RELASI ISLAM DAN NEGARA DALAM KONTEKS INDONESIA
RELASI ISLAM DAN NEGARA DALAM KONTEKS INDOONESIA
![]() |
Status dari dua tokoh politik bangsa |
Catatan dari Prof. Yudian W terhadap Tesis Khairul Anam
Hubungan antara Negara dan syariah merupakan masalah fundamental dalam sistem kenegaraan modern. Hampir setiap hari negara Muslim terlibat pergumulan intens dalam mencari formulasi yang tepat bagi situasi dan kondisi masing-masing negara. Dari sini kita dapat melihat adanya variasi relasi negara dan syariah di dunia Islam kontemporer. Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tidak ketinggalan ikut menyumbangkan ijtihadnya sendiri dalam mempercantik mozaik relasi ini.
Di Indonesia, pola relasi antara negara dan syariah mengalami pasang surut. dari diplomasi penuh senyum hingga "gegerisme berdarah-berdarah" salah satu faktor pembeda utama, adalah karena Indonesia terletak di pinggiran dunia Islam. Tetapi di persimpangan jalur perdagangan yang paling startegis. Kaya dengan kondisi geografis lagi karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau tetapi sekaligus mempersulit komunikasi antarpulau. Lebih dari itu, Islam mamasih merupakan pendatang baru ketika gagasan negara modern diperkenalkan di Indonesia.
Buku Legitimasi politik Tuhan: membongkar konsep penegakan syariah Islam PKB dan PKS karya Khoirul Anam ini membahas seluk -beluk relasi negara dan syaraiah ditinjau dari aspek historis yang terbentang dari awal kemerdekaan Indoensia hingga era reformasi. Di sini tergambar jelas tarik menarik antara syariah dan negara, yang diwakili oleh dua kekuatan yang berbeda pandangan. kekuatan nasionalis sekuler verses kekuatan Islamis. mereka memperebutkan simpati rakyat dalam memperjuangkan ideologi masing-masing. Negara Pancasila atau negara Islam. mereka saling adu argumentasi, dari BPUPKI hingga konstituante. karena tidak menemukan jalan kompromi, maka kaum nasionalis, yang kekuatan politiknya lebih unggul meminggirkan kaum Islamis dari percaturan politik Indonesia. Sikap ini memicu perlawanan kaum Islamis. yang merasa punya hak politik karena ikut angkat senjata dalam menumpas penjajahan dari bumi pertiwi. Sejumlah pemberontakan pun pecah pada masa tersebut seperti pemberontakan DI/TII dan NII.
Di sisi lain kekuatan Islamis semakin lemah karena adanya tarik menarik antara Muslim fundamentalis dengan Muslim Modernis. Muslim fundamentalis, yang memahami syariah secara legal formal, memilih jalan konfrontatif dalam memperjuangkan idiologi Isam. sebaliknya, Muslim modernis yang memahami syaraiah secara substansialis, lebih memilih jalan persuasif dalam memperjuangkan nilai-nilai universal syariah. perbedaan pola perjuangan syariah dalam konteks negara antara dua kelompok Islam tersebut tutur Anam, disebabkan berbagai faktor. diantaranya adalah perbedaan pemahaman syariah yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, sosial budaya, dan politik. berbagai perbedaan ini terakumulasi menjadi satu, sehingga kedua aliran tersebut tidak bisa kompromi.
Perbedaan pemaaman tentang syaraiah, anam mencatat juga disebabkan oleh perbedaan penafsiran tentang teks Al-Qur'an dan Sunnah. Syariah, bagi muslim fundamentalis, bersifat sempurna dan paripurna, sehingga tidak memerlukan penafsiran ulang . Al-Qur'an bagi mereka tidak harus menyesuaikan dengan realitas sosial dan perubahan zaman. Sebaliknya, realitas sosial dan perubahan zaman harus mengikuti Al-Qur'an. mereka menafsirkan teks agama secara harfiah tanpa melalui pendekatan multidisipliner seperti pendekatan sosio historis, filsafat, dan politik sehingga menghasilkan pola pemahaman agama yang kaku. Di sisi lain, Muslim modernis menafsirkan teks secara kontekstual rasional, sehingga menghasilkan pola pemahaman agama yang fleksibel dan sesuai dengan sitausi, kondisi dan perubahan zaman.
Perbedaan pola pemahaman tentang syariah di atas, catatan Anam melahirkan berbagai aliran dalam memahami pola relasi antara Islam dengan negara di Indonesia seperti aliran fundamentalistik, sekuleristik, dan aliran simbiotik. Bagi aliran formalistik, relasi antara syariah dan negara bersifat integral, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya, aliran sekularistik berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan negara. Sehingga keduanya harus dipisahkan. di tengah-tengah, aliran simbiotik menjembatani, hubungan antara keduanya, bagi aliran ini, bersifat simbiotik, dimana negara harus dibimbing oleh nilai-nilai syariah, sedangkan negara dijadikan penunjang bagi perkembangan agama.
Dalam ranah poltik praktik ketiga aliran tersebut, tambah Anam membentuk partai-partai yang berbeda baik secara teologis maupun politis. Aliran formalistik membetuk partai yang masih menggunakan simbol-simbol Islam dan berkeinginan kuat untuk menegakkan syariat secara formal seperti PKS, PBB, dan PPP. Aliran sekularistik memebentuk partai-partai nasionalis sekuler seperti PNI, Golkar, PDI, dan PD, pada gilirannya aliran simbiotik melahirkan partai-partai nasionalis relijius seperti PKB dan PAN. Masing-masing aliran cendrung menggap pola pemahaman mereka tentang syariah sebagai penafsiran yang paling benar dalam konteks Indonesia.
PKB dan PKS merupakan dua partai Islam yang mendapatkan suara signifikan pada pemilihan umum 2004. Kedua partai sama-sama lahir dari kaum intlektual Islam. Tetapi mempunyai perbedaan ideologi, platform dan garis perjuangan yang tidak kecil. PKS terang-terangan menggunakan simbol-simbol Islam, beridiologi Islam dan berkeinginan kuat untuk menegakkan syariah secara formal. Di sisi lain, PKB tidak mau menggunakan ideologi dan simbol-simbol Islam. Lebih memilih menggunakan ideologi pancasila dan tidak ingin memperjuangkan syariah secara formal. PKB hanya ingin menegakkan nilai-nilai universal syariah seperti keadilan, persamaan, kemerdekaan, musyawarah, dan supremasi hukum. Nilai-nilai universal ini, bagi PKB lebih relevan untuk diperjuangakan dalam konteks Indonesia yang majemuk. Terrlepas dari berbagai perbedaan kedua kutub ini sama-sama mengaggap ijtihad politik mereka berlandaskan nilai-nilai syariah.
Sikap PKB yang memilih menjadi partai modernis padahal dilahirkan dari Nahdlatul Ulama yang dianggp tradisionalis, menandakan bahwa terjadi pergeseran permaknaan tentang kategori Islam di indonesia. Sebelum era reformasi, isitilah modernis hanya dimonopoli oleh orang reformais yang fikih dan akidanya sangat wahabi, sedangkan sekarang kaum tradisionlis yangdulu terkesan kolot dan antoperubahan, telah bereser menjadi kaum modernis. di mata Anam, PKB adalah partai modernis dikarenakan tidak maun menggunakan simbol-simbo Islam, mengakui pluralisme, HAM dan demokrasi. PKS dikelompokkan menjadi partai fundamentalis karena menggunakan simbol-simbol Islam, menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan plus masih beromantisisme dengan masa lalu.
Dengan analisis nilai-nilai politik Islam (siyasah syariyyah) yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah) yang dibingkai dalam pemikiran politik Islam klasik maupun kontemporer, maka buku ini dapat diadikan sebagai salah satu referensi fikih siasat. lebih dari itu, Anam mengeritik kedua partai Islam tersebut dari perspektif fikih siasat, sehingga dapat menjadi catatan bagi politisi, akademisi maupun umat Islam yang masih mendambakan lahirnya partai Islam yang sesuai dengan nilai-nilai syariah agar tidak terjebak ke dalam kepentingan politik sesaat. sebagai penulis muda, Anam mencoba mendobrak kultur santri yang tidak berani mengeritik kyai maupun lembaga yang pernah membesarkannya.
buku ini akan semakin "menggigit" kalau saja Anam juga mendemonstrasikan perbedaan metode tafsir PKS dan PNKB dalam menyikapi ayat-ayat hukum yang akan dijadikan undang-undang. Sehingga pembaca akan mendapatkan kejelasan metodis operasional bukan sekedar slogan politik. Demikianlah kata pengantar dari saya sebagai salah seorang penguji tesis MA yang sekarang diterbitkan sebagai buku ini.
Yogyakarta 2007
Yudian Wahyudi
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih