CERITA KITA DISINI


Saya baru saja selesai mencuci pakaian di kamar mandi yang terletak di sampung kiri musholla Miftaahul Hudaa.  Kamar mandi ini dulu merupakan bantuan renovasi dari lembaga tempat saya bernaung. Setelah itu bergegas untuk jalan-jalan keliling kampung sambil tangan kiri saya sibuk menenteng kamera Nikon D.90 yang sudah setahun  menemani saya di Rukem. Sejenak sebelum melangkah keluar dari depan pintu kamar, saya berfikir hendak memulai langkah awal darimana. Tak lama kemudian kliiiiink..., pikiran tertuju ke rumah pak Kaum. Ya..., sepertinya akan tepat kalau ke rumah pak kaum, mengingat saya harus membicarakan banyak hal, terutama terkait dengan rencana pembuatan Tugu Kampung Qur’an dengan logo PPPA Daarul Qur’an yang baru dan logo YBM PLN.
Setelah berjalan melangkah kurang lebih 30 meter ke arah rumah beliau, tak sampai lima menit saya sudah sampai di rumahnya. Tok...tok..tok.., saya ketuk pintu sambil mengucapkan salam kurang lebih tiga kali saya ketok-ketok, suara pak kaum tak juga terdengar menjawab. Mata saya mengintip-intip kedalam rumah lewat kaca jendela “rupanya beliau tak juga kelihatan, berarti sedang tidak ada di rumah”. Sayapun bergegas melanjutkan langkah ke rumah sebelah, tepatnya belakang rumah mas Pur. Secara tidak sengaja saya melihat segelintir warga sedang ribut-ribut sambil terdengar suara pukul-memukul batu-bata. Dengan rasa penasaran dalam hati atas suara itu, saya coba lihat lebih dekat. Ternyata...!!! dari rumahnya embah Mul banyak warga  mengikuti kerja bakti.
Tapi saya tidak langsung ke lokasi rumah tersebut. Saya memilih untuk melanjutkan misi, mencari jalan-jalan baru yang belum saya lalui ketika masih berada di kampung ini, menembus beberapa sungai, dan mencoba untuk menikmati pemandangan alam disini. Setelah puas jalan-jalan pagi tak sampai satu jam, saya memutuskan untuk balik ke rumah sembari mengikat sendal gunung yang saya kenakan agar langkah kaki lebih kuat menempuh medan bebatuan di sungai bekas longsoran.
Kali ini saya langsung ke rumahnya mbah Mul, lokasi gotong royong alias kerja bakti warga. Sampai disana saya memilih untuk membantu angkat-angkat pasir. Saya lihat sebagian besar warga juga masih menggali pondasi rumah, ada juga yang lain sedang membongkar beberapa tembok rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah-rumah warga disini pada umumnya memang rumah semi permanen, beratapkan genteng, dan berdinding anyaman bambu, dengan model pada atap yang sangat khas jawa tengah berbentuk limasan.
Cerita yang berkembang.., mbah Mul mendapatkan bantuan dari salah satu partai politik untuk memperbaiki rumahnya. Ia hanya menerima bahan-bahan bangunan saja, bukan berupa uang. Sementara untuk merenovasi rumah ini, sebagian warga datang bergotong royong membantu.
Rumah mbah Mul sudah terbilang kurang layak pakai. Sebagian besar pondasi rumah sudah mulai di makan rayap. Sehari-hari mbah Mul hanya berkebun, otomatis penghasilan juga memang tidak sebesar orang yang bekerja. Mbah Mul hidup bersama istri dan seorang anaknya.
Sang istri tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi memilih untuk membuat beseqan anyaman bambu yang bisa di jual ke pasar Baledono. Dalam sepekan ia mampu menghasilkan antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000 yang digunakan untuk membeli berbagai macam kebutuhan pokok. Sementara si anak juga tidak bekerja, beberapa bulan ini si anak sering terlihat menyenderi, bahkan sudah dua kali di bawa ke rumah sakit jiwa yang ada di Magelang.
Kehidupan mbah Mul begitu sederhana, barangkali beliau mengikuti prinsip orang Jawa yang kita kenal sebagai “nerimo ing pandum”. Di usia senjanya, memang tak banyak energi tersisa untuk sekedar menjadi buruh di pasar, atau seperti kebanyakan warga menjadi tukang bangunan di kota. Usia sudah lebih dari 70 tahun, kesederhanaan tidak hanya terpancar dari raut wajahnya dan beranda rumah tempat tinggalnya tapi juga prinsip hidup yang terus ia pegang, walau arus modernitas makin menggejala.
Rumah mbah Mul, alhmdulillah kini sudah di renovasi. Saya yang sekedar membantu sebisa saya, tentu bagi saya sebagai anak muda hanya bisa menerima banyak hikmah dari kehidupan sehari-hari beliau. Kerja bakti, tolong menolong, saling memberi, dan menerima keadaan adalah prinsip hidup banyak warga disini, syukurnya tidak banyak yang mengeluh dengan keadaan ini.

Harapan untuk perubahan tentu saja menjadi impian banyak warga. Mereka tidak mau jika anak-anak mereka bernasib sama. Maka banyak diantara anak mereka yang kini sudah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA. Sebagian besar warga memang tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Hingga pendidikan setingkat SMA pun sudah termasuk sangat tinggi disini. Tak cukup biaya untuk menyekolahkan anak hingga jenjang perguruan tinggi, kecuali bagi warga yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata.
Walaupun saya tahu bahwa, sesungguhnya untuk mendapatkan pendidikan tinggi tidak mesti memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi juga. Namun demikianlah mental warga sudah terbentuk, paradigma sudah terlanjur tertanam dalam kepala bahwa sekolah yang tinggi masih dimiliki oleh kalangan elit berduit, apalagi jika berkaca pada kondisi diri yang serba memiliki keterbatasan.
Maka karena tidak memiliki kamampuan ekonomi itu juga yang membuat warga bahu membawa saling membantu jikalau ada hajat di salah satu warga. Disini kegiatan itu biasa disebut dengan sambatan atau rewang memiliki konotasi yang sama dengan membantu. Tak sulit bagi mereka untuk membantu dari sisi tenaga, sebab sebagian besar warga memang profesinya terkait dengan bangun membangun gedung.
Anak-anak muda juga tak banyak berada disini, mereka lebih memilih untuk pergi merantau keluar daerah, terutama ke kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Mereka bekerja sebagai buruh bangunan di kota tersebut. Sebagian ada yang memilih merantau ke Bandung dan bekerja sebagai buruh pabrik. Atau ada juga yang ke Jogja dan Semarang  diantara mereka kuliah dan bekerja.
Memang tidak ada tanda peradaban yang lebih baik. Secara ekonomi, pendidikan, dan keagamaan, dari sisi semua ini kehidupan nampak hampir minus. Terlebih dalam bidang pendidikan. Dalam pada itu saya kemudian bertanya, lalu apa yang selama ini dilakukan warga..? ketika kita berbicara tentang Islam, tidak ada jawaban yang pasti seberapa dalam tingkat keIslaman di hati warga. Ketika kita berbicara tentang pendidikan, belum ada yang menyadari seberapa penting pendidikan bagi anak. Sedikit saja orang tua yang care terhadap proses edukasi anak-anak mereka, lebih dari itu semua diserahkan pada lembaga pendidikan formal, yang mereka anggap sudah cukup.
Kompetisi pada sisi profesi juga sangat lemah, tidak banyak warga yang kemudian berporesi di luar kebanyakan profesi warga secara umum. Dengan indeks pendapatan perkapita yang juga kita tidak pernah tahu. Memang beginilah kondisi riil yang saya rasakan. Hal yang barangkali termasuk sama dengan suasana tempat saya bertugas ketika di Kalimantan dulu. Bedanya adalah warga di kalimantan sangat peduli dengan agama yang mereka anut. Masjid masih hidup dengan sholat berjamaah lima waktu, beberapa warga juga menjadi guru dan pebisnis, walaupun secara umum adalah petani kebun dan nelayan.
Sungguh resah hati saya melihat kondisi disini, keterbatasan ekonomi yang nampak nyata dihadapan saya menjadi ancaman tersendiri bagi generasi disini. Mampukah para orang tua mereka memfasilitasi hingga pendidikan tinggi, atau mampukah sebagian besar anak-anak disini keluar dari tradisi profesi yang dimiliki oleh orang tua mereka, lalu merebut impian masa depan. Tadi sore saya coba bertanya pada anak didik saya tentang impian mereka sampai 15 tahun kedepan, mereka jadi apa, berada dimana, punya uang berapa, dan membuat apa..?, lalu tidak ada jawaban yang menggembirakan. Bahkan sekedar impianpun, anak-anak disini belum memilikinya.
 Kekhawatiran lebih dalam adalah ketika anak-anak usia sekolah dasar sudah mulai memegang gadget, fasilitas teknologi yang tak termanfaatkan untuk sarana edukasi ini telah mendistorsi waktu anak-anak untuk bermain dan belajar. Namun sedikit saja orang tua yang coba lebih peduli. Barangkali ada anggapan bahwa ketika anak diberikan fasilitas gadget, maka mereka akan semakin baik. Justru hal ini semakin memberikan peluang bagi anak untuk nirprestasi di sekolah.
Ancaman nyata terkait warisan kemisikanan ekonomi dan pendidikan sudah di depan mata. Tapi apa mau di kata, ketika saya mencoba peduli orang tua mereka tidak banyak yang peduli, ketika saya coba merubah hanya sedikit saja orang tua yang mengikuti. Dan ini tentu akan menjadi bumerang bagi para orang tua.
Secara khusus saya tetap kagum dengan masyarakat disini. Kegotongroyongan telah menjadi budaya tesendiri, secara kasat mata hal itu bisa saya lihat. Tetapi tentu ada banyak hal-hal lain yang tidak saya bisa lihat. Baik menyangkut antar pribadi maupun antar generasi. Masalah terbesar tetaplah soal kesadaran beragama, dan dua tahun saya disini menjadi evaluasi tersendiri apakah dampak yang ada telah sesuai keinginan atau sebaliknya. Begitu banyak anggaran yang kita habiskan untuk membuat kampung ini berubah, tetapi apakah sudah sesuai dengan target atau tidak..? masih menunggu jawabannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Indonesia

HUJAN

Nazwa Aulia