Dilema Pertanian Masyarakat Lombok

Seperti kebanyakan penduduk Indonesia pada umumnya yang berprofesi sebagai petani, penduduk di pulau Lombok juga memiliki profesi mayoritas yang sama. Di musim-musim tertentu bertani dengan menanam berbagai varian tanaman. Jika musim hujan kebanyakan menanam padi dan palawija, maka di saat musim panas petani disini mayoritas menanam tembakau. Banyak orang yang bilang bahwa Lombok merupakan penghasil tembakau Virginia paling bagus di Indonesia mengalahkan Boyolali di Jawa tengah dan Lampung. 

Bertani selain sebagai satu profesi yang sudah turun temurun dilakukan, juga sebagai ladang mencari nafkah utama. Kebanyakan petani akan menyetorkan dana haji jika berhasil untung bercocok tanam. Namun sebaliknya jika rugi maka pilihannya jadi TKI di Malaysia. Sebab hutang akan menumpuk dan tak sanggup untuk di lunasi dalam tempo setahun dua tahun. Oleh karena itu selain penduduk disini adalah petani, sebagian juga bekerja sebagai TKI di luar negeri. Hampir semua warga Lombok pernah jadi TKI, keluarga saya tak luput juga dari bekerja sebagai TKI, mulai dari ayah saya hingga paman yang paling kecil pernah mencicipi manisnya menjadi TKI di Malaysia. Sebenarnya hasil yang di dapatkan sama saja dengan bekerja disini. Namun kelebihannya jika bekerja sebagai TKI adalah fokus mencari nafkah untuk membayar hutang hutang atau menabung demi membangun rumah, sebagian ada juga untuk pendidikan anak anak mereka.

Bertani bagi sebagian petani Lombok tidak memerlukan sekolah yang tinggi. Mayoritas memang petani tradisional. Para petani zaman dulu bahkan memiliki profesi gandengan sebagai peternak kambing atau sapi. Namun profesi sebagai peternak kini sudah jarang di lakukan oleh para petani. Termasuk di kampung saya juga sudah hampir tidak ada warganya yang menjadi peternak. Berbeda sekali dengan dua puluh tahun yang lalu. Kita bisa melihat ternak kambing atau sapi di tiap rumah warga. 

Profesi gandengan para petani saat ini adalah berdagang. Sebagian hasil tani berupa sayur-sayuran biasanya langsung di jual ke pasar tradisional seperti pasar Masbagik, Paokmotong dan lain-lainnya. Dari pasar ini nanti pengepul mengirimnya ke pasar Cakranegara di Kota Mataram sebagai pasar induk. 

Sedangkan untuk tembakau, para petani biasanya mengolah sendiri. Daun daun tembakau di cacah secara mandiri oleh petani atau kalau tidak di sewakan buruh. Hasil olahan tembakau berupa lempengan lempengan tembakau siap dijadikan lintingan rokok di jual ke para pedagang tembakau kecil seperti yang dilakukan adik saya. Atau untuk tembakau Virginia biasanya di Oven terlebih dahulu untuk dikeringkan daunnya. Setelah itu para petani akan melakukan packing dalam bentuk tembakau yang jadi tumpukan persegi. Tembakau inilah yang di jual ke "Gudang", yaitu pengusaha tembakau (rokok) nasional yang memiliki gudang penampungan disini. Seperti perusahaan Philips Morris, Gudang Garam, Bentoel, Dji Sam Soe,dan lain sebagainya. 

Bulan bulan ini nampaknya harga tembakau sedang tinggi. Bisa mencapai dua juta rupiah per bal. Satu hal berisi sekitar 14 lintingan tembakau. Harga ini terlampau mahal untuk tembakau kasturi yang biasanya di tawar dengan bandrol 800 ribu rupiah. Efek dari mahalnya harga tembakau, maka para pedagang kesulitan dalam memasarkan barangnya. Daya beli masyarakat kita memang masih rendah. Namun tidak hanya di tembakau saja yang mengalami kelesuan penjualan, untuk komiditas lain seperti beras, dan jagung juga mengalami hal yang sama. 

Ada kepercayaan dalam masyarakat, kalau sudah Bulan Suwung (Muharam), maka bulan bulan ini hingga tiga bulan yang akan datang dikenal dengan bulan perekonomian lesu. Seperti lesunya hujan yang tak pernah turun, air sungai yang mengering, dan pangsa pasar yang lemah.  Mendekati bulan maulid nanti baru biasanya akan ramai kembali saat para petani sudah panen hasil tanamannya. Semoga saja para petani kita makin sejahtera Aamiin.

Semaya, Sikur, 8 September 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia