Will You Marry Me..???
Will You Marry Me..???
Perjalanan hidup membuat kita merasakan banyak hal, semakin kita bertambah usia semakin dewasa juga diri kita, dan semakin banyak problematika yang menjadi tantangan dalam hidup. Perlahan tapi pasti kita mulai menyadari bahwa hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang harus di syukuri dengan segala macam perasaan yang menyertai, baik senang ataupun sedih, susah maupun bahagia, riang nan gembira atau suka dan duka.
Disamping itu Tuhan kemudian mengirimkan agama sebagai pedoman hidup di dunia. Dengan agama kita diberikan spirit tentang keberpasrahan hidup bahwa semua sudah ada yang mengaturnya. Tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam hidup ini. Sebab benang yang masuk ke lubang jarumpun sudah memiliki garis takdir dari yang Maha Kuasa, dan yang jatuh, debu yang berterbangan, air laut yang pasang surut, jangkrik yang berdering tiap malam, dan peredaran matahari, bumi, bulan, bintang, sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sudah ada peta jalan dalam hidup kita masing-masing. Semua memiliki takdir dan garis halunya yang telah ditetapkan sebelum kita keceplus kedunia ini dari perut ibu kita. Pertemuan dan pertemanan dengan sahabat, kawan, dan kekasih juga telah memiliki garis takdir dariNya. Apakah semua itu hanya kebetulan tanpa makna..? tentu saja tidak. Sebab Allah Maha Tahu dan Maha memberikan kasih sayang pada hambaNya. Kaya miskin juga sudah ditentukannya. Seperti kata Sandiaga Uno sang calon wakil presiden dalam akun twitternya “semua harta yang kita miliki ini adalah titipan Allah.”
Jadi tidak ada satupun dari kita yang bisa lepas dari Allah swt. Tugas kita adalah mengoptimalkan peran sebagai hambaNya dalam rangka ibadah dan mahabbah padaNya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam ali-Imron 102: wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim. Satu perintah yang sangat tegas dari Allah agar kita senantiasa menjalankan hidup dengan ketakwaan hingga maut menjemput.
Tidak bisa kita bayangkan kalau tak ada sikap takwa dalam dirikita barangkali hati senantiasa tidak ikhlas jika kita kehilangan sesuatu yang dianggap sudah terlanjur melekat dalam hati. Sementara pemilik sesungguhnya adalah Allah swt, coba kita bayangkan dalam dua bulan belusukannya Sandiaga Uno ratusan milyar uangnya sudah disedakahkan untuk kegiatan ini, dan dengan ridho ia menjual saham-saham di perusahaannya demi membiayai kampanye presiden. Begitulah jika takwa menjadi bekal dalam diri manusia, tidak akan hitung-hitungan terhadap sesuatu yang melekat pada dirinya, sebab ia tahu bahwa semua milik Allah swt.
Dalam rangka meningkatkan ketakwaan itu pula, saya betul-betul berusaha mencari pendamping hidup sesuai dengan anjuran Rosullullah SAW. Sehingga hidup menjadi lahan ibadah bagi kita dan keluarga. Mungkin memang jodoh belum merapat, tetapi ikhtiar mencari jodoh yang tepat tentu tak pernah hilang dalam diri saya, mengombinasikan antara doa, ikhtiar, dan tawakkal. Bukankah Nabi SAW mengingatkan kepada kita semua tentang kriteria ideal wanita jadi pendamping hidup yaitu; “ perempuan itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kemuliaan nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka raihlah perempuan yang (komitmen) beragamanya kuat, karena jika tidak niscaya tanganmu berdebu”.
Dalam pada itu hingga detik ini saya masih memegang prinsip itu. Tidak mudah mendapatkan kriteria tersebut, sebab belum tentu kita yang mengharapkan kriteria itu ada pada diri seorang wanita, juga ada pada kita sendiri. Sebab secara nasab dan harta kekayaan tentu saja diri saya masih jauh dari ideal. Apatah lagi secara agama dan ketampanan. Karena itu sembari menunggu salah satu diantara beberapa unsur itu terpenuhi, alternatif pilihannya adalah mencari jalan ibadah yang lain. Dalam Kitab Bulughul Maram Syaikh Al-Albani, Bab VIII tentang nikah menempatkan hadist berikut pada urutan pertama; “dari Abdullah bin Mas’ud RA beliau berkata; Rosulullah saw telah bersabda kepada kami, wahai para pemuda siapa dari kalian yang sudah mampu jima’ (karena mampu memberi nafkah), maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Dan siapa yang belum mampu, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa menjadi pencegah baginya.”
Jadi ada alternatif bagi dirikita yang belum sanggup menikah karena belum mampu memberi nafkah. Barangkali calon istri kita adalah anak dari orang tua yang berprofsi sebagai saudagar kaya yang biasa memiliki pegangan salary bulanan di atas pendapatan kita, maka bisa jadi sesungguhnya dirikita termasuk dalam kategori belum mampu menafkahi. Kategori mampu menafkahi itu adalah ketika kita mampu memberikan kebahagiaan sesungguhnya pada calon istri, termasuk dalam hal ia tidak akan memikirkan masalah ekonomi keluarga lagi sebab kebutuhannya terjamin oleh suami.
Maka, apakah suatu pernikahan harus dilangsungkan jika keadaannya belum mampu untuk menafkahi. Hal ini menjadi dilema tersendiri, sebab secara psikologis seperti yang dikatakan Daniel Goleman “perempuan cenderung mendambakan laki-laki yang mampu memberi jaminan kebahagiaan pada dirinya.” Ia juga menambahkan “orang-orang yang merasa aman memasuki suatu hubungan romantis dengan berharap seorang pasangan akan bersedia secara emosional dan selaras bahwa pasangan mereka akan selalu ada untuk mendukung pada saat-saat yang berat dan susah sebagaimana yang akan mereka lakukan bagi pasangan mereka”.
Oleh sebab itu hal yang paling penting bagi dirikita saat ini adalah terus mencoba untuk berdoa, mencari, dan menemukan calon pendamping hidup yang paling tepat. Baik sesuai dengan kriteria yang di contohkan Nabi SAW, ataupun secara psikologis mampu selaras dengan harapan dalam dirikita. Karena dengan begitu visi-misi berumah tangga akan terbentuk secara alami. Tidak perlu memaksakan apakah harus saling mencintai terlebih dahulu, atau harus saling memiliki feel yang tepat lebih dulu. Sebab semuanya berperoses menurut ukuran waktu yang tepat.
Mengukur kadar kesiapan untuk menikah tersebut barangkali secara pribadi tidak ada masalah bagi saya. Seperti kata kawan saya Gading E.A dalam epilog bukunya, ia mengungkapkan pendapat temannya “kapan seseorang dikatakan siap menikah? Uraian mas Faiz masih kuingat sampai sekarang. Antum dikatakan siap menikah kalau saat ditawari ijab qabul sama calon mertua detik ini juga, antum akan langsung mengiyakan. Tidak nanti, tidak besok, tapi detik ini juga.” So..., will You Marry Me..?
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih