MISKIN OR NOT MISKIN..???
oleh
Ahmad Rizal Khadapi, SH, SGI
Kalau berbicara soal kemisikinan,
sebenarnya saya bukanlah orang yang ahli. Karena memang saya tidak sedang
konsen meneliti pada masalah ini. Apalagi saya hidup bersama dengan kawan-kawan
yang keluarganya berlatang kurang mampu. Dulu almarhum paman saya, bang Opik
“miskin” adalah pejuang kaum marjinal. Ia mendirikan Lembaga Advokasi Rakyat
untuk Demokrasi (LARD) . satu lembaga yang berkedudukan di Mataram dan konsen
pada masalah ketertindasan rakyat, dari kasus KDRT, sampai kasus-kasus lain yang
menyangkut rakyat miskin. Beliau dekemudian hari mendapat sebutan Opik Miskin.
Saya kagum dengan perjuangan beliau.
Keluarga besar kami memang berlatar belakang keluarga kurang mampu secara
ekonomi. Dari keluarga petani tradisional yang mengandalkan hasil panen sebagai
bekal hidup. Semangat untuk berubah dan merubah orang lain telah mengantarkan
kami menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Saya dan almarhum paman saya
beda generasi. Ia generasi 90-an termasuk salah seorang aktivis 98 yang
menentang orde baru dan menjatuhkan presiden ke-2 RI dari tampuk kekuasaannya.
Sedangkan saya generasi 09, yang tak tuntas turut serta mengadvokasi kasus Century.
Berawal dari kegalauan hati
yang merasa sedikit aneh melihat negeri
ini. Barangkali bukan saya saja, tapi kita semua. Kenapa aneh..? Karena
persentase kaum miskin tak pernah bisa dituntaskan oleh negara. Entah
program-program pengentasan kemiskinan itu sudah benar-benar dilaksanakan
dengan serius atau hanya lipstik saja (pemanis bibir). Data Badan Pusat
Statistik (BPS) pada bulan maret 2015 jumlah penduduk miskin mencapai angka
28,59 juta orang, sedangkan pada September 2014
27, 73 juta orang. Artinya jumlah penduduk miskin di Indonesia sama
besarnya dengan jumlah penduduk Malaysia ditambah Singapura. Wow... !!! angka
yang tidak bisa dibilang kecil. Lalu apa yang menyebabkan angka kemisknan tak
kunjung turun..?
KEMISKINAN SESUNGGUHNYA
Definisi
mengenai kemiskinan umumnya merujuk pada satu problem ekenomi individu atau
masyarakat. Seorang yang tidak berpenghasilan dan tidak mampu membiayai
kebutuhan hidupnya sehari-hari disebut sebagai orang miskin. Atau keluarga yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti membeli beras, lauk-pauk,
juga disebut sebagai keluarga miskin.
Tapi.., disini saya ingin mengatakan
bahwa miskin itu tidak hanya menyangkut masalah ekonomi. kita sedang berada
dalam sebuah sistem kemisikninan yang akut. Seperti miskin karakter, miskin literasi,
miskin disiplin, miskin komitmen dan jenis-jenis miskin yang lainnya. Agar
tidak rancu, mari saya jelaskan satu persatu.
Miskin Karakter
Miskin karakter saya definisikan
sebagai satu watak dalam individu atau masayarakat yang tidak menyadari
kebodohan dalam dirinya. Contoh jika orang melihat tulisan di sebuah jalan,
yang berbunyi “ tinggi maksimal 3 meter”
artinya bagaimana? Maka hal demikian artinya bahwa kendaraan yang masuk tidak
boleh melebihi ketinggian 3 meter. Jika ada kendaraan yang masuk tingginya lebih
dari 3 meter maka itu melanggar hukum. Di Lombok Timur jalan yang seperti itu
banyak jumlahnya, tapi tetap saja jalan itu dilewati kendaraan yang memiliki
tinggi lebih dari 3 meter.
Contoh lain lagi, ketika kita berada
di Bandara sambil jalan menuju loket check
in kita makan permen. Setelah membuka bungkusnya kita buang ke lantai. Kita
tak peduli di depan sana ada bak sampah. Kita merasa tak bersalah membuang
sampah sembarangan. kebiasaan buruk seperti ini adalah bentuk miskinnya
karakter kita.
Di satu perempatan jalan, lampu traffic light menunjukkan warna merah,
karena kita merasa kendaraan sepi, langsung kita pacu kendaraan kita, dan
brosss...lampu merahpun tak kita pedulikan. Hal ini juga merupakan bentuk
miskinnya karakter.
Miskin literasi
Satu
tanda bangsa kita miskin literasi adalah minat baca masyarakat kita yang berada
jauh dibawah Malaysia dan Singapura. Menurut Mndikbud Anies Baswedan, berdasarkan data UNESCO, persentase minat baca
Indoensia sebesar 0,01 %. Ini berarti
dari 10.000 orang hanya satu saja yang memiliki minat baca. Selain minat
baca, produktivitas professor kita dalam tulisan ilmiah yang dimuat pada jurnal
internasional juga masih di bawah Malaysia. Masyarakat kita hanya sibuk bikin
status di facebook, twiiter, instagram dll. Kita jarang baca buku, Koran,
majalah, apalagi Al-Qur’an.
Contoh
lain, ketika pulang ke daerah asal. Saya mulai merasa gelisah, karena sudah
beberapa hari tak baca Koran. Kebiasaan saya waktu di Pontianak memang setiap
pag baca Koran. Nah karena itu ketika berada di kampung saya coba cari Koran di
kota kecamatan. Ternyata.. tidak ketemu. Saya cari ke kota kabupaten,
Alhamdulillah nemu tapi masih Koran lokal, sedangkan yang cari adalah Koran
nasional. Hemmm begitulah kira-kira di daerah Koran saja rada sulit di cari apa
lagi buku yang harganya lebih mahal.
Saya
juga ingin mengkritisi, selama ini kita tahu perpustakaan itu basisnya sampai
di kota/kabupaten. Sedangkan dikampung-kampung perpustakaan rada jarang.
Barngkali di desa atau kecamatan ada perpustakaan. Masalahnya kurang
sosialisasi sehingga minat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan juga
rendah.Ada juga kasus, DPR ingin bangun gedung perpustakaan. Alhamdulillah
Dewan kita sudah mulai melek. Tapi anehnya ada saja anggota dewan yang menolak.
Bagi
saya, kalau satu instansi tidak memiliki perpustakaan di kantornya. Maka dapat
dipastikan bahwa instansi itu tak berkualitas.
Seperti kata Arif Syaifurrisal dalam tulisannya yang berjudul Mengejar
100 tahun ketertinggalan ia mengutip tulisan Budiman Sudjatmiko di novel
autobiografinya yang berjudul Anak-anak Revolusi, “menyampaikan bahwa dengan
membaca satu buku kita akan diantarkan kepada buku-buku yang lain. Dengan
perkenalan kita pada pemikiran tokoh, akan menghantar kita pada perkenalan
dengan tokokh-tokoh yang dikutipnya dalam buku tersebut. seperti Gerpolek Tan
Malaka yang mengantarkan saya pada pokok-pokok perang gerilya nya A.H Nasution,
kemudian mengantarkan saya pada seni berperangnya maha guru Tsun Zu”.
Begitulah
mereka yang tak miskin literasi, mampu melintasi segala zaman. Hatta zaman itu
beberapa ribu atau bahkan ratusan ribu tahun mendatang. Bahkan kita sampai
mengetahui gambaran syurga Allah swt. Karena kita membaca Al-Qur’an, tafsirnya,
Hadist Nabi, dan pendapat-pendapat para ulama dulu dan sekarang.
Miskin Disiplin
Adakah diantara kita yang di undang
oleh satu instansi dengan jadwal yang sudah terinci didalam undangan tersebut
dari mulai acara sampai berakhirnya acara sudah tertera. Ketika kita datang
tepat pada waktunya, ternyata acara tidak berlangsung sesuai dengan jadwal.
Mulai acara di undur, karena pejabat yang akan membuka acara belum hadir. Saya
seringkali mendapat moment seperti itu. Jadwalnya mengatakan mulai pukul 08.00,
kenyataannya acara dimulai lewat pukul 09.00.
Pernahkah kita naik pesawat terbang.
Saat boarding pass kita melihat ulang
tiket yang sudah dibeli. Kita cek jadwal keberangkatan pagi pukul 09.00, tapi
tiba-tiba saja diumumkan bahwa pesawat delay.
Sehingga kita kemudia menunggu lebih lama lagi. Rasanya tentu menyebalkan.
Karena kita merasa bahwa waktu kita terbuang sia-sia hanya untuk menunggu.
Naha, saya kira bangsa kita juga
masih mengalami kemiskinan disiplin. Disiplin waktu, disiplin masuk kerja,
disiplin mengerjakan tugas, disiplin menerima gaji tidak lebih tidak kurang,
tidak mau disogok dan menerima sogok. Kita miskin dalam hal disiplin. Sebab
kita membiarkan hal itu sebagai satu kewajaran. Kita menganggapnya sudah biasa.
Padahal itu bukanlah yang biasa. Tapi satu tanda kebodohan. Menurut Muchtar
Lubis bangsa ini memiliki jiwa hipokrit serta enggan dan segan bertanggung
jawab atas perbuatan sendiri.
Miskin Komitmen
Salah satu calon kepala daerah dalam
kampanye_nya berjanji untuk tidak akan menanggalkan amanat sampai masa baktinya
selesai jika ia terpilih nanti. Ia berkomitmen membangun daerah, mengentaskan
kemiskinan, mensejahterakan rakyat, mengatasi kemacetan dan lain sebagainya.
Tiba-tiba setelah 2 tahun berjalan masa amanahnya, ia mengundurkan diri dengan
alasan mengikuti pemilu lagi.
Alamakkkk...!!! dimana kau taruh
komitmen yang kau ucapkan itu. Bukankah ciri orang munafik itu jika ia berjanji
ia ingkari, jika ia berkata ia dusta, dan jika ia dipercaya ia ingkari.
Wallohu’lam. Biar Allah yang menilai semua itu.
Ada Gubernur dan DPRD bikin Perda
tata ruang dan wilayah, Perda itu mengatur dimana daerah pemukiman, daerah
industry, daerah perdagangan, dan derah pariwisata. Setelah perda disahkan,
datanglah investor asing mau tanamkan modal untuk membuat pabrik industry.
Investor ini memilih satu lokasi yang menjadi tempat industry akan dibangun.
Setelah di cek berdasarkan perda tata ruang dan wilayah ternyata daerah
tersebut adalah daerah pariwisata. Walaupun lokasinya di daerah pariwisata,
sang gubernur tetap memberikan izin pendirian pabrik industri.
Saya ingin katakan. Seringkali kita
tidak komit atas janji yang kita buat. Dan seringkali menganggapnya remeh.
Sebanarnya kalau sudah ada komitmen, maka komitmen itu harus dijalankan dan
laksanakan. Era sekarang berbeda, begitu banyak pemimpin kita yang berkomitmen
ini dan itu, tapi tidak komit dengan apa yang telah di utarakannya.
Kita sebagai bangsa sebenarnya kaya
raya, tidak ada yang miskin kecuali yang merasa miskin, terbiasa miskin, dan
tidak mau merubah diri untuk tidak miskin lagi. sepanajang kita memiliki semangat untuk perubahan, sepanjang kita
memiliki niat memperbaiki diri. Sepanjang kita tetap berjuang mengentaskan
kemiskinan dalam diri kita. Sesulit apapun kehidupan ini, akan terasa mudah
jika setiap beban dipikul bersama-sama. Setiap hasrat cita-cita besar
dilaksanakan dengan patuh dan sungguh-sungguh.
Mengutip tulisan Bayu Gawtama dalam
bukunya yang berjudul “oase hati penyegar iman”, bahwa kekeyaan sesungguhnya
bukan pada apa yang dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan seberapa banyak
yang bisa dirasakan oleh saudara dan lingkungan sekitarnya. Kekayaan sebenarnya
bukan pada apa yang ada di genggaman, melainkan tertanam dalam hati yang
semakin terhibur setiap kali membantu sesama.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih