Guru Tanpa Sekolah
Naluri keguruan saya belumlah hilang, maklum saja sehari-hari masih mengajar seperti biasa, mengajar anak-anak dari usia 7 hingga 12 tahun. Kalau hari minggu mengajar anak-anak usia SMP SMA dan kalau di malam senin menjadi pengajar untuk kelas orang Dewasa.
Semua jenjang usia menjadi obyek didik saya disini. Bakat mendidik barangkali lahir dari terah embah kiyai saya di kampung halaman yang dulu pernah menjadi kepala sekolah. Saya termasuk anak yang berada di luar jalur karir keluarga secara umum, sebab hampir semua keluarga saya adalah pebisnis.
Naluri untuk menjadi pendidik kreatif makin membuat saya tertantang, apalagi anak didik saya berasal dari berbagai jenjang usia. Dan itulah uniknya berada di Kampung Qur’an yang secara tidak langsung menyadarkan kita tentang arti penting pendidikan. Dan pendidikan itu tidak mesti ada di sekolah, namun pendidikan yang terbaik tentu ada di sekolah, sebab tersistematis sangat baik oleh negara.
Pada ketiga obeyek didikan ini, strategi pendekatannya berbeda-beda dalam proses mendidik. Bagi anak-anak usia 7-12 tahun saya bertindak sebagai guru ngaji dan sekaligus orang tua mereka, dalam setiap proses pengajaran biasanya saya bumbui dengan candaan juga keseriusan, kadang juga saya bertingkah laku layaknya diri mereka, bermain, tertawa, melucu, dan sok menjadi anak anak. Hal ini agar mereka bisa lebih dekat dan mudah menerima materi yang saya berikan.
Sementara untuk anak anak usia remaja (SMP-SMA) saya memilih pendekatan yang lebih mileneal dengan cara memahami dunia mereka, menjadi sahabat mereka, dan mencoba setara dengan usia mereka. Kadang saya akan berbicara dengan tema cinta segitiga pada mereka, cinta usia sekolah pada mereka, dan cinta-cinta yang lain. Maklum saja mereka sedang masuk masa peralihan (remaja) sedikit saja kita memberikan “tekanan” pada mereka, maka mereka akan menjauh. Dalam arti khusus, saya mencoba membuat mereka senyaman mungkin ketika bersama mereka. Kemudian baru masuk pada materi didikan yang sudah disiapkan.
Namun demikian, proses didikan untuk anak-anak remaja memiliki tantangan tersendiri yaitu menyangkut perubahan pola pikir. Ketika kita menanamkan satu karakter positif pada mereka, diluar lingkungan awal mereka, mereka sedang terdogma oleh peradaban amoral yang secara tak sadar mereka serap. Seperti musik-musik, seni grafis, dan teknologi chatting yang membuat mereka kecanduan dan lupa tugas utama mereka adalah belajar, serta merancang masa depan bagi diri mereka, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Guru-guru seperti saya ini tidaklah dilirik oleh negara, tidak juga mendapat perhatian lebih sebagaimana guru-guru di lembaga pendidikan formal. Tetapi itulah hobi menjadi guru, tugas menjadi guru tidak mesti harus di sekolah, atau bergelar pendidikan sarjana pendidikan. Sebab seperti kata om Rhenald “kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian, jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri”.
Artinya tugas menjadi guru bagi saya buakn semata-mata tentang mendidik anak di jalur sekolah. Bisa jadi karena kita berada diluar pendidikan formal, motivasi itu justru lebih banyak lahir dari kita yang mendampingi mereka di luar sekolah. Hanya memang tidak sistematis, tidak ada ujian layaknya di sekolah, tidak ada buku dan diktat pembelajaran, dan tentu saja tidak ada gedung.
Kreatifitas selanjutnya adalah menjadi “guru bagi orang dewasa”. Bagi kita yang masih muda, lalu tugasnya adalah mendidik orang dewasa, tantangannya adalah merubah paradigma. Sebab paradigma yang terbangun dalam alam bawah sadar kolektif mereka adalah paradigma keterbatasa dan keberpasrahan, sulit membuat impian masa depan bagi diri mereka, dan anak-anak mereka. Lebih senang dalam ritus-ritus sosial, kegamaan. Pola pikir yang menjadi sasaran edukasi saya pada mereka. Bahwa mereka bisa berubah menjadi lebih baik. Namun dmeikian, hemat saya yang paling penting adalah bagaimana mereka mampu menerima kita sebagai orang yang memfasilitasi lintasan pikiran masa lalu mereka ke lintasan pikiran masa depan.
Jadi dakwah tidak sekedar menyebar teks-teks suci untuk dihafalkan. Tetapi tugas sebagai relawan kampung Qur’an jauh lebih besar dari itu semua, mulai dari menanamkan motivasi hidup lebih baik di masa depan, perubahan sosial, hingga perubahan pemahaman keagamaan yang lebih baik. Satu PR yang sangat besar bagi saya, ditengah ketiadaan buku panduan, arahan, dan juga contoh bagaimana pendidikan masyarakat (pendidikan luar sekolah) dijalankan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, ataupun opini anda pada kolom ini. Terimakasih