CTL UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Oleh
Ahmad Rizal Khadapi



               A.   SEKOLAH SEBAGAI BASIS KARAKTER
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran ataupun usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan). Dikutip dari Wikipedia, sekolah adalah tempat pendidikan bagi anak-anak.
Dalam konteks yang demikian sekolah menjadi tumpuan dalam membentuk kpribadian anak yang lebih baik. Sekolah menjadi sebuah ruang produksi manusia, yaitu membuat manusia dari tidak berkepribadian menjadi memiliki kepribadian yang mantap dan ajeg. Ibarat mesin yang memproduksi bahan baku mentah menjadi barang siap jual bernilai tinggi.
Sekolah adalah wadah perjuangan bagi para guru untuk mendidik siswa/siswi menjadi lebih bermanfaat dan bermartabat. Sistem persekolahan kita saat ini memang mengidentikkan sekolah sebagai sebuah tempat menerima dan memberi pelajaran. Pengidentikkan sistem persekolahan berada pada empat jenjang, yaitu jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertema, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Tinggi .
Pada jenjang Sekolah Dasar masa pendidikannya dilaksanakan selama enam tahun, jenjang SMP tiga tahun, SMA tiga tahun, dan jenjang Sekolah Tinggi 3-4 tahun. Hal ini menjadikan jenjang pendidikan formal kita menjadi sangat lama. Jika dikalkulasikan dengan usia masuk Sekolah Dasar sampai usia lulus dari jenjang sekolah tinggi maka kita akan menjalani sekolah formal selama 16 tahun. Artinya jika usia manusia rata-rata 60 tahun, maka seperempat usianya dihabiskan untuk mengikuti jenjang pendidikan di sekolah.
Namun pertanyaannya adalah sudah efektifkah sekolah membentuk karakter, dan merekayasa manusia menjadi manusia yang sesuai dengan cita-cita bangsa, perkembangan zaman dan idealitas tuntunan agama. Harus diakui sekolah yang menjadi tempat menuntut ilmu semakin terasa tidak memiliki efektifitas dalam membentuk karakter. Sebab komponen-komponen penunjang keberhasilan sekolah dalam merekayasa manusia sering tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Sudah menjadi rahasia umum ketidak berhasilan sekolah dalam membentuk karakter peserta didik disebabkan salah satunya karena tenaga pendidik (guru) yang mengajar di sekolah. Guru ibarat tenaga penggerak/energy bagi mesin produksi yang bernama sekolah. Jika guru memiliki kapasitas energy yang besar, sekolah akan berhasil dalam membentuk karakter.
B.            PERMASALAHAN GURU
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, pemerintah belum sistematis dalam mengupayakan peningkatan kompetensi guru. Jumlah pelatihan yang digelar tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. Pelatihan yang terarah dan berkesinambungan sangat diharapkan oleh guru-guru di daerah. (kompas,7/15).
“Setiap tahun, hanya sekitar 500 guru di kabupaten atau kota yang punya kesempatan mengikuti pelatihan. Padahal,  jumlah guru dalam satu kabupaten atau kota bisa mencapai 10.000 guru,” kata Sulistiyo (kompas,7/15). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan guru. Dan pelaksanaan program pelatihan juga lebih sering berbasis proyek tanpa evaluasi yang jelas.
Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) Sumarna Surapranata mengatakan sudah mulai membuat program pelatihan terkonsep. Ia mengatakan ada 700.000-800.000 guru yang mendapat pelatihan setiap tahun. (Kompas,7/15)
Melihat apa yang dikatakan oleh ketua umum  PGRI terebut, maka permasalahan guru terkait dengan cara dan model mengajar disekolah, sangat wajar untuk dimaklumi. Sebagaimana diktahui, salah satu masalah guru saat ini terletak pada kompetensi mengajarnya. Karena kecendrungan guru hanya mengajar dengan satu metode saja, yaitu metode ceramah, dan jarang menerapkan model-model atau metode pembelajaran yang lain.
Model pembelajaran yang monoton dari guru menyebabkan eskalasi pendidikan di sekolah tidak mampu membentuk jati diri peserta didik yang lebih futuristic (sesuai dengan perkembangan zaman). Perkembangan zaman menuntut guru untuk selalu memperbaharui cara dan model kegiatan belajar mengajar yang diterapkannya. Tapi sayangnya tidak terakomodirnya kebutuhan guru untuk dilatih serta materi pelatihan yang terapkan membuat guru berada pada posisi stagnansi dalam mengajar.
C.            MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
Permasalah terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang (siswa) adalah mereka belum bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah informasi dan motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa membantu mereka. Para siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis (seperti konsep-konsep matematika, fisika, atau biologi), karena metode mengajar yang selama ini digunakan oleh pendidik (guru) hanya terbatas pada metode ceramah.( Arif Lukman Nadhirin, ,3/10).
Kemampuan siswa dalam mengetahui, memahami, dan mengimplementasik serta memanfaatkan ilmu pengetahuan yang didapat dibangku sekolah sangat jarang dilakukan oleh siswa. Karena pendidikan di jenjang sekolah selama ini memang terbatas pada sisi pengetahuan saja (kognitif), jarang mencakup sisi afektif dan psikomotorik. Padahal untuk membentuk karakter siswa dua sisi itu juga mesti turut aktif dilibatkan. Penilain guru juga lebih mengutamakan sisi kognitif.
Sebagai contoh siswa diajarkan tentang manfaat menabung, tetapi siswa tidak diajak untuk menabung bersama dan tidak difasilitasi untuk membuat alat untuk menabung (kencelecngan). Semestinya ketika kita mengajar tentang manfaat menabung sebagai ranah kognitif, maka kita juga mesti mengajak siswa untuk menabung sebagai ranah afektif, dan mengajak mereka membuat alat untuk menabung sebagai ranah psikomotorik. Hal ini yang akan membentuk karakter siswa, yaitu karakter hidup hemat dan cermat.
Pada konteks yang demikian, maka model pemebelajaran yang harus diterapkan oleh guru tidak cukup dengan cara ceramah. Mesti ada model lain, diantaranya yaitu Contextual And Teaching Learning. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
Menurut Depdiknas dalam Arif Lukman Nadhirin (KumpulanArtikel,3/2010) untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun penjelasannya sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.

2. Menemukan (Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).

3. Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

5. Pemodelan (Modeling). Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.

6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.

7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Model pendekatan yang demikian akan menuntut guru untuk lebih kreatif mencari alternatif tempat belajar yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Artinya pembelajaran tidak hanya dapat dilaksanakan didalam kelas serta dilingkungan sekolah. Namun akan disesuaikan dengan pengetahuan siswa dan kondisi kehidupan kekinian.
Ketika harga BBM mengalami kelangkaan dan kenaikan harga, sementara disatu sisi kebutuhan akan BBM sangat besar. Untuk mengatasi hal tersbut siswa diajak untuk mencari alternative bahan bakar yang lebih murah dan lebih hemat . Siswa kemudian menemukan cara untuk melakukan hal itu, yaitu dengan menggunakan bahan bakar gas.
Pertanyaannya adalah bagaimana bahan bakar gas itu bisa diterapkan untuk kendaraan bermotor (beroda dua), setelah belajar lebih dalam ternyata siswa dapat menciptakan sebuah alat yang dapat mengkonversi bahan bakar gas tersebut sehingga bisa digunakan pada kendaraan bermotor. Inilah yang dinamakan pembelajaran berbasis Contekstual Teaching and Learning. Model ini akan melibatkan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek pengetahuan (kognitif), sifat (afektif), dan psikomotorik.
Pelibatan ketiga aspek tersbut akan mampu membentuk karakter pada siswa. Sebab semua organ bagian tubuh siswa bergerak aktif menerima pelajaran. Mulai dari otak pada sisi kognitif, kemudian hati (perasaan)/sikap pada sisi afektif, dan gerak tubuh pada sisi psikomotorik. Dengan demikian peroes menjadikan sekolah sebagai basis membentuk manusia yang lebih berkarakter dan bermanfaat akan mampu dilaksanakan dengan sukses salah satu caranya adalah pengimplementasian model pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Leraning.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia