Bola Kasti dan Bung Karno

Nampaknya melihat anak-anak main bola
kasti lebih seru daripada membaca buku. Atau membuka aplikasi permainan bola di gadget lebih menantang daripada membaca koran. Biasanya lagi saya suka baca buku atau koran. Tadi saya sudah ambil buku Dibawah Bendera Revolusi nya Bung Karno yang jilid 1 itu. Tapi mood saya nampaknya sedang tidak bagus untuk baca buku. Rasanya pengen tiduran dan merilexkan badan. Serasa badan agak lelah, mungkin efek tadi malam tidur nyenyak tapi tak nyaman. Sebab bangun pagi kerasa badan kurang fit.

Bisa jadi karena gak pakai selimut waktu tidur. Atau juga karena baju batik tipis yang saya kenakan untuk tidur, jadi membuat tubuh serasa masuk angin. Padahal malamnya saya sudah buat agenda pagi bakal bersih-bersih mumpung hari Sabtu dilanjutkan dengan mandi pagi dan jalan jalan keliling kampung. Tapi begitulah tubuh kalau kurang fit terasa malam mau kemanapun. PR saya masih banyak jadi pikiran tersendiri. Kali ini saya gak mau ambil pusing. Biar saja, sebab akan berlalu dengan sendiri. Nampaknya hidup belum bisa diatur sepenuhnya oleh kita sendiri. Ada saja penghalang untuk mencapai tujuan. Tapi itulah tantangannya. Bagi kita yang memiliki ikatan dengan ilmu pengetahuan tentu menulis adalah satu keharusan namun begitu kita hidup dilingkungan yang Nil literasi maka kita harus berjuang ekstra keras untuk melakukannya.

Kadang saya heran bagaimana bisa seorang Bungkarno punya catatan harian sebegitu tebal saat di buat jadi buku. Ada dua jilid cetakannya. Kumpulan tulisan dan pemikiran selama hidup dari zaman pra merdeka sampai pasca merdeka. Saat di buang ke Ende sampai ke Istana Negara. Semua tulisannya termuat dalam buku itu. Begitu enak dan renyah di baca. Seketika membuat kita membayangkan suasana lingkungan saat ia mencurahkan isi hati dan pikirannya itu dalam tulisan.

Tulisannya bernilai khas. Penuh dengan makna perjuangan dan cita cita idealisme diri tentang bangsa, dan rakyat Indonesia. Sudah senang sudah ia lewati sebagai seorang Indonesia dari zaman belajar hingga zaman jadi presiden. Intrik politik purnarupa juga sudah ia alami berkali-kali. Kritik kritik tajam sering pula ia terima. Bahkan sering pula mengkritik. Itulah Bung Karno. Kita mengenalnya karena kekayaan pikiran dalam berbagai tulisan dan tentu saja karena jasa besarnya atas bangsa Indonesia. Proklamator kemerdekaan bangsa.

Pernah ia menulis tentang feodalisme dan meningkatkan yang menyengsarakan rakyat disebutnya sebagai kaum marhaen Indonesia. Nampaknya Bung Karno tidak suka dengan pengkastaan. Ia menganggap itu sebagai penghalang kemajuan. Saya sepakat..!!! Periode ini seharusnya sudah berlalu..., Tak perlu basa basi, tak perlu ada senioritas, dan tak perlu ada yang dikultuskan. Sayangnya bangsa kita masih terlalu kental dengan budaya religio magis yang percaya pada kualat dan tidak kualat. Kurang menggunakan akal dan demokratis me dalam kehidupan. Memandang semua dengan kedudukan serta strata ekonomi. Jika bukan berdarah dari kalangan tertentu masih dianggap kurang pantas. Atau jika tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi tertentu masih di marjinalkan oleh sebagian orang.

Anak anak disini tak luput dari ciri khas itu. Satu orang santri bernama Handoyo seringkali di bully teman temannya bahkan mungkin kebanyakan orang di lingkungannya, karena latar belakang orang tuanya, juga status ekonomi keluarganya yang kurang mapan. Dan tentu tingkat kecerdasannya yang masih dibawah rata-rata. Ia jadi korban dari kebiasaan hidup kita dilingkungan seperti ini memandang rendah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, padahal ia makhluk diciptakan sebaik baik rupa. Lalu kita sebagai manusia dengan latah merendahkannya. Itu pula PR saya disini. Saya menegur anak anak seperti itu agar tidak merendahkan dan membukukan temannya itu. Bukan karena kasian kepada dia, tapi itu sebagai bentuk penjumungan HAM dan pengajaran rasa saling menghormati mati pada orang lain. Jangan sampai kita hormat pada orang orang yang memiliki jabatan dan kedudukan tinggi secara ekonomi saja. Jangan sampai kita hanya menghormat ustadz guru kiayai Sheikh dll, tapi kita lupa menghormati dia yang lemah. Kita lupa menghargai Kuasa Allah yang menciptakannya.

Kompleksitas masyarakat memang betul-betul terasa disini. Tidak ada yang mendominasi status sebagai orang yang betul betul kaya secara ekonomi tidak juga secara agama. Rata-rata hampir sama dari sisi ekonomi, juga dari sisi agama. Bahkan ada yang jauh berada di bawah garis kemiskinan. Jika ukurannya adalah pengeluaran minimal dua dolar sehari. Atau ukurannya adalah bentuk bentuk rumah. Maka hampir semua masyarakat masuk kategori orang yang berhak menerima zakat. 

Kesadaran akan literasi jauh masih kurang. Kita loncat kepada zaman teknologi informasi dimana setiap anak kini dibelikan gadget oleh orang tua mereka. Dan kebanyakan memainkan game game aplikasi. Tapi yang paling kita khawatir kan adalah akses internet. Apajadinya jika mereka sudah mengakses konten konten yang negatif. Maka sedari awal saya sudah katakan lebih enak melihat anak anak ini main bola kasti. Sebab Psikomotoriknya ikut pula terbentuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

TEORI IJTIHAD IMAM SYAFI’I

Jalan Kerja