HAKIKAT GURU, PERSFEKTIF YURIDIS
SENANDUNG KISAH
Tak banyak yang saya fahami tentang
pendidikan, setelah hampir 4 bulan berada di asrama menjalani masa pembinaan di
Sekolah Guru Indinesia (SGI). Yang saya fahami hanya beberapa saja. Ya..
sekedar menjadi tahu dari yang tadinya tidak tahu. Konsep guru 3P misalnya,
saat ditanya tentang ini sama penguji di moment ujian komprehensif, tentu saya
bisa jawab guru 3P berarti guru Pemimpin, guru pendidik, guru pengajar. Tapi ketika
ditanya apa makna lebih dalamnya.., maka saya katakan kepada penguji ini rada
sulit saya jawab, karena saya tidak terlalu mendalaminya.
Selain konsep guru 3P, saya juga
ditanya tentang undang-undang pendidikan. Beruntung waktu dikampus saya pernah
diskusi tentang UU ini dengan teman-taman yang berasal dari kampus IKIP. Saya memberikan
jawaban yang tepat, dengan mengatakan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Namun ketika ditanya lebih detail tentang apa isi dari UU
itu, maka terus terang saya jawab.. saya belum bisa karena belum membacanya
terlalu dalam. Dulu saya berdiskusi hanya untuk menambah wawasan terkait dengan
pendidkan, tapi tak begitu mendalam memahami UU ini.
Barangkali banyak
kelemahan-kelemahan yang saya sendiri tidak tahu, tapi orang lain tahu, bahwa
memang saya belum terlalu bisa memahami nomen klatur tentang pendidikan. Munkgin
saya bisa berbicara tentang kurikulum, silabus, RPP, tapi ketika diminta untuk
mengungkapkan apa pengertiannya, tentu rada sulit untuk saya bisa menjawabnya. Sekali
lagi bukan karena tidak bisa, namun masih belum bisa secara detail memahami. Jadi
saya direkomendasikan perlu lebih banyak lagi berdiskusi dan belajar tentang
pendidikan.
Bagi saya.., ini adalah masukan yang
luar biasa. Saat-saat dimana konsentrasi saya masih tertuju pada urusan
kebijakan publik, maka saya memang tak terlalu giat dalam mencari artikel-artikel
tentang pendidikan untuk saya baca dan diskusikan. Disamping juga memang kultul
saat berada disini, tak banyak dari rekan-rekan yang juga mencoba untuk
memahami lebih dalam.
Jelas…ini adalah kelemahan. Maka dari kelemahan tersebut, kini saya mencoba
untuk mengalihkan arah kompas bacaan saya. Jika selama ini saya lebih suka membaca
buku tentang urusan politik, hukum, dan kebijakan publik, maka kini saya
berinisitif untuk lebih banyak membaca tentang pendidikan, dan dikaji dari sisi
hukumnya. Supaya tetap ada kombinasi antara ranah ilmu saya yang dulu ketika di
FH, dan yang kini ketika berada di SGI.
KAJIAN TERHADAP UU GURU DAN DOSEN
Ide awal ini kemudian saya
aplikasikan dengan mengkaji UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hampir
3 hari saya kaji UU tersebut, secara
detail dan menyeluruh. Dari pasal-perpasal, hingga kata-kata yang terdapat
didalamnya. Akhirnya.. saya menemukan dua sisi yang menurut saya sebagai suatu kelamahan aturan terhadap profesi guru. Beberapa
kelemahan yang saya maksud adalah:
1.
Bahwa memang guru itu bukan
ilmuwan, jadi wajar selama ini jika guru tidak banyak yang melakukan kegiatan
penelitian. Khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Guru tidak banyak yang
menulis artikel-artikel ilmiah, tidak banyak yang melakukan kegitan penelitian
yang lainnya, yang bersifat mengembangkan pendidikan. Karena secara Yuridis,
dalam UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen makna sebagai guru itu dipersempit.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Guru adalah pendidik profesional dengan
tujuan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Jika
dilihat dari sisi pengertian sebagai guru tak ada satupun yang kata yang ditemukan
bahwa guru adalah ilmuwan. Beda dengan pengertian dosen yang telah juga
disebutkan dalam UU yang sama pasal 1 angka 2. Disana jelas dikatakan bahwa
dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuwa.
Jadi menurut tafsiran saya mengapa guru jarang melakukan kegiatan PTK atau juga
jarang menulis. Karena negara tidak mewajibkannya,
otomatis negara juga tidak memfasilitasinya (walaupun dalam beberapa hal yang terkait dengan pengembangan karir guru, negara tetap memberikan hak). Jadi jangan pernah melakukan justifikasi terhadap guru yang tak bisa membuat PTK. Wajarlah
kalau kemudian saya katakan kualitas guru Indonesia dari tahun ketahun tidak
pernah berubah. Karena pengembangan pada ranah keilmuannya tak begitu maksimal.
2.
Kemudian yang kedua terkait dengan
pasal 8 UUGD. Yang menyatakan “guru
wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memilki kemampuan untuk mewujdukan
tujuan pendidiakn nasional ”. jika dicermati lebih lanjut pasal ini
memang menekankan standariasi seorang guru. Maka dalam pasal berikutnya pasti
mengatur terkait dengan:
a.
Bagaimana kualifikasi guru…?
b.
Apa kompetensi guru yang mesti
dimiliki..?
c.
Bagaiman wujud pemberian sertifikat
pendidikan kepada guru..?
d.
Bagaimana maksud sehat jasmani dan
rohani..?
e.
Apa indikator sehat jasamani dan
rohani seorang guru..?
f.
Bagaimana seorang guru mampu
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasioanal..?
Dalam akhir pengamatan
saya, maka stidaknya saya menemukan bahwa adanya ketidak jelasan dari apa maksud, apa indikator, dan bagaimana seharusnya
sehat jasmani dan rohani seorang guru untuk kemudian dia dikatan sebagai guru profesional. walaupun penjelesan pasal 8 mengatakan " yang dimksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memunkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak dtujukan kepada penyandang cacat." Dalam pandangan saya kata-kata memungkinkan pada kalimat penjelasan tersebut mengindikasikan tidak adanya indikator tetap tentang apa itu sehat jasmani dan apa itu sehat rohani
Jika kita sandingkan
dengan pengertian kualfikasi akademik seorang guru, maka UU menjelaskannya
dalam pasal 9. Jika kita sandingkan dengan pengertian kompetensi seroang guru,
maka UU menjelaskannya dalam pasal 10 ayat (1) dan (2). Jika kita sandingkan
dengan pengertian sertifikasi pendidik maka UU mengaturnya dalam pasal 11, 12,
dan 13.
Oleh Karena itu saya
berpendapat, bahwa secara normative negara masih ragu dalam menerapkan standar
ideal seorang guru. Berkaitan dengan dia sehat jasmai dan sehat secara rohani. Karena negara tidak memililki indikator sehat jasmani dan sehat rohaninya seorang
guru.
mka dalam hal ini, jika kita masih bertanya kenapa kualitas guru Indonesia
masih rendah? Maka jawabannya tak lain adalah karena Negara belum
sungguh-sungguh atau masih ragu mengembangkan dan meningkatkan kualitas guru. Tentu
jika kualitas guru tidak dikembangkan, maka implikasinya adalah kualitas
pendidikan Indonesia belum bisa mengejar kualitas pendidikan di negara lain. Seberapa banyakpun revisi terhadap
kurikulum, jika kualitas guru tetap sama, maka kurikulum yang baik, tidak mampu
di implementasikan oleh guru.
SARAN
Maka
dari itu saran yang dapat saya kemukakan adalah, bahwa pemerintah harus melakukan revisi
terhadap UUGD khusunya menambahkan hakikat guru, yaitu guru juga merupakan ilmuwan, dan menambahkan aturan standarisasi terkait dengan kemampuan sehat
jasmani dan rohani guru.
Sebagai
penutup, tentu kajian ini masih terlalu sempit untuk menyimpulkan, namun
sebagai insan yang masih belajar. Maka tak ada salahnya jika kritik dan saran
bisa dikemukakan kepada saya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih