Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks*


Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenal cara berhukum. Cara berhukum tidak hanya satu, melainkan bermacam-macam. Diantara cara berhukum yang bermacam-macam itu, hukum progresif memiliki tempatnya sendiri. Untuk membuat deskripsi yang jelas mengenai hukum progresif, maka ia dapat dihadapkan kepada cara berhukum yang positif legalistis. Dalam cara berhukum terakhir, maka berhukum adalah menerapkan undang-undang. Cara berhukum yang demikian ini semata-mata berdasarkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau “mengeja undang-undang”. Disini orang tidak berfikir jauh kecuali  membaca teks dan logika penerapannya.

Cara berhukum seperti ini adalah ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah (pasal) undang-undang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi. Segalanya berjalan secara linier, sehingga cara berhukum sudah seperti mesin otomatis. Paul Scholten menyebutnya sebagai “hanteren van logische figuren (Scholten, 1954) sedang O.W Holmes mengatakannya sebagai “a book of mathematics” (Holmes, 1963). Dihadapkan kepada cara berhukum tersebut diatas, maka  hukum progresif bekerja sangat berbeda. Ia tidak berhenti pada membaca teks dan menerapkannya seperti mesin, melainkan suatu usaha (effort) atau aksi. Cara berhukum memang dimulai dari teks, tapi tidak berhenti hanya sampai disitu melainkan mengolahnya lebih lanjut, yang disebut aksi dan usaha manusia itu.

Dengan demikian, maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi, baik pikiran maupun empati dan keberanian. Cara berhukum yang demikian tu bersifat non linier, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya. Masuknya faktor atau keterlibatan manusia itu menyebabkan bahwa berhukum itu tidak mengeja teks melainkan penuh dengan kreativitas dan pilihan-pilihan.  Scholten mengatakan, bahwa dalam pembuatan putusan–putusan hukum selalu  terjadi suatu lompatan (een sprong) dan oleh karena itu bersifat non linier. Dengan demikian hukum bukan suatu proses logis semata. Homes merumuskannya dengan kata-kata “the life of the law has not been logic; it has been experience.” Pengalaman tersebut memberi isi kepada teks hukum. Seorang hakim, misalnya akan memutus berdasarkan keadaan (the felt necessities of the time), kendatipun bertolak dengan teks hukum.
Keterlibatan manusia secara aktif juga berarti  melibatkan empati, nilai-nilai, keberanian dan lain-lain. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai  “the moral reading of the law”. Dengan demikian maka berhukum tidak dilakukan dengan mengutak-atik teks undang-undang dan menggunakan logika, melainkan dengan akal sehat dan nurani. Bukan dengan logos (logika), melainkan holos (wholeness) atau seluruh potensi yang ada pada manusia.
Dalam gagasan hukum progresif, maka hukum itu adalah untuk manusia bukan sebaliknya.  Oleh karena itu, kendatipun berhukum itu dimulai dari teks, tetapi selanjutnya pekerjaan berhukum itu diambil alih oleh manusia. Artinya manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teks-teks undang-undang dan kemudian membuat putusan.
Berhukum secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum. Kalau dikatakan, bahwa menjalankan hukum itu adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut, berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Oleh karena itu, orang membedakan antara “keadilan menurut teks” (formal/legal justice) dan keadilan sebenaranya (substantial justice). Paul Scholten mengatakan, bahwa keadilan memang ada di dalam undang-undang, tapi (masih) harus ditemukan (het recht is in de wet, maar het moet nog govenden warden). Dengan demikian, maka berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang, melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di dalamnya. Itulah  makna menguji batas kemampuan hukum.

Para hakim bukanlah legislator, karena tugasnya adalah melakukan ajudikasi (ajudication) atau memeriksa dan mengadili. Tugas membuat undang-undang itu ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian pada akhirnya hakimlah yang menentukan apa yang dikehendaki oleh undang-undang itu. Hakim memang harus memutus berdasarkan hukum, tetapi sesungguhnya ia tidak hanya mengeja teks undang-undang, melainkan memutuskan apa yang tersimpan dalam teks tersebut. seperti dikatakan oleh Dworkin di atas memutuskan hukum itu tidak dilakukan dengan membaca teks (textual reading) melainkan menggali norma di belakangnya (moral reading). Dengan demikian hakim sesusungguhnya juga “membuat hukum” pada tingkatan lebih tinggi.

Hukum progresif itu tidak pernah berhenti, melainkan terus mengalir mewujudkan gagasannya, yaitu hukum untuk manusia (Rahardjo, 2007). Filsafat yang melatar belakangi hukum progresif adalah bukan “hukum untuk hukum”, melainkan “hukum untuk manusia” hukum itu tidak sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa  dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan kemanusiaan. Hukum yang dipersepsikan sebagai sebuah institut yang otonom penuh, dengan logikanya sendiri dan sebagainya, berpotensi menghambat usahanya untuk menjadikan hukum menjadi sebuah institut yang melayani dan mebahagiakan manusia (Rahardjo, 2009)


Daftar Referensi
-     Holmes, Oliver Wendell.  The Common Law, Boston: little. Brown and Company, 1963
-    Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir-Catatan Kritis tentang Pergulatan  Manusia dan Hukum, Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2007
-    ------------------, Negara Hukum yang Membahagiakan Raktyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
-    Sholten, Paul. Algemeen deel dari Asser’s inleideing tot de beoefening ban het Negerlandsch burgerfijk recht, Zwolle: W.E.J. Theenk Willink, 1954


Note:

*Tulisan Prof. Dr. Sjatjipto Rahardjo, S.H, dari buku Memahami Hukum (Dari Konstruksi sampai Implementasi), Jakarta: Rajawali Press, 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia