Islam rasa Ibnu Miskawaih
Oleh
Lalu Fahrurrozi ST
Mengapa “sesuatu” itu disebut kotak, bola, meja, komputer atau pesawat ? Tentu proses identifikasi (pengenalan) itu terjadi, karena setiap “sesuatu” itu memiliki kekhasan bentuk yang membedakannya dengan yang lain. Misalnya segi tiga sama sekali berbeda dengan segi empat. Ketika dua bentuk ini digabung menjadi satu, maka akan lahir bentuk yang baru. Salah satunya trapesium (segi lima). Tentunya penggabungan dengan teknik yang berbeda akan menghasilkan bentuk yang berbeda pula.
Pengenalan ini terjadi setelah kita melakukan proses belajar mengenai hal ini. Proses belajar itulah yang menumbuhkan kemampuan kita untuk membedakan satu bentuk dengan bentuk yang lainnya.
Pengenalan kita tentunya tidak berakhir pada sekedar pemberian nama. What is a name ? Apa arti sebuah nama, tanya Shakeshpare. Kita perlu melanjutkannya dengan pemberian penilaian atau pemeringkatan level kualitasnya. Misalnya, kita memiliki sebuah gelas. Dalam urusan pengenalan kualitas, kita akan membedakan gelas yang baik dan buruk. Penilaian ini muncul karena perbedaan mutu fungsinya. Kita menyebutnya baik karena gelas itu bisa digunakan untuk menampung air putih. Jika ada gelas yang tidak bisa menampung air, saya berharap anda sepakat untuk menyebutnya sebagai gelas yang buruk.
Kita juga dapat melanjutkan contoh penilaian ini pada “sesuatu” yang lain seperti kuda atau pedang. Nah, coba bayangkan jika kita memiliki gelas yang retak, pedang yang tumpul atau kuda tunggangan yang kurus. Tentunya, kekurangan fungsi ini akan membuatnya jatuh dari derajat standar yang telah diberikan; jatuh dari derajat kegelasannya, kepedangannya dan kekudaannya. Walaupun kita masih mengenalnya sebagai gelas, pedang atau kuda namun fungsinya telah hilang atau berkurang.
Setelah kita menemukan kualitas “sesuatu” itu, pengenalan yang lebih mendalam akan menyinggung aspek cita rasa (kepuasan). Jika aspek kualitas lebih menitikberatkan pemenuhan fungsi fisiknya, maka aspek cita rasa berusaha menemukan nikmat jiwanya. Apakah “sesuatu” itu menarik atau tidak ? Misalnya kita memiliki sebuah pedang. Tentunya pedang yang berharga, bukan sekedar mampu memotong dengan baik, tapi juga memiliki kesan yang kuat bagi jiwa, entah karena faktor sejarah (antik; penginggalan kerajaan) atau penampilan estetikanya yang menggoda. Pada ukuran ini yang lebih dominan adalah cita rasa terhadap “sesuatu” yang menjamin kepuasan.
Perpaduan tiga hal ini; bentuk, kualitas dan cita rasa; akan menentukan “sesuatu” itu berharga, memiliki kemuliaan, dan diperebutkan banyak orang. Inilah formulanya :
SEJENAK KITA MERENUNG
Sejenak, kita berhenti di sini. Agak melelahkan juga menelusuri faktor-faktor “kemuliaan” sesuatu. Walau kesannya sederhana, marilah kita gunakan tiga ukuran tadi untuk menentukan harga/tingkat kemusliman kita. Tapi sebelumnya, saya ingin menginformasikan sebuah rahasia (setelah ini, tentunya tidak menjadi rahasia lagi, hehehe…). Dalam menemukan awal kriteria tadi, saya banyak terinspirasi dari karya masterpiecenya Ibnu Miskawaih, Tahdzibul Akhlak (Menuju Kesempurnaan Akhlak). Namun penemuan struktur tiga ukuran kemuliaan menjadi lebih jelas setelah saya membaca hadits masyhur dari Umar bin Khattab r.a. yang menceritakan dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril. Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi tentang pengertian Islam, Iman dan Ihsan. Bagi saya, hadits ini tidak sekedar mengungkapkan sebuah pengertian, lebih jauh dari itu, atsar Nabi ini menunjukkan kemampuannya yang sangat baik dalam memberikan level seorang hamba Allah; kita mulai berjalan dari muslim, mendaki maqam mu’min dan tiba pada puncak muhsin; saat kita merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan kita.
MENJADI MUSLIM YANG MULIA
Untuk menjadi muslim yang mulia, yang memiliki harga diri (izzah), maka kita perlu memperjelas bentuk, fungsi dan cita rasa keIslaman kita. Kita tidak akan berharga jika tidak memiliki bentuk/ciri/identitas yang jelas sebagai seorang muslim. Derajat kemusliman kita akan terjatuh, jika fungsi yang diamanahkan Allah tidak dilaksanakan. Dunia akan menjadi jenuh dalam melihat kita, jika kita tidak tampil dengan cita rasa yang baik dan dinamis.
Mari kita mulai berhitung-hitung dan belajar untuk menegaskan pendapat/penilaian kita. Kalau ada “sesuatu” yang memiliki bentuk yang jelas tapi tidak berfungsi dengan baik, misalnya gelas yang bocor, tentu kita lebih suka membuangnya khan. Kalaupun mempertahankannya, kita harus menempel bagian bocornya. Bagaimana halnya jika kita yang katanya muslim, tapi tugas kemusliman kita tidak jalan. Kita telah bersyahadat kepada Allah, mengikrarkan janji setia dalam setiap iftitah shalat kita; sudah membual ke seantero dunia “gue ini muslim beneran”, “100 % asli muslim”, “pokoknya nggak diragukan lagi”; tapi muslimahnya tidak memakai jilbab; jika menggunakan jilbab, pilihannya jilbab super ketat yang bisa bikin masuk angin, kadang lehernya diikat sampai berwarna kemerah-merahan; yang laki-laki senang nongkrong mengganggu cewek lewat dari pada pergi sholat di masjid, lebih senang jelalatan dari pada menundukkan pandangan, lebih sering baca komik dari pada membaca al-Qur’an.
Nah, bagaimana pendapatmu, dengan jenis muslim seperti itu ? Dalam sholat mengaku cinta abis sama Allah, ruku’ dan sujud dengan menghiba-hiba; tapi di luar shalat sering berbuat hal yang diharamkan Allah, melanggar perintah-Nya, melaksanakan larangan-Nya dan menyakiti-Nya dengan menyakiti hamba-Nya.
Pada titik inilah, kemanusiannya jatuh pada derajat kebinatangan, bahkan jauh lebih hina dari pada binatang. Allah menegur mereka : “………..Mereka seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang.”
Berabe khan ?
Celakanya, sebagian besar muslim/muslimah hari ini berIslam setengah hati, belum kaffah (sempurna). Mungkin bentuknya sudah muslim, tapi fungsi dan cita rasanya masih belum tampak. Bagaimana mungkin ummat ini akan kembali berjaya, jika individu muslimnya seperti ini ? Bagusnya dibuang kemana yach
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih