KORUPSI, DAN SANDERA OLIGARKI PARTAI POLITIK
KORUPSI, DAN SANDERA OLIGARKI PARTAI POLITIK
Oleh
AHMAD RIZAL KHADAPI, SH.,MH.*
Bangsa ini nampaknya sedang menangis tersedu-sedu. Tidak cukup kita sedih karena aneka bencana alam yang datang silih berganti di berbagai daerah, kasus penembakan warga di Papua, suhu politik yang cenderung memecah belah persatuan kesatuan bangsa. Namun maraknya kasus korupsi pejabat publik lebih membuat kita semakin miris. Korupsi dalam undang-undang nomor 31 tahun 1991 juncto undang-undang nomor 20 tahun 2001 pasal 2 ayat (1) tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai kegiatan orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian Negara. Sementara lanjutannya dalam pasal 3 dinyatakan Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatukorporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Beberapa bulan lalu korupsi mencederai penanggulangan bencana di daerah. Oknum anggota DPRD Kota Mataram NTB meminta fee jatah fee proyek pembuatan rumah hunian sementara korban gempa. Rupanya berita seputar korupsi kembali mengejutkan kita. Kali ini yang dikorupsi adalah dana alokasi khusus untuk pendidikan. Tidak tanggung-tanggung jajaran bupati hingga kepala dinas pendidikannya ikut terlibat. Para pejabat yang seharusnya menjadi contoh dalam dunia pendidikan bagi rakyatnya justru menjadi benalu yang menggerogoti masa depan generasi bangsa.
Wakil ketua KPK Basaria Pandjaitan menyebut sebesar 14,5 persen dana alokasi khusus, yang seharusnya untuk 140 sekolah menengah pertama di Cianjur, Jawa Barat untuk membangun fasilitas sekolah telah dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap tujuh orang di Cinajur dan mengamankan uang sejumlah Rp 1,55 milyar rupiah. Tidak tanggung-tanggung tujuh orang yang di tangkap KPK adalah Bupati Cianjur periode 2016-2021 Irvan Rivano Muchtar, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Cianjur Rosidin, Ketua Majelis Kerja kepala Sekolah Cianjur Budiansyah, Bendahara Majelis Kepala Sekolah Pendidikan Kabupaten Cianjur Taufik, dan Kepala Seksi Budiman.
Tidak tanggung-tanggung yang meminta uang adalah bupati sendiri dengan total mencapai 14,5 persen dari DAK yang berjumlah 46,8 persen. Tentu sangat mengkhawatirkan kita semua, sebab korupsi dalam sektor pendidikan akan secara langsung berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan anak bangsa. Hamdi Muluk Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan “di tengah sistem yang tidak bersih, orang yang memiliki bibit kurang baik akan gampang tergoda melakukan keburukan, jadi ada kombinasi sistem yang rusak menjadi celah bagi orang-orang yang memang berniat buruk sejak awal.”
Bisa jadi penomena maraknya korupsi kepala daerah karena mahalnya biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk menjadi bupati. Sebab untuk menjadi bupati saja butuh uang sebesar 20-30 milyar rupiah, sementara untuk jadi gubernur butuh uang paling sedikit 20-100 milyar rupiah. Angka-angka tersebut berdasar Kajian Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Ade Irawan selaku Wakil Koordinator Indonesia Coruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa lemahnya komitmen awal para pejabat dan tokoh publik atas pemerintahan bersih salah satunya karena terjebak dalam lingkaran korupsi di partai politik. Hingga tahun 2018 ini tercatat sudah lebih dari 95 bupati/wali kota dan 20 gubernur di tangkap KPK sejak tahun 2004 karena kasus korupsi. Ironis memang, trennya meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017 lalu KPK menangkap 13 bupati/wali kota dan 1 gubernur sementara pada tahun 2018 meningkat drastis dua kali lipat menjadi lebih dari 24 bupati/wali kota dan 2 gubernur.
Korupsi yang terjadi di Indonesia seperti kata calon presiden Prabowo Subianto sudah seperti kanker stadium empat. Hampir semua tingkatan pejabat terjaring tindak pidana korupsi, dan semua kasus tersebut tidak hanya di satu sektor saja tapi lintas sektoral. Wakil ketua KPK Alexander Marwata mengatakan modus korupsi kepala daerah hampir sama yaitu berupa suap dan penyalahgunaan APBD. Dengan maraknya kasus korupsi di Indonesia berpengaruh significant terhadap indeks persepsi korupsi (IPK) yang tidak melonjak tinggi. Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, IPK Indonesia hanya membaik satu tangga, dari posisi 36 ke 37 pada 2015-2017. Skor rata-rata tahunan pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi hanya 0,5, jauh di bawah skor pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang 1,4 dalam priode pemerintahannya.
Merespon maraknya kasus korupsi yang terjadi di negara kita, bisa jadi karena besarnya biaya politik dalam setiap perhelatan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilakada). Maka kita kembali mempertanyakan bagaimana menyederhanakan biaya politik yang sedemikian besar, dan memperkuat sistem pemberantasan korupsi? Menurut Firman Noor peneliti puslit politik Lembaga Ilmu Penegetahuan Indonesia (LIPI), persoalan kemandirian partai ditengarai jadi salah satu problem mengapa biaya politik mahal, sehingga calon yang diusung ketika jadi pejabat publik cenderung mencari ganti rugi biaya politik. Ia mengatakan “persoalan kemandirian finansial partai selalu menjadi problem klasik, yang berkontribusi bagi dikuasainya gerak dan kebijakan partai oleh kekuatan-kekuatan penentu di atas itu.”
Lebih jauh Noor juga mengutip pendapatnya Mietzner dalam studinya menyatakan “uang, kekuasaan, dan ideologi partai telah mengingatkan dampak lemahnya kemandirian keuangan, terutama pada kemandirian partai dari serangan kepentingan para oligarkhi”. Hal senada juga dikemukakan Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Surabaya mengungkapkan “faktor utama yang menyebabkan partai dikelola secara oligarkhi adalah faktor keuangan. Hanya mereka yang memiliki uang dalam jumlah besar (pengusaha) dan para pejabat publik yang mampu mendatangkan uang dalam jumlah besar yang dapat terpilih sebagai ketua umum atau pengurus inti partai.”
Dalam konteks perbaikan sistem pemeberantasan tindak pidana korupsi, Amir Syamsudin berpendapat pemberantasan tindak pidana korupsi tetap harus berpegang dalam prinsip-prinsip hukum pidana, untuk kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum, dimana rumusan-rumusan delik pidana harus memenuhi lex privea (tidak berlaku surut), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus tegas), dan lex stripta (harus tertulis) sebagai penopang konsepsi negara hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28d ayat (1) UUD 1945. Maka sebagai pendapat akhir dari saya bisa jadi dengan membuat aturan yang lebih jelas tentang besaran maksimal-minimal, sumber asal-usul biaya politik para calon kontestan yang bertarung pada saat pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), serta dengan skema setiap partai politik di biayai oleh negara akan mampu mencegah korupsi oleh para pejabat publik yang notabene masih dominan dari partai politik pengusung.
*Koordinator Divisi Hukum dan HAM KAKAMMI NTB, ALUMNI MAGISTER STUDI ISLAM (MSI) UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (UII), JURUSAN HUKUM ISLAM 2018.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih