat mengagumkan.

Waktu jadi mahasiswa S1 di Universitas Mataram saya membawa satu visi yaitu menjadi mahasiswa yang berguna bagi masyarakat. Sebab saya pikir, yang membedakan saya dengan status siswa adalah kegunaannya di masyarakat.

Idealisme saya tumbuh, sebab saya bergabung dengan teman-teman di gerakan mahasiswa baik internal maupun eksternal kampus. Walaupun  saya bukanlah termasuk mahasiswa yang terlalu idealis. Sebab segalanya masih bisa saya kompromikan. Satu mahasiswa yang menjadi idola saya adalah Soe Hok Gie, dalam buku Catatan Seorang Demonstran saya terkesan dengan aksi-aksinya juga idealisme yang dimilikinya.

Masa-masa menjadi mahasiswa..., saya menikmatinya dengan segala dinamika yang terjadi. Mulai dari aksi jalanan, demontrasi, membuat seminar, mengikuti berbagai kongres mahasiswa nasional, hingga yang paling parah tentu saja terpaksa digelandang ke Mapolresta Mataram gara-gara demonstrasi depan Kejaksaan Tinggi NTB pada malam hari tanpa izin, untung saja gak sampai mendekam di jeruji besi, inilah masa-masa asik jadi mahasiswa.

Baru-baru ini saya mendapatkan satu buku yang sangat bagus. Buku dengan judul “Hatta, Jejak yang Melampui Zaman” terbitan Tempo. Membaca buku ini seperti saya dibawa kedalam kehidupannya bung Hatta, terlebih masa-masa kuliahnya di Belanda. Hatta, pria kelahiran Bukit Tinggi 1902 dari rahim bernama ibunda Saleha Djamil istri ayahanda Mohammad Djamil yang merupakan garis darah keluarga terpandang kala itu.

Entah seperti apa saya ingin melukiskannya, tapi saya begitu terinspirasi dengan idealisme yang dibawa ketika ia kuliah di negeri yang menjajah Indonesia kala itu (Belanda). Idealismenya tak lekang oleh zaman dan jabatan. Ia rela mundur  sebagai wakil presiden, sebab tak sepaham dengan kebijakan presiden Soekarno kala itu. Bahkan dalam hidupnya di era kemerdekaan, ia pernah tak sanggup membayar tagihan listrik.
bersama mahasiswa S2 UGM

Bung Hatta lahir dengan idealisme yang tak pernah padam. Bayangkan ketika beliau wafat pada tahun 1980, Hatta meninggalkan “30 ribu judul buku” dalam perpustakaan pribadi sebagai warisan yang termahal. Dari sini kita bisa melihat siapa sebenarnya Hatta,  seorang yang sangat mementingkan ilmu pengetahuan.

Disela-sela kesibukannya, dia masih menulis artikel maupun buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari politik, koperasi dan perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Dalam catatan Tempo, Hatta setidaknya telah dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius internasional tentang kebijakan luar negeri. Disitulah Hatta menyodorkan konsep politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.

Tentu saja, sebuah catatan kehidupan yang sangat luar biasa. Saya adalah orang yang beruntung, membaca kisahnya menjadikan saya terus memendam cita-cita saya melanjutkan study hingga setinggi-tingginya. Jika dulu Hatta bisa pergi ke Belanda, tentu saja sayapun bisa pergi ke Belanda, bahkan Amerika untuk study disana, atau mungkin saja lebih dari itu yaitu sebagai seorang ilmuwan masa depan yang mempengaruhi dan merubah dunia..., hehehehe...!!!! cita-cita yang teramat tinggi,  terdengar sepeti gong kosong nyaring bunyinya.., tapi no problem....yang penting nanti dilihat, oke...!!! Seperti layaknya teriakan dan cita-ciata Bung Karno yang pidato berapi-api mengatakan indonesia akan merdeka, padahal ia sedang disidang oleh pengadilan Belanda, dan pada akhirnya merdeka juga.

Itulah cita-cita, harus besar kata ust. Yusuf Mansur, jangan tanggung..., sebab kita punya Allah yang Maha segalanya. Karena cita-cita  akan menemukan kebenarannya pada masa yang akan datang. Saya masih bisa mengikuti jejak Hatta kini, membeli buku-buku dengan target satu buku setiap bulan minimal, dan menulis artikel, ide dan gagasan di blog atau mengirimnya ke media massa cetak maupun elektronik, dan target sesungguhnya adalah membuat buku. Saya yakin karena Allah suatu saat nanti semua yang kini saya tuliskan akan tercapai. 

Dalam catatan Tempo diketahui Hatta pertama kali menulis ketika ia berusia 18 tahun, saat itu ia belum masuk universitas, tulisannya dimuat dalam majalah Jong Sumatra, tulisannya mengisahkan tentang “otobiografis” tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya yang berbujuk kawin lagi.

Bahkan karena buah pikirannya yang tajam, seorang penulis bernama Mevrow Vodegel Sumarah yang beralamat di Besancon, Prancis, pernah menulis di majalah Sin Tit Po pada tahun 1938 antara bulan April dan Mei menulis artikel yang cukup provokati dengan judul “Is Hatta Marxist..?”. sebuah artikel yang menyerang tulisan Hatta: “Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw” (“segi-segi utama ekonomi dunia”). Menurut Hatta, Mevrow adalah nama samaran. Iya...Hatta membaca artikel itu ketika berada di pembuangan (Banda Neira), bisa kita bayangkan betapa hobinya Hatta pada dunia tulis menulis dan baca membaca, ia adalah pemikir ulung yang tiada duanya.

Sekali lagi membaca kisah hidupnya, semakin meneguhkan keyakinan saya. Bahwa hidup tidak semata-mata soal mencari duit. Hidup adalah perjuangan untuk melahirkan karya, menebar manfaat, dan membangun masyarakat. Kita bisa berkontribusi lewat jalur apapun, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, tulisan, dan lain sebagainya. Itulah yang dilakukan Hatta. Laki-laki pendiam (cool man) yang selalu menampakkan wajah serius disela-sela kehidupannya.

Kadang saya suka kebayang, gimana ceritanya dalam usia 19 tahun Hatta sudah sampai di Belanda. Hehehe.., usia saya saat ini 26 tahun, berarti 7 tahun yang lalu Hatta sudah mengelilingi dunia. September 1921 tercatat sebagai hari bersejarah itu, ia menginjakkan kaki sebagai mahasiswa  baru di Rotterdamse Handelshogeschool sebuah sekolah ekonomi yang bergengsi. Dalam awal-awal kuliahannya ia membeli buku-bukunya T.M.C Asser, Hartley Withers, dan Schar. Sebagian besar hidupnya ia lalui disini, hingga gelar doktor ekonomi ia raih. Selain sebagai pemikir ulung, Hatta boleh di kata adalah aktivisi tulen, ia pernah menjadi ketua Indonesische  Vereeniging dan sempat lima setengah bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial.



Bisa kita bayangkan, betapa sikap idealisme adalah olah pikir orisinalitasnya. Tak peduli sejauh mana ia berada dari negeri asalnya, ia tetap berjuang demi kemerdekaan negerinya. Bagi saya inilah yang sangat berharga, tak peduli sejauh mana saya berada dari kampung halaman saya, saya tetap harus kembali dan membangun kampung halaman saya. Lebih dari itu tentu saja membangun Indonesia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

Jalan Kerja