Meningkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia dari Keluarga
Menteri Perencanaan Dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dalam artikelnya di harian koran nasional edisi 1 Desember 2018 mengatakan “Indonesia saat ini sudah berhasil memperbaiki tingkat akses terhadap pendidikan, hal ini dicerminkan dari angka partisipasi murni untuk tingkat SD/SMP/SMA dan sederajat yang sudah mendekati 100 persen. Namun, isu pendidikan yang masih perlu diatasi ke depan adalah meningkatkan kualitas pendidikan karena variasi kualitas pendidikan terlihat masih cukup tinggi dari daerah ke daerah lain. Peningkatan kualitas pendidikan ke depan akan di dorong melalui peningkatan anak didik di bidang dasar sains, membaca dan matematika secara merata. Meningkatkan pasokan guru yang berkualitas di setiap jenjang penddikan.”
Menurut hemat penulis solusi yang beliau kemukakan bukanlah solusi yang mendasar, sebab solusi tersebut telah dilakukan sejak dulu melalui perubahan kurikulum dari periode ke priode. Persoalan pendidikan kita memang tidak pernah hilang. Dulu Bung Karno pernah mengatakan bahwa kita tertinggal 100 tahun dari bangsa Eropa, sebab pada awal-awal kemerdekaan diketahui bahwa 90 % penduduk Indonesia masih buta huruf. Hari ini kita masih mendengar bahwa ada anak-anak yang masih butu huruf, adapula anak yang putus sekolah baik karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau karena kehilangan motivasi untuk datang ke sekolah.
Aksesibilitas terhadap pendidikan bukan hanya menyangkut keterjangkauan antara lokasi sekolah dengan rumah tempat tinggal peserta didik. Faktanya setelah keterjangkauan dari sisi jarak, keterjangkauan dari sisi biaya pendidikan juga masih sulit di akses oleh para peserta didik, utamanya orang tua siswa (keluarga). Di sisi lain tantangannya adalah godaan untuk keluar (putus) sekolah masih tinggi. Misalnya masih banyak anak didik kita tidak mampu menyelesaikan masa pendidikan tiga tahun di jenjang SMP karena tergoda dengan pergaulan sehari-hari di luar sekolah yang lebih menarik sebab orang tua kekurangan strategi/metode mencegah anak mereka terlalu bergaul secara lepas. Atau yang kedua bisa jadi karena sekolah sudah tak mampu menjadi tempat yang ramah bagi peserta didik, sekolah kurang peka melihat potensi siswa, terlalu terikat dengan kurikulum sebagai panduan yang masih dilakukan semata-mata untuk menuntaskan kewajiban administratif, sehingga sekolah tidak mengejar kualitas pendidikan dan layanan pendidikan bagi rakyat, melainkan mengejar prestise.
Bagi kita, persoalan pendidikan juga bukan semata tugas kementerian pendidikan dan kebudayaan. Tetapi seharusnya lintas sektoral, dalam hal ini Kementerian Sosial serta khususnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga harus saling bekerjasama dalam rangka menyadarkan masyarakat utamanya keluarga untuk mendidik anak-anak ketika di rumah, mengarahkan orang tua agar bersikap aktif terhadap belajar anak saat di rumah. Sebab kasus yang terjadi di masyarakat seringkali sekolah sudah berusaha memberikan layanan yang terbaik bagi siswa, guru sudah berusaha mendidik siswa dengan berbagai macam metode belajar yang ditekankan oleh kurikulum, tetapi daya dukung agar anak-anak bisa selalu berada dalam budaya belajar tidak sampai di lingkungan keluarga, sebab orang belum memiliki kesadaran dalam mendidik anak.
Ketika anak sudah pulang sekolah otomatis mereka lepas dari dunia belajar. Orang tua luput dari pengawasan agar anaknya melanjutkan materi pelajaran yang diterima di sekolah ke dalam rumah. Seringkali orang tua sibuk dan lupa mengontrol kegiatan belajar anak di rumah. Untuk melihat anak bahagia orang tua lebih memilih membelikan anak mereka gadget dan membiarkan anak nonton tv lebih dari 3 jam sehari, daripada mengarahkan anak ke meja belajar di rumah, atau menanyakan anak dan mendampingi mereka tentang materi belajar mereka hari ini di sekolah.
Ketidak pedulian atau sikap negletful orang tua terhadap dunia belajar anak menyebabkan tidak sinkronnya visi misi pendidikan antara sekolah dan keluarga. Tugas menyadarkan keluarga agar orang tua lebih peduli dengan belajar anak menjadi tugas badan terkait atau kementerian terkait seperti BKKBN atau Kemensos. Penyadaran keluarga bisa dilakukan dengan menyediakan pendampingan oleh fasilitator terdidik yang memiliki tugas khusus di setiap desa atau dusun dengan tugas mencerahkan visi pendidikan anak bagi orang tua/keluarga. Seperti kita mengenal bidan yang melaksanakan posyandu di setiap kampung bagi ibu hamil, bagi ibu yang punya anak masih bayi dan balita. Begitulah seharusnya bisa dilakukan, agar tiap keluarga indonesia memiliki visi misi yang jelas dalam mendidikan dan menyekolahkan anak mereka.
Sebab kita khawatir, jangan-jangan bukan karena aksesibilitas sekolah dan kualitas guru yang masih kurang, melainkan visi mendidik orang tua serta daya dukung orang tua siswa di lingkungan keluarga masih kuranng. Kita tahu untuk meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah telah menganggarkan dana begitu besar dari APBN. Bayangkan pada tahun 2010 anggaran pendidikan sebesar 225,2 triliun rupiah dari total anggaran meningkatan hampir dua kali lipat pada tahun 2018 menjadi 444,1 triliun rupiah, dan tahun 2019 mencapai angka 500 triliun rupiah. Semua anggaran itu akan terbuang percuma jika perubahan mendasar tidak dilakukan. lihat saja dengan anggaran besar selama kurang lebih delapan tahun perubahan dalam dunia pendidikan tidak terlalu significant. Dari data yang diberikan oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Seperti diungkapkan oleh kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves bahwa kasus buta huruf di Indonesia masih tinggi, data yang ada menunjukkan 55 % anak usia 15 tahun di Indoensia secara fungsional buta huruf, dibandingkan kurang dari 10 % penduduk di Vietnam.
Maka dalam urusan yang berkaitan dengan pendidikan, sudah seyogyanya pemerintah tidak hanya melihat urusan pendidikan itu menyangkut tiga kementerian utama di bawah Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Serta Kementerian Riset Dan Pendidikan Tinggi. Melainkan melihat juga Kementerian Sosial sebagai basis social cultural, lalu ada juga Bandan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pusat pendampingan keluarga Indonesia. Dengan demikian kualitas pendidikan akan lebih mudah meningkat, sebab dukungan dari tiga sistem bisa berjalan yaitu Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih