Mengembangkan Metode Belajar Anak (Santri) Kampung Qur’an


Saya mulai berfikir satu hal, apakah yang saya lakukan ini akan berkelanjutan ataukah tidak..? dalam artian mungkinkah setelah saya pergi nanti dari kampung ini kegiatan-kegiatan menghafal dapat terlaksana lagi, anak-anak yang ngaji akan semakin berkembang. Setelah lebih dari satu tahun berada disini, saya mulai sadar bahwa selama ini saya berangkat dari sikap otodidak. Tidak ada perencanaan yang matang, kemana anak-anak didik saya di kampung ini saya kembangkan, dan apa yang mesti menjadi unggulan.

Tahfizul Qur’an memang tujuan, itu menjadi visi tersendiri yang melatarbelakangi kampung ini di tunjuk menjadi kampung qur’an. Tapi sedari awal saya sudah sadar, bahwa saya sebenarnya tidak tepat berada disini, sebab saya bukan seorang penghafal qur’an. Juga bukan ustadz lulusan pondok. Kadang latar belakang saya yang seperti ini membuat saya merasa tidak percaya diri.

Namun, semua ini adalah proses yang masih terus berjalan. Saya tahu tidak mudah memang untuk merubah diri, apalagi merubah orang lain. Namun inilah nasib, bahwa semuanya memiliki ketentuan dari yang Maha Kuasa. Saya tidak mungkin meninggalkan kampung ini sekarang, tanpa  mewariskan satu hal yang monumental.

Berangkat dari kegelisahan itu, saya mencoba untuk membuat inisiatif tersendiri. entah ini akan berhasil atau tidak nantinya. Saya ingin membuat modul pembelajaran satu tahun kedepan. Modul ini berfungsi untuk membantu saya mencapai visi yang saya sebutkan diatas. Anak-anak disini memang semakin hari semakin menurun kuantitas yang mengaji. Saya tidak tahu sebabnya, namun tentu saja selain karena faktor eksternal juga pasti karena internal dalam diri saya.

Ketika saya mencoba untuk mengembangkan ide-ide kreatif seputar metode belajar bagi santri di kampung qur’an, biasanya ada sedikit gangguan berupa faktor alam seperti cuaca, kegiatan masyarakat, dll yang membuat kehilangan fokus terhadap metode itu. Kadang saya juga bertanya, apakah saya tidak melenceng dengan menggunakan metode itu.

Tapi tentu saja, ini sebagai tantangan. Saya disini sedang belajar, tidak boleh berputus asa. Walaupun perasaan ini telah membuat saya merasa bersalah. Setidaknya setahun kedepan akan saya tebus dengan prestasi. Sebab saya tidak mungkin pergi tanpa ada bekas yang menyejarah. Entah sampai tahun berapa saya disini. Bagi saya dengan keadaan seperti ini sebenarnya tantangannya jauh lebih hebat.

Kalau di sekolah dulu aturan dan kurikulum sudah ada. Disini saya mesti merancang itu. Kalau di sekolah dulu tim kerja saya ada, disini saya mesti melakukannya sendiri. Hari ini tidak banyak anak yang hadir, alasannya karena mereka les di sekolah, ada juga karena pulang terlalu sore, lebih dari itu ada yang memang tidak mau lagi mengaji.

Beberapa anak seperti Devina, Shinta, Yeni, Rika, dan Andre sudah tidak mau lagi mengaji. Absesnsi yang tertulis 42 hanya angka belaka, sementara yang hadir tidak mencapai angka itu. Heran juga saya, mengapa anak-anak tidak memiliki semangat yang kuat untuk mengaji. Apa yang mesti saya lakukan, dan metode seperti apa yang tepat agar anak-anak ini betah mengaji. Sebab mereka memiliki masa depan di sekolah, tapi memiliki akhirat di tampat ngaji.

Hal ini membuat saya terus berfikir. Antara bagaimana saya bisa menuntaskan target-target itu, dan tanggung jawab moral saya pada PPPA Daarul Qur’an dan masyarakat kampung Rukem.  Ada beberapa metode yang sudah saya coba lakukan antara lain:

1.      Belajar Kelompok
Biasanya metode belajar seperti ini saya lakukan untuk mempermudah anak-anak yang penguasaan materi mengajinya menjadi lebih cepat untuk berkembang, dan menerima materi.
Kalau anak-anak yang memiliki kecerdasan kurang cepat berada dalam kelompok yang cerdas, maka tentu saja dia akan menyesuaikan diri dengan teman kelompoknya. Ini menurut pendapat saya.
2.      Belajar sambil bermain
Metode belajar sambil bermain saya lakukan untuk membuat anak tidak mudah bosan dalam menerima materi mengaji. Maklum penatnya tugas-tugas di sekolah, jangan sampai kebawa di tempat mengaji. Sehingga sebisa mungkin anak-anak yang ngaji merasa senang, bukan merasa bosan.
3.      Belajar face to face
Metode belajar face to face saya lakukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kemampuan membaca Qur’an pada anak. Apakah sudah lancar, semakin lancar, dan semakin fasih, atau justru sebaliknya.
4.      Belajar klasikal
Metode belajar klasikal biasanya saya gunakan untuk satu materi mengaji yang harus diterima oleh semua anak. Misalnya materi tahsin, materi fiqh, materi-materi tajwid, dan menghafal. Khusus untuk menghafal saya gunakan diri saya sebagai model untuk mereka ikuti ayat-ayat qur’an yang saya baca dan kemudian mereka hafalkan.
5.      Belajar secara mandiri
Metode belajar secara mandiri saya gunakan untuk memberikan kesempatan kepada anak, memaksimalkan kemampuan diri mereka. Mulai dari menghafal Qur’an sampai materi praktik wudhu, sholat, dan praktik menghafal doa sehari-hari.

            Terlepas dari metode-metode yang saya coba kembangkan ini. Tetap saja saya meiliki kekhawatiran bahwa anak-anak ini mengalami depresi ketika mengaji, dan kehilangan esensi dari apa yang saya tanamkan. Terutama, apakah memaksa anak-anak menghafal Qur’an dengang tingkat kesulitan yang kita fahamii,  akan membuat mereka bahagia atau tertekan..?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia