Filosopi Juang Bung Karno
Rukem 30
Dua hari lagi sudah hari Selasa tanggal 1
januari 2019. Begitu banyak hari hari telah saya lewati dalam hidup ini. Termasuk berbagai petualangan saya kemacam-macam daerah Indonesia. Tidak terhidung sudah berapa kampung, desa, dan kecamatan sudah saya langkahi. Dari pulau Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, hingga Kalimantan. Yang belum tentu saja ke Sulawesi, Papua, dan Sumatera. Tapi menjelang awal tahun baru ini saya berfikir untuk segera pulang kampung saja. Rasanya sudah lama tidak menemani kedua orang tua dalam hari hari mereka. Dalam usia yang sudah menjelang renta, tentu saja mereka membutuhkan kehangatan kami sebagai anak.
Ada adik saya disana, juga ada menantunya, tetapi tidak lengkap rasanya kalau masih ada anaknya yang tak bisa dilihat, di dengar suaranya, dan di rasakan tingkah lakunya. Saya sendiri sudah mulai mengendorkan berbagai cita-cita seputar keliling dunia. Perlu istirahat sejenak dari rantauan. Saya bukan seperti orang Jawa yang pergi merantau ke Jakarta atau ke daerah lain, lalu mampu bertahan untuk waktu waktu yang lama di daerah rantauan. Saya adalah diri saya sendiri yang memiliki cita-cita terus berada dekat keluarga, meski untuk waktu-waktu tertentu. Saya memprediksi bahwa jodoh saya akan hadir ketika saya balik ke Lombok, berkarir disana, dana suatu saat nanti melanjutkan study S3 saya di luar negeri.
Bisa jadi kelak saya juga bekerja di luar negeri atau setidak-tidaknya di pusat ibu kota negara. Memang membangun mimpi itu tidak gampang, ada proses yangmesti dilalui secara sadar dan tidak sadar. Namun yang terpenting bagi kita adalah memfokuskan kemampuan diri pada sesuatu yang betul betul membuat kita merasa nyaman dan senang dengan apa yang kita kerjakan itu. Karena itu ada nasehat bijak “janganlah mencari kesuksesan, tapi carilah kesempurnaan, dengan begitu kesuksesan akan hadir pula”. Tentu yang di cari untuk disempurnakan adalah sesuatu yang menyenangkan, tidak mungkin mencari kesempurnaan pada sesuatu yang tidak menjadi tugas menyenangkan bagi kita.
Itu pula yang menjadi pilosofi hidup saya, terlepas dari bagaimana pandangan orang lain. Bahwa apa yang sering saya lakukan dan kerjakan bersesuaian dengan keinginan hati saya. Baik itu dalam bidang pendidikan, ekonomi, ataupun sosial keagamaan. Meski demikian perlu sentuhan lebih lanjut tentang diri dan soft skill yang mesti saya kembangkan. Tidak mudah mengembangkan kemampuan yang baru, tapi harus menemukan kemampuan itu. Kemampuan mendidik adalah salah satu soft skill dalam diri saya, juga kemampuan dalam bidang sosial keagamaan, manajemen organisasi, dan training motivasi. Tidak lepas dari itu semua tentu saja berkaitan langsung dengan public speaking sebagai pembicara, moderator, penceramah, atau apapun namanya.
Semua itu adalah bagian dari hidup yang saya miliki. Hanya saat ini belum menemukan momentum dan panggung yang tepat. Pencapaian demi pencapaian yang tidak mudah ini selalu akan menuntut kita sebagai laki-laki untuk menjadi lebih baru, lebih memiliki inovasi tentang arah dan keinginan hidup, serta barangkali yang lebih utama adalah kemampuan untuk menulis banyak pendapat, opini, pandangan, motivasi, serta praktik kehidupan sehari hari.
Selain itu juga, saya bergaul dengan berbagai latar belakang kalangan. Dari mulai pemulung, buruh tani, tukang bangunan, dosen, pengusaha, birokrat, bupati, gubernur, anggota Dewan, dari hampir seluruh Indonesia. Hanya yang belum adalah pergaulan internasional. Lebih dari itu, pada titik seperti ini saya memiliki visi yang terus tumbuh untuk menjadi lebih bermanfaat. Visi pergaulan di wilayah ASEAN. Seabgai titik awal tahun 2017 lalu saya sudah memulainya dengan sebuah paspor sebagai pintu memasuki negara lain.
Barangkali visi ini akan segera terbangun setelah tahun tahun tugas akhir saya di kampung Rukem. Saya sudah berencana balik 2019 dan mengakhiri masa tugas saya disini. Saya selalu membayangkan bagaimana terasingnya Moh. Hatta ketika di buang ke Bouvendigoul dan ke Banda Neira. Atau betapa asingnya Bung karno saat di buang ke Ende (NTT) dan ke Bengkulu. Selain itu Bung Karno juga pernah di Penjara (Sukamisikin), sementara Moh. Hatta hidup terasing di Belanda.
Tentu hal yang paling mengagumkan dari mereka berdua sebagai panutan saya adalah keinginan untuk selalu menjadi orang bermanfaat bagi bangsa, memperjuangkan pikiran-pikiran untuk meraih kemerdekaan bahkan dengan tindakan yang jauh lebih nyata dari apa yang saya lakukan di kampung ini. Barangkali memang, perjuangan saya bagi bangsa baru secuil dari besarnya pengorbanan mereka untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Memang kita yang tidak biasa dalam pandangan mereka akan selalu menjadi bahan keaneahan. Sebab kita tidak hidup seperti kebiasaan mereka, kita hidup dalam dunia yang berbeda, dengan nilai-nilai diri yang sedang kita perjuangkan bagi dirikita sendiri dan juga masyarakat.
Ketika semua ini terakumulasi menjadi energi juang yang besar, maka kelak kita akan memetik hasil yang tidak disangka-sangka. Tantangan dari semua perjuangan ini adalah rasa iri dalam diri terhadap kawan sebaya yang dipandang sudah lebih baik secara ekonomi, keluarga, dan sosial keagamaan. Tapi tentu dunia tidak diam, dunia berputar, sebab itu adakalanya dibawah adakalanya juga diatas.
Tapi kita tidak ingin mempersoalkan hal tersebut. Sebab memang sudah menjadi hukum alam, bahwa ada orang susah ada orang senang, ada kaya ada juga bahagia, yang paling penting bagi kita adalah meningkatkan kita punya kapasitas diri. Jika Bung Karno ketika menulis tentang Turki saja membutuhkan lebih dari dua puluh buku, bahkan itu dirasa kurang. Apatah lagi kita, meskinya kita lebih baik daripada generasi-generasi terdahulu, generasi sulit pra kemerdekaan, sulit membaca buku, sulit pendidikan, sulit ekonomi, dan sulit menerapkan praktik agama.
Sudah sewajarnya kita melampui mereka semua. Para generasi awal (founding fathers) bangsa telah memberikan contoh luar biasa. Kita hanya perlu memperbanyak baca buku, dan tidak usah memikirkan yang lain. Tidak memikirkan tentang uang, tentang pacar, pasar, dan tentang agama. Ngapain kita berdebat soal agama, toh kita sudah sepakat bahwa Tuhan itu Maha Esa Allah swt. Adapun mengenai penerapan hukum-hukum agama dalam hukum positif negara, sudah menjadi filosophy grondslagh dalam penemuan hukum negara sebagai sumber/landasan riilnya.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih