Urgensi Kurikulum Pendidikan Keluarga Bagi Masyarakat Desa


Masyarakat Desa, dengan tingkat pendidikan rata-rata di jenjang SD-SMP dan pendapatan ekonomi yang lemah mempengaruhi tingkat harapan masa depan pada anak-anak mereka. Bisakah kita mengatakan andai kata orang tua mereka memiliki tingat pendidikan cukup tinggi dan pendapatan ekonomi tinggi, maka anak-anak merekapun akan mendapatkan harapan pendidikan masa depan yang tinggi.

Sebagaimana lazimnya teori kemasyarakatan, dimana tingkah laku individu dipengaruhi oleh tingkah laku kolektif masyarakat. Semakin tinggi tingkat rata-rata pendidikan individu dalam suatu masyarakat, maka anak-anak merekapun akan memiliki harapan pendidikan tinggi yang lebih baik. Kemampuan kolektif melahirkan harapan kolektif pendidikan anak yang lebih baik itu menjadi tidak ada karena nirperan dari elemen orang tua, masyarakat dan utamanya adalah pemerintah dari pusat sampai desa. 

Tanggung jawab yang seharusnya sudah mulai dibangun oleh pemerintah. Sebab percuma saja menganggarkan dana pendidikan begitu besar dalam APBN tetapi pada tataran grass root  masyarakat tidak memiliki gambaran masa depan terhadap pendidikan anak-anak mereka. Dmeikianpun bagi anak-anak yang sekolah, namun mereka tidak mengetahui dan memahami kenapa mereka harus bersekolah lalu bagaimana mereka harus  meraih pendidikan yang lebih baik. 

Dampak dari semua ini adalah hilangnya generasi emas masa depan bangsa. Apakah kita sebagai orang tua sudah boleh atau tidak menanyakan kepada anak kita yang berusia 2-7 tahun tentang impian dan harapan dalam dirimereka saat usia nanti ia berusia 20 tahunan, menyangkut mereka akan jadi apa, berada dimana, punya uang berapa, dan peran apa bagi bangsa dan masyarakat.?

Karena kita jarang menanyakan hal ini kepadan anak-anak kita, maka kasus yang terjadi adalah mereka hanya menjalani rutinitas pendidikan di sekolah sebagaimana kebanyakan. Tidak ada mindset yang berubah, hingga kita sadari bahwa kebanyakan dari anak-anak kita saat mereka lulus SMA tidak memiliki peran apapun, atau sibuk mencari pekerjaan, atau bimbang antara kuliah atau menikah. 

Sebab wawasan masa kecil mereka tidak dibangun untuk memiliki peran yang lebih besar ketika dewasa. Hingga sekolah hanya sekedar pengguran kewajiban dari anak untuk orang tua, demikian juga dari orang tua merasa gugur kewajibannya kalau sudah menyekolahkan anak mereka. Negara juga begitu merasa gugur kewajibannya kalau sudah berhasil menyelenggarakan wajib pendidikan 9 tahun. 

Padahal bukan itu tujuan dari adanya negara ini. Adanya negara ini salah satu tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi bagaimana kehidupan bangsa akan cerdas, kalau kita menghadapi generasi tanpa arah, tanpa impian, dan tanpa harapan yang jelas tentang masa depan mereka sendiri.  Maka tidak heran, karena terbatasnya wawasan pendidikan orang tua mengakibatkan efek negatif pada anak. 

Setiap anak pulang sekolah, jarang sekali kita mendengar bahwa ada orang tua yang menanyakan “bagaimana sekolah mereka hari ini, ada PR atau tidak, dan tentu saja apa yang kamu dapatkan dari sekolah hari ini..?”. sebab orang tua juga sibuk dengan urusan mereka, lebih banyak mereka mengurus urusan sepele sehari hari yang tidak penting, seperti ngobrol tidak jelas sama tetangga, atau bekerja seharian penuh sehingga tidak pernah bisa melihat bagaimana kondisi anak mereka ketika pulang sekolah.

Di satu sisi memang kita berharap orang tua juga tidak mengekang inisiatif pada anak mereka. Kita membutuhkan orang tua yang selalu peduli pada keseharian pendidikan anak mereka. Sehigga dari sikap peduli pada anak ini, akan melahirkan anak-anak yang memiliki harapan tinggi pada pendidikan.  Tentu saja kita juga tidak menafikkan bahwa banyak orang tua yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi, kekurangan ekonomi, dan memiliki keterbatasan kecerdasan, tetapi anak-anak mereka bisa mempunyai pendidikan tinggi. 

Baranngkali satu diantara sekian kasus. Tetapi yang kita sadari adalah kesadaran anak untuk memiliki pendidikan tinggi biasanya juga karena faktor pergaulan mereka. Jika anak petani kurang mampu bergaul dengan anak-anak dari kalanagan terdidik dan memiliki harapan pendidikan tinggi, otomatis hal tersebut akan mendorong anak tersebut untuk memiliki pendidikan tinggi pula.

Kita tidak ingin masuk dalam perdebatan apakah pendidikan formal itu membawa kesuksesan secara materi atau tidak, apakah ia mampu memberikan pekerjaan lebih baik bagi anak atau tidak. Namun bagi kita pendidikan formal dan pendidikan tinggi itu penting untuk membuat anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa saat ini jauh lebih cerdas dari orang tua yang tidak memiliki pendidikan apapun, hingga kelak bangsa ini tidak kekurangan ahli dalam bidang apapun. Maka sudah seyogyanya mulai saat ini, pemerintah tidak hanya peduli pada kesehatan anak dan keluarga melalui BKKBN, tetapi juga mulai peduli dengan pendidikan anak dan keluarga, dengan cara membentuk satu badan tersendiri disertai panduan berupa kurikulum pendidikan keluarga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia