KEPEKAAN MENDIDIK
Satu bulan sejak memasuki tahun ajaran
baru tahun 2015/2016 masa tugas semester dua sebagai guru relawan SGI DD VII
saya mengampu dua mata pelajaran di kelas V SD penempatan saya. Di SGI saya
diwajibkan masuk kelas minimal 12 jam dalam satu minggu. Kedua mata pelajaran
itu setidaknya telah mencukupkan kewajiban masuk kelas untuk mengajar di
sekolah. Namun karena berada di sekolah daerah terpencil, seringkali ada kelas
yang kosong, sebab kadang beberapa guru harus pergi ke kota untuk urusan dinas
tertentu. Maka tugas saya adalah mengisi setiap kelas yang kosong.
Secara manajemen tentu ini tidak sesuai
dengan dunia ideal pendidikan. Tapi kita tentu harus faham kenapa kondisi yang
demikian masih ada. Sebab sekolah tempat saya mengajar memang cukup terpencil.
Akses ke sekolah ini cukup jauh dari kota, dan hanya ada jalan setapak yang
bisa dilalui dengan jalan kaki atau
menggunakan motor. Mobil tidak bisa masuk kesini, sebab lebar jalan
hanya kurang lebih satu senitmeter.
Tapi tidak penting itu semua.., yang
terpenting adalah bagaimana kita mengajar dengan sebaik baiknya, dan memberikan
pendidikan dan pengajaran yang berkualitas bagi anak-anak yang berada disini.
Mengutip dari Agung Pardini belajar, mengajar, dan pembelajaran dimaknai sebagai
berikut. “Belajar
adalah proses untuk mengubah diri dari tidak tahu menjadi tahu, dari belum bisa
menjadi bisa, dari belum terampil menjadi terampil danmahir.
Sedangkan mengajar sendiri
adalah upaya mentransformasi orang lain, yakni peserta didik, agar menjadi
tahu, bisa, terampil, dan mahir.Bila belajar dan mengajar digabungkan dalam
satu aktivitas bersama makahal ini disebut sebagai kegiatan pembelajaran.
(Pembelajaran = belajar + mengajar). Pembelajaran itu sendiri secara konsep
dasarnya adalah pertemuan ataupersenyawaan antara aktivitas murid belajar dan
guru sedang mengajar. Secara hakikat, pembelajaran adalah proses peningkatan
kemampuan baik di ranah kognitif, afektif, dan juga ranah keterampilan melalui
aktivitas interaksi antar-elemen pembelajaran.
Demikian kita bisa memahami apa
itu belajar dan mengajar dan pembelajaran. Maka kita perlu memahami bahwa
pembelajaran tidak hanya menyangkut ranah otak
(kognitif) yang ada pada siswa. Artinya pembelajaran itu adalah
kehidupan itu sendiri. Pembelajaran yang senyatanya akan membuat siswa memahami
secara lebih dalam keadaan diri dan lingkungannya.
Jika hari ini para anak didik
saya di daerah penempatan melihat guru-gurunya sering kali tidak masuk kelas
dalam mengajar, sebab harus menjalankan urusan dinas dikota dalam waktu yang
tidak sedikit. Maka guru yang lain mesti memberikan pemahaman kepada siswa
bahwa mereka kelak ketika menjadi guru mesti menjadi guru yang lebih cerdas,
dan lebih baik dari guru-guru saat ini.
Guru-guru didaerah terpencil
memang tidak memiliki akses yang cukup bagus dengan infrastruktur jalan,
komunikasi, dan teknologi. Sebab di daerah penempatan saya misalnya hanya ada
listrik yang baru masuk secara bagus. Kalau infrastruktur jalan, komunikasi,
dan teknologi, masih belum bisa diandalkan. Inilah yang menyababkan akses
keterjangkauan guru untuk member pelajaran maksimal kepada anak didik menjadi
terbatas, walaupun tentu saya juga pada dasarnya tidak begitu sepakat dengan
hal tersebut. Karena yang namanya kreatifitas dalam mendidik, apapun bisa jadi
media pembelajaran yang bisa meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
Dalam kutipan yang sama dari
Agung Pardini, Pembelajaran yang
sempurna setidaknya memiliki delapan tipe interaksi
yang intensif, yakni:
* Interaksi antara guru dan siswa;
* Interaksi antara guru dan sumber belajar;
* Interaksi antara setiap individu siswa
langsung dengan media dan
sumber belajarnya;
* Interaksi antara individu siswa dengan
individu siswa yang lain;
* Interaksi antara guru dan kelompok siswa;
* Interaksi antara individu siswa dengan
kelompoknya;
* Interaksi kelompok dengan sumber dan media
belajarnya;
* Interaksi antara kelompok dengan kelompok
lain.
Untuk memahami kedelapan hal
tersebut, maka kita harus memahami pola mengajar kita sebagai guru. Umumnya
guru hanya mengajar dengan pola interaksi antara guru dan siswa. Artinya guru
menjelaskan di depan siswa mendengar penjelasan guru kemudian guru memberikan
tugas kepada anak didik untuk dikerjakan sampai jam pelajaran berganti. Nah..
apalagi guru di daerah terpencil, yang akses dan kreatifias terbatas.
Oleh sebab itu, mari kita
fahami lebih jauh mengenai dua
pendekatan utama pembelajaran, sebagaimana saya kutif dari Agung Pardini “Setidaknya ada dua pendekatan dalam sistem pengajaran
modern saat ini, yakni pembelajaran berpusat pada guru (/teacher-centered
learning/) dan pembelajaran yang berpusat pada siswa
(/student-centered learning/). Pada pembelajaran berpusat pada guru, indikator
keberhasilan pembelajaran dapat dilihat pada sejauh mana siswa dapat menyerap informasi
lebih banyak dari pengajaran gurunya. Dengan demikian, pendekatan ini lebih
berorientasi pada faktor kognitif siswa. Adapun
pada pembelajaran berpusat pada siswa, guru lebih ditempatkan sebagai fasilitator dan siswa diharapkan bisa
mengonstruksi sendiri kemampuan dirinya berdasarkan tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Kompetensi siswa, baik dari sisi kognitif, afektif, dan
psikomotor, akan lebih terlihat atau semakin teruji pada pendekatan pembelajaran
berpusat pada siswa”.
Kini kita semua perlu menyadari, bahwa
kita sebagai guru adalah pemegang kunci kualiatas pendidikan di daerah
terpencil harus memiliki kepekaaan (sense) of good educate, agar kita bisa
menjadi problem solving bagi pendidikan di daerah terpencil. Kita lepas semua ikatan formalitas pendidikan,
yang hanya mementingkan sisi admistratif dan menjauhkan dari sisi substantive
seorang pendidik. Agar kita benar benar menjadi pendidik yang mendidik dari
hati.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih