CTL UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Oleh
Ahmad Rizal Khadapi
6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Ahmad Rizal Khadapi
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran ataupun usaha menuntut
kepandaian (ilmu pengetahuan). Dikutip dari Wikipedia, sekolah adalah tempat
pendidikan bagi anak-anak.
Dalam konteks
yang demikian sekolah menjadi tumpuan dalam membentuk kpribadian anak yang
lebih baik. Sekolah menjadi sebuah ruang produksi manusia, yaitu membuat manusia
dari tidak berkepribadian menjadi memiliki kepribadian yang mantap dan ajeg.
Ibarat mesin yang memproduksi bahan baku mentah menjadi barang siap jual
bernilai tinggi.
Sekolah
adalah wadah perjuangan bagi para guru untuk mendidik siswa/siswi menjadi lebih
bermanfaat dan bermartabat. Sistem persekolahan kita saat ini memang
mengidentikkan sekolah sebagai sebuah tempat menerima dan memberi pelajaran.
Pengidentikkan sistem persekolahan berada pada empat jenjang, yaitu jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertema, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Tinggi .
Pada jenjang Sekolah Dasar masa pendidikannya dilaksanakan selama enam tahun, jenjang SMP
tiga tahun, SMA tiga tahun, dan jenjang Sekolah Tinggi 3-4 tahun. Hal ini
menjadikan jenjang pendidikan formal kita menjadi sangat lama. Jika
dikalkulasikan dengan usia masuk Sekolah Dasar sampai usia lulus dari jenjang sekolah
tinggi maka kita akan menjalani sekolah formal selama 16 tahun. Artinya jika
usia manusia rata-rata 60 tahun, maka seperempat usianya dihabiskan untuk
mengikuti jenjang pendidikan di sekolah.
Namun
pertanyaannya adalah sudah efektifkah sekolah membentuk karakter, dan
merekayasa manusia menjadi manusia yang sesuai dengan cita-cita bangsa,
perkembangan zaman dan idealitas tuntunan agama. Harus diakui sekolah yang
menjadi tempat menuntut ilmu semakin terasa tidak memiliki efektifitas dalam
membentuk karakter. Sebab komponen-komponen penunjang keberhasilan sekolah
dalam merekayasa manusia sering tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Sudah menjadi
rahasia umum ketidak berhasilan sekolah dalam membentuk karakter peserta didik
disebabkan salah satunya karena tenaga pendidik (guru) yang mengajar di
sekolah. Guru ibarat tenaga penggerak/energy
bagi mesin produksi yang bernama sekolah. Jika guru memiliki kapasitas energy
yang besar, sekolah akan berhasil dalam membentuk karakter.
B.
PERMASALAHAN GURU
Menurut Ketua
Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo,
pemerintah belum sistematis dalam mengupayakan peningkatan kompetensi guru. Jumlah
pelatihan yang digelar tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. Pelatihan
yang terarah dan berkesinambungan sangat diharapkan oleh guru-guru di daerah. (kompas,7/15).
“Setiap
tahun, hanya sekitar 500 guru di kabupaten atau kota yang punya kesempatan
mengikuti pelatihan. Padahal, jumlah
guru dalam satu kabupaten atau kota bisa mencapai 10.000 guru,” kata Sulistiyo
(kompas,7/15). Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah belum sesuai
dengan kebutuhan guru. Dan pelaksanaan program pelatihan juga lebih sering
berbasis proyek tanpa evaluasi yang jelas.
Dalam
kesempatan yang berbeda, Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) Sumarna Surapranata mengatakan sudah mulai
membuat program pelatihan terkonsep. Ia mengatakan ada 700.000-800.000 guru
yang mendapat pelatihan setiap tahun. (Kompas,7/15)
Melihat apa
yang dikatakan oleh ketua umum PGRI
terebut, maka permasalahan guru terkait dengan cara dan model mengajar
disekolah, sangat wajar untuk dimaklumi. Sebagaimana diktahui, salah satu
masalah guru saat ini terletak pada kompetensi mengajarnya. Karena kecendrungan
guru hanya mengajar dengan satu metode saja, yaitu metode ceramah, dan jarang
menerapkan model-model atau metode pembelajaran yang lain.
Model
pembelajaran yang monoton dari guru menyebabkan eskalasi pendidikan di sekolah
tidak mampu membentuk jati diri peserta didik yang lebih futuristic (sesuai dengan perkembangan zaman). Perkembangan zaman
menuntut guru untuk selalu memperbaharui cara dan model kegiatan belajar
mengajar yang diterapkannya. Tapi sayangnya tidak terakomodirnya kebutuhan guru
untuk dilatih serta materi pelatihan yang terapkan membuat guru berada pada
posisi stagnansi dalam mengajar.
C.
MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
(CTL)
Permasalah
terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang (siswa) adalah mereka belum
bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan
itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah informasi dan
motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa membantu
mereka. Para siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis (seperti
konsep-konsep matematika, fisika, atau biologi), karena metode mengajar yang
selama ini digunakan oleh pendidik (guru) hanya terbatas pada metode ceramah.(
Arif Lukman Nadhirin, ,3/10).
Kemampuan
siswa dalam mengetahui, memahami, dan mengimplementasik serta memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang didapat dibangku sekolah sangat jarang dilakukan oleh siswa.
Karena pendidikan di jenjang sekolah selama ini memang terbatas pada sisi
pengetahuan saja (kognitif), jarang mencakup sisi afektif dan psikomotorik.
Padahal untuk membentuk karakter siswa dua sisi itu juga mesti turut aktif
dilibatkan. Penilain guru juga lebih mengutamakan sisi kognitif.
Sebagai
contoh siswa diajarkan tentang manfaat menabung, tetapi siswa tidak diajak
untuk menabung bersama dan tidak difasilitasi untuk membuat alat untuk menabung
(kencelecngan). Semestinya ketika
kita mengajar tentang manfaat menabung sebagai ranah kognitif, maka kita juga
mesti mengajak siswa untuk menabung sebagai ranah afektif, dan mengajak mereka
membuat alat untuk menabung sebagai ranah psikomotorik. Hal ini yang akan
membentuk karakter siswa, yaitu karakter hidup hemat dan cermat.
Pada
konteks yang demikian, maka model pemebelajaran yang harus diterapkan oleh guru
tidak cukup dengan cara ceramah. Mesti ada model lain, diantaranya yaitu Contextual
And Teaching Learning. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem
pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks
kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi
yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah
dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan
dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
Menurut Depdiknas dalam Arif
Lukman Nadhirin (KumpulanArtikel,3/2010)
untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama,
yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya
(Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Konstruktivisme
(constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan
tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif
secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur
pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan
(Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari
observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya
(Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari
bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual.
Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman
siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6)
memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat
Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil
pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar
diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke
yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua
kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan
(Modeling). Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan
apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa
dan juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Model
pendekatan yang demikian akan menuntut guru untuk lebih kreatif mencari
alternatif tempat belajar yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Artinya pembelajaran tidak hanya dapat dilaksanakan didalam kelas serta
dilingkungan sekolah. Namun akan disesuaikan dengan pengetahuan siswa dan
kondisi kehidupan kekinian.
Ketika harga BBM mengalami kelangkaan dan kenaikan
harga, sementara disatu sisi kebutuhan akan BBM sangat besar. Untuk mengatasi
hal tersbut siswa diajak untuk mencari alternative bahan bakar yang lebih murah
dan lebih hemat . Siswa kemudian menemukan cara untuk melakukan hal
itu, yaitu dengan menggunakan bahan bakar gas.
Pertanyaannya adalah bagaimana bahan bakar gas itu
bisa diterapkan untuk kendaraan bermotor (beroda dua), setelah belajar lebih
dalam ternyata siswa dapat menciptakan sebuah alat yang dapat mengkonversi
bahan bakar gas tersebut sehingga bisa digunakan pada kendaraan bermotor.
Inilah yang dinamakan pembelajaran berbasis Contekstual Teaching and Learning.
Model ini akan melibatkan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek pengetahuan
(kognitif), sifat (afektif), dan psikomotorik.
Pelibatan ketiga aspek tersbut akan mampu membentuk
karakter pada siswa. Sebab semua organ bagian tubuh siswa bergerak aktif
menerima pelajaran. Mulai dari otak pada sisi kognitif, kemudian hati
(perasaan)/sikap pada sisi afektif, dan gerak tubuh pada sisi psikomotorik. Dengan demikian peroes menjadikan sekolah sebagai
basis membentuk manusia yang lebih berkarakter dan bermanfaat akan mampu
dilaksanakan dengan sukses salah satu caranya adalah pengimplementasian model
pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Leraning.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih