Kita Yang Selalu Meminta Lebih
Kita Yang Selalu Meminta Lebih
Gejolak hidup memang tidak akan pernah usai pada dirikita. Tiap diri diciptakan untuk menghadapi tantangan demi tantangan hidup yang tuhan sediakan untuk membuat kita senantiasa kembali lebih dekat pada diriNya, sebab Ia tahu bahwa manusia itu gampang lalai dan sangat lemah.
Seorang sahabat saya terpaksa di cap tak punya akhlak karena urusan rumah tangganya. Selisih paham di internal keluarganya telah menjadi konsumsi public yang negative di mata masyarakat kampong dan lembaga tempatnya mencari nafkah.
Ada juga seorang kawan yang terpaksa bolak balik ke polisi untuk menjernihkan kasus atasannya yang diduga menyelewangkan dana perusahaan. Ia tersangkut pau karena merupakan direksi di perusahaan itu. Masalah tidak selesai sampai disana, kenyataan yang lain ia sedang dihadapkan pada urusan politik yang lebih kompleks.
Di kampung tetangga seorang kiyai kehilangan legitimasi public (distrust) terhadap dirinya dari para kolega di pemerintahan juga di perusahaan yang ia gawangi sebab sejumlah elemen kotor dalam bisnis seringkali ia lakukan. Untung saja di pesantren yang ia dirikan para santri masih menghormati dirinya. Tidak hanya krisis keuangan nampaknya membuat sejumlah assetnya terpaksa harus dilelang.
Seorang guru menceritakan prihal rumah tangganya yang tak pernah tentram selama belasan tahun bersama hingga punya anak tiga. Ia tak pernah merasa nyaman dengan suaminya sendiri, untunglah kesabaran membawanya pada waktu panjang dalam berumah tangga. Sehingga memutus mata rantai kasus perceraian yang telah menjadi lumrah bagi masyarakat Lombok.
Lalu kita bertanya…? Bagaimana semestinya kita menghadapi hidup. Bukankah agama sebagai norma telah hadir menjadi nasehat seperti kata baginda Nabi SAW “Addinunnasihah (agama itu adalah nasehat”. Rata-rata yang herkasus seperti diatas adalah orang-orang yang memiliki agama, namun hidupnya tak lepas dari kasus kasus yang seharusnya tak terjadi pada dirinya apalagi seorang kiyai.
Mungkin saja dengan kasus yang ditimpakan Allah kepada hambaNya, Allah bermaksud menyuruh sang hamba untuk lebih dekat kepadaNya, lebih taat dalam beribadah, dan lebih jujur dalam habluminannas, nampaknya stigma dari malaikan yang di catat Qur’an tentang “manusia itu selalu menumpahkan darah” adalah kiyasan yang ditujukan kepada manusia bahwa manusia sesungguh tidak akan pernah lepas dari konfilk, baik konflik pada diri sendiri maupun konflik social dianatara keluarga atau masyarakat.
Mari kita resapi kembali nasehat dalam Qur’an surat al Asr “Demi masa…, Sungguh Manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh(kebaikan) serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (QS 103, 1-3)”. Tegas dalam surat ini untuk menjadi orang yang beruntung kita mesti menjadi orang beriman lebih dulu, bukan semata-mata mengerjakan kebaikan ataupun menasehati.
Banyak diantara kita suka mengerjakan kebaikan, tapi lupa dengan iman. Kadang amal kebaikan yang dikerjakan tidak mendapatkan berkah karena bukan disebabkan iman kepadaNya melainkan sesuatu selainnya, seperti mengharapkan harta, berharap jabatan, berharap mendapatkan istri tambahan, atau berharap sesuatu yang sifatnya nafsi-nafsi.
Kesesatan atau kerugian manusia memang karena uniman (ketidakpercayaan) yang seutuhnya pada ketentuan Tuhan. Ia lebih percaya pada keyakinan dirinya sendiri, akibatnya ketika tidak mendapatkan apa yang ia harapkan, maka ia menjadi kecewa pada dirnya juga kepada Tuhannya, inilah yang dinamakan kita yang selalu meminta lebih.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih